Jumat, 10 April 2020

Philosophy of Science (Bagian 3 dari 4)



[ CATATAN: Semoga terjemahan bebas buku philosophy of science berikut dapat menjadi salah satu referensi yang bermanfaat dalam memahami buku tersebut dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. ]

PART 2: REASON
Bagian Reason terdiri atas 4 bab yakni (1) Inductive skepticism; (2) Probability and scientific inference ; (3) Inductive knowledge dan (4) Method and Progress.
Bab Inductive skepticism (Keragu-raguan/Ketidakpercayaan induktif) menjelaskan bahwa Penulis terlebih dahulu pada Chapter 1 telah berargumen bahwa kita dapat memiliki alasan untuk mempercayai bahwa ilmu pengetahuan atau setidaknya dengan suatu bongkahan/sepotong alasan yang besar,  menyediakan suatu representasi yang cukup akurat dari aspek-aspek di dunia. Lebih tepatnya, kita dibenarkan dalam mempercayai bahwa teori terbaik kita memiliki suatu level tinggi yang disebut dengan verisimilitude di dalam representasi mereka tentang hukum alam dan hukum lainnya-seperti fakta. 
Bagaimana pun terdapat halangan yang perlu untuk diperjelas sebelum kita mempertimbangkan isu yang lebih tajam. Ini terkait dengan permaslaahan induksi. Bagaimana bisa saya mencapai suatu kesimpulan positif tentang teori-teori verisimilitude tanpa mempertimbangkan perlawanan yang dinyatakan Hume kepada kemungkinan bertambahnya pengetahuan umum atau universal dari bukti/fakta yang ada hanya dari benda-benda/hal-hal tertentu dan fakta-fakta? Jawaban ringkasnya telah dinyatakan sebelumnya, bahwa jika kita memiliki alasan berpikir bahwa teori kita adalah secara empiris memadai (empirically adequate) kita dapat juga memiliki alasan untuk berpikir bahwa teori-teori kita adalah benar atau mendekati kebenaran. Ini mengundang pertanyaan, baik terhadap contructive empiricist  (empirisme konstruktif) dan the realist, bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan dari suatu hal umum dari kesemuanya, apakah bahwa pengetahuan menjadi empiris memadai (empirical adequacy) atau verisimilitude. Jadi, jalan lain, permasalahan induksi perlu untuk dititik beratkan dan inilah yang akan dibahas dalam bab ini.
Pada sub-bab Hume’s problem revisited (permasalahan Hume dikunjungi kembali) dijelaskan bahwa pada pemasalahan Hume tampak tidak ada pembenaran non-sirkuler dari klaim terhadap pengetahuan umum atau pengetahuan tertentu dari suatu kejadian yang tidak diobservasi. Permasalahan secara umum dalam hal ini adalah : memberikan argumen dari premis-premis tentang apa itu yang diobservasi/amati menjadi suatu kesimpulan tentang apa yang tidak (tidak diobservasi), bagaimana premis-premis tersebut pernah  membenarkan kesimpulan itu?
Hume percaya bahwa premis-premis mengenai yang diamati tidak pernah memerlukan apapun tentang yang tidak diobservasi, dan juga pembenaran tidak bisa deduktif. Sebagaimana  kita lihat nantinya bahwa observasi/pengamatan kita secara tipe adalah theory laden (memuat teori). Sebagai sebuah pengamatan dapat secara tidak langsung memuat teori yang dapat pula secara tidak langsung memuat sesuatu tentang yang tidak diamati (unobserved). Menjadi demikian, bahkan jika kita menerima bahwa beberapa pernyataan observasi memuat proposi tentang yang tidak diobservasi, ini adalah kasus tertentu yang kesimpulannya dipekerjakan/berlaku di dalam ilmu pengetahuan adalah seperti premis-premis mereka tidak memuat kesimpulan mereka. Untuk menjawab pertanyaan diatas maka perlu mempertimbangkan 2 (dua) kemungkinan pembenaran dari argumen-argumen dari yang diobservasi hingga yang tidak. 
Premis-premis yang ada merupakan pernyataan tentang apa yang telah diobservasi, sementara kesimpulannya merupakan pernyataan tentang apa yang tidak diobservasi. Agar keduanya dapat saling berkaitan maka diperlukan premis tambahan yang mana menyebutkan mengenai yang tidak diamati. Premis tambahan tersebut merupakan suatu proposi tentang yang tidak diamati yang mana diketahui dan dapat diketahui hanya sebuah posteriori (apa yang saya sebut suatu proporsi empiris tentang yang tidak diamati) yang mana membutuhkan induksi untuk diketahu atau dapat dibenarkan untuk dipercayai. Bentuk premis tambahan adalah sesuai dengan kasusnya/konteksnya.
Hume dalam hal ini mengambil/menerima bahwa proporsi empiris tentang yang tidak diamati itu membutuhkan pembenaran jika mereka menjadi dapat dipercayai dan pembenaran mereka merupakan suatu hal mengenai kesimpulan dari proporsi lain. Ini merupakan salah satu karakteristik asumsi dari empiricism (empirisme).
Permasalahan kedua Teori Hume adalah mengenai kesimpulan menuju penjelasan terbaik (inference to best explanation). Induksi Hume adalah suatu yang tidak dapat disolusikan kecuali hukum dikaitkan dengan alam semesta, di dalam kasus Induksi Hume dapat secara sendiri diinterpretasikan sebagai suatu kasus dari inference to best explanation. Jika Hume adalah benar tentang induksi, maka tidak ada pengetahuan ilmiah.. Sir Karl Popper dalam hal ini berpendapat bahwa meskipun kita bisa tidak pernah membenarkan dalam mempercayai suatu teori, ilmu pengetahuan dapat tetap rasional.
Pada sub-bab Theory & Observation (teori dan observasi) dijelaskan bahwa terdapat 2  (dua) pertanyaan skeptis mengenai ilmu pengetahuan dan induksi, yang mana terkait mengenai teori dan observasi serta sering pula merupakan campuran keduanya yakni suatu teori tergantung pada observasi. Pertanyaan pertama adalah mengenai pengertian dari pernyataan pengamatan (observation statements). Pertanyaan kedua adalah mengenai kapan pernyataan tersebut adalah benar.  Pertanyaan pertama merupakan suatu permasalahan mengenai pengertian ketergantungan dari observasi pada teori dan pertanyaan kedua merupakan hal mengenai ketergantungan kognitif dari observasi pada teori.
Pengertian ketergantungan dari observasi pada teori membahas bahwa pengertian dari suatu terminologi teori tergantung pada teori dimana ia berperan. Sementara itu ketergantungan kognitif dari observasi pada teori membahas bahwa pengetahuan pernyataan observasi itu benar tergantung dari pengetahuan terhadap beberapa teori. Ini adalah kebalikan dari ketergantungan kognitif normal, yang mana pengetahuan kita mengenai kebenaran teori-teori tergantung pada observasi.
Suatu observasi dapat secara kognitif tergantung pada satu teori dan pengertian tergantung pada pengertian lainnya.
Pada sub-bab The Duhem & Quine thesis dijelaskan bahwa sebagaimana sebelumnya telah dibahas bahwa ketergantungan kognitif dari observasi pada teori mengandung arti lebih lanjut bahwa kita tidak bisa melakukan tes teori A kecuali tergantung pada beberapa teori atau hipotesis bantu B. Quine dalam hal ini  menyatakan bahwa “pernyataan-pernyataan kita tentang dunia luar menghadapi pengadilan dari pengalaman-perasaan tidak secara individual tetapi hanya sebagai suatu tubuh badan hukum”. Satu konsekuensi dari hal ini adalah, bahwa hipotesis apapun rupanya memalsukan (falsified) melalui observasi dapat  ditahan sebagai benar, jadi selama kita berniat untuk membuat suatu perubahan yang sesuai pada sistem kepercayaan dan teori.
Quine dan lainnya mensugestikan bahwa aturan adalah apa yang harus kita buat sebagai penyesuaian diri yang  paling sedikit gangguan kepada keberadaan sistem kepercayaan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita dapat membenarkan hal seperti prinsip pilihan, atau apakah itu hal yang sederhana prgamatis – memilih  jalan yang lebih sedikit mengandung perlawanan untuk waktu yang sebaik-baiknya maksimum. Satu jawaban pada permasalahan ini adalah inference to best explanation  (kesimpulan menuju penjelasan terbaik). Pandangan holistik Quine, adalah sistem teoritis kita menghadapi fakta/bukti secara keseluruhan, secara jelas digambarkan pada Chapter 1 dan 2 mengenai Law and Explanation (Hukum dan Penjelasan).
Inference to best explanation adalah jawaban terbaik dari permasalahan Quine, namun demikian sampai dengan ada solusi terhadap permasalahan Hume maka kita tidak tahu bahwa kita dapat menggunakan pendekatan tersebut.
Pada sub-bab Falsificationism (falsify = memalsukan) dijelaskan bahwa Popper sepakat dengan skeptis bahwa induksi tidak dapat memerankan suatu bagian di dalan pemikiran rasional. Tetapi Ia menolak bahwa ini berarti kita harus menjadi irrasional terhadap ilmu pengetahuan. Popper dalam hal ini menawarkan alternatif solusi berupa “deduksi”. Alternatif yang Popper gunakan terhadap verifikasi induksi adalah deductive falsification nya.
Dikarenakan teori-teori biasanya meliputi generalisasi pada jumlah kasus diatas angka tidak terhingga, mereka tidak pernah bisa diverifikasi secara langsung. Bagaimanapun banyak konsekuensi yang telah menunjukkan benar dan ada pula yang salah karena tidak pernah dites. Di sisi lain, jika suatu konsekuensi adalah salah, maka keseluruhan teori adalah salah pula. Ilmuwan menolak teori falsified (memalsukan), tetapi memakai yang tidak palsu yang mana secara tentatif diterima.
Mengenai hal falsify (memalsukan) tersebut, menurut Popper, untuk/dengan jalan suatu pernyataan observasi memalsukan suatu hipotesis hanya melalui cara menjadi secara logis inkonsisten dengannya, tidak ada yang bisa pernah memalsukan suatu hipotesis kemungkinan (probabilistic) atau statistik (statictical).  Karena itu, itu tidak ilmiah.
Falsifiability (kemampuan memalsukan) adalah suatu criterion  bukan pernyataan atau teori tersendiri, tetapi juga hal-hal itu ditambah dengan metode yang digunakan untuk mengevaluasi mereka.
Apa yang Popper lakukan adalah untuk membiarkan alasan induktif masuk ke dalam cerita dibawah samaran kebiasaan/konvensi/persetujuan/kaidah/ketentuan.
Menurut Popper juga, satu teori dapat menjadi secara objektif lebih baik daripada yang lainnya. Secara objektif yang dimaksud adalah dengan merujuk pada hubungan mereka dengan realitas, kebebasan dari tes apapun.
Popper juga membahas mengenai teori corroboration (bukti-bukti yang benar), dimana, dengan longgar,  suatu evaluasi dari suatu penampilan teori lama, secara spesifik “dengan menghormati jalan penyelesaian masalah; level pengujian; kerasnya ujian yang berlangsung; dan caranya berdiri pada saat dites”.
Corroboration menurut Popper adalah sesuatu yang backforward-looking, yakni ia merupakan suatu sejarah dari teori pada keadaan yang diobservasi yang pergi pada suatu bukti-bukti yang benar. Kontrasnya, dalam pandangan para induktivis terhadap keadaan masa lampau, bukti-bukti yang benar tidak dihormati sebagai bukti-bukti yang mendukung suatu teori. Itu hanya suatu laporan dari usaha masa lampau kita untuk falsify (memalsukan) teori.
Popper mengatakan pada orang-orang praktek bahwa mereka tidak boleh mengandalkan/menyandarkan diri/mempercayai teori apapun, karena kita tidak punya alasan untuk berpikir bahwa teori apapun itu adalah benar. Tetapi, ini rasional untuk memilih untuk menjalankan dengan teori corroboration.
Apapun kesulitan yang disampaikan dalam permasalahan Hume, mereka harus mengatasi jika kita memiliki suatu laporan/catatan rasional ilmu pengetahuan, mengenai tidak diperlukannya induksi.
Pada sub-bab  Dissloving the problem of induction (melarutkan permasalahan induksi) dijelaskan bahwa kita telah melihat bahwa percobaan untuk membenarkan induksi mengantarkan pada suatu lingkaran (circularity) atau kemunduran dari suatu proporsi yang semakin umum dan kesimpulan tentang yang tidak tampak (unobserverd). Satu rute jalan keluar boleh saja menyarankan bahwa mungkin beberapa bentuk dari alasan di dalam rantai tersebut yang mana tidak memerlukan pembenaran bebas (independent). Mungkin kita dapat memulai dari poin dimana permintaan untuk pembenaran lebih lanjut bagaimanapun haram atau berlebih-lebihan.
Sir Peter Strawson mengatakan bahwa adalah suatu kebingungan/kekacauan untuk bertanya apa alasan kita harus menempatkan kepercayaan kepada prosedur induktif. Argumennya ini analog kepada satu argumen yang mempunyai pokok isi untuk menunjukkan bahwa itu dibingungkan untuk bertanya apakah itu membuat alasan deduktif sah (valid). Hal deduktif digunakan secara general valid merupakan sesuatu yang tidak berperasaan. Deduktif tidak valid secara umum. Kadang-kadang deduktif tidak valid, dimungkinkan terdapat kesalahan. Pertanyaan yang benar jika ada yang ingin bertanya adalah apa yang membuat argumentdeduktif tertentu sah (valid)? Dalam hal ini Strawson menjawab bahwa hal ini berkaitan dengan pelaksanaan standar deduktif. Apakah sesuatu itu, misalnya modus ponens, dihitung sebagai standar deduktif adalah analitis, hal ini disebut, suatu hal sederhana yang berfokus pada arti/pengertian kata tersebut.
Sama hal nya, hanya individual inductive arguments (argument induktif perorangan/secara sendiri-sendiri/terpisah/tertentu) yang dapat ditaksir, bukan alasan induktif secara umum. Pada kasus argumen induktif tidak berlaku/benar/sah (validity) untuk yang mana ia ditaksir, tetapi kelayakan/masuk akal (reasonableness ). Pada bukti awal/dasar ia tampak masuk akal untuk membuat suatu klaim tertentu atau bisa jadi juga tidak. Akan menjadi masuk akal bila bukti/faktanya adalah kuat untuk mendukung kesimpulan, dan menjadi tidak beralasan/masuk akal jika bukti/faktanya lemah. Klaim tersebut adalah analitis. Lebih lanjut, Strawson mengatakan analitis bahwa kekuatan bukti/fakta berkaitan dengan jumlah contoh/hal baik dan varietas/jenis dari keadaan sekitar dimana mereka ditemukan.
Poin Strawson dapat disimpulkan sebagai berikut : Mempertanyakan pembenaran induksi secara general/umum adalah salah. Apa yang dapat ditanyakan adalah  mengenai pembenaran argumen induksi secara individual. Adapun pembenaran ini berguna untuk mengatakan suatu argumen adalah masuk akal/beralasan.
Permasalahan awal pandangan Strawson adalah kekurangan kekhususan, yakni terutama menyangkut pertanyaan kapan suatu bukti itu dapat dikatakan kuat? Lalu apakah kriteria yang dibuat Starwson untuk menjawab pertanyaan sebelumnya adalah cukup? Kriteria yang ditetapkan Strawson tersebut tampak sangat luas.
Adapun hal reasonableness (kelayakan/masuk akal) dari suatu kesimpulan tidak dapat dihitung dalam suatu pemisahan/isolasi/pengasingan dari latar belakang pengetahuan. Penulis mendorong/mendesak/meminta poin sama dalam koneksi dengan konfirmasi hypothetico-deductive model dan permasalahan Goodman. Ketiga hal tersebut merujuk pada pertanyaan yang sama : kapan suatu bukti merupakan bukti yang baik bagi suatu hipotesis? Respon Penulis adalah “tidak ada model konfirmasi atau hubungan terang/jelas.
Bagaimanapun, Strawson dapat dipahami bahwa terdapat hal benar berikut : bahwa itu dapat menjadi beralasan/masuk akal untuk membuat suatu kesimpulan induktif, dan secara bersamaan tidak beralasan/masuk untuk menolaknya, dan ini tergantung dari satu total bukti (semua yang diketahui).
Bagaimanapun, Penulis menolak hal ini sebagai solusi permasalahan induksi. Suatu kesimpulan dapat menjadi sangat beralasan/masuk akal tetapi gagal. Semua kriteria dapat saja dipenuhi dan tak terkalahkan dan tidak ada hukum.  Hubungan antar kriteria adalah tidak deduktif.  Sebagaimana contoh hukum Ohm tentang tembaga, yang dapat disimpulkan bahwa agar sesuatu yang benar dapat dikatakan rasional adalah sedikit ketertarikan kecuali beberapa koneksi ditetapkan diantara rasionalitas dan sukses/keberhasilan.
Bagian dari apa yang sedang terjadi adalah suatu ambiguitas diatas apa yang dihitung sebagai taksiran dari suatu argumen induktif.  Strawson mengatakan bahwa kita menaksir argumen untuk mencari ke-masuk-akal-an-nya.  Tetapi kita juga dapat menaksir argumen untuk kecenderungannya menuju kebenaran. Argumen Hume fokus pada hal terakhir ini, dan untuk alasan yang bagus, karena inti dari kesimpulan adalah untuk memperoleh kebenaran atau mendekati kepercayaan kebenaran. Apa yang perlu kita ketahui dari Strawson adalah apakah suatu penaksiran di dalam arti ke-masuk-akal-an-nya memiliki sikap/hubungan/sangkut paut apapun pada penaksiran itu untuk kecenderungannya menuju kebenaran. Tetapi Strawson mengatakan tidak ada yang dapat menetapkan hubungan seperti itu.
Cara lainnya untuk melihat hal ini adalah dengan mengimajinasikan bahwa ada standar lain untuk mengaplikasikan argumen induktif, yakni standar yang mengatakan apakah suatu argumen adalah lebih atau kurang dotty (kekanakan/belum matang). Dikatakan belum matang jika bukti tampak sama sekali tidak berkaitan dengan hipotesis. Untuk mencapai suatu kebenaran, pertanyaannya mengapa kita harus mengadopsi alasan masuk akal daripada yang not dotty.  Hal ini merujuk pada inti permasalahan Hume yakni bukan tentang apakah sesuatu itu secara intelektual dapat dihargai dengan memperdebatkannya secara induktif, tetapi mengenai apakah sesuatu dapat menunjukkan bahwa sesuatu itu lebih tampak berhasil (menuju kebenaran).

Probability and scientific inference
Pada sub-bab A probabilistic justification of induction dijelaskan bahwa alasan statistik dan probabilitas memegang peranan penting dalam kesimpulan (penarikan kesimpulan/inference) ilmiah. Hal ini kadang dipikirkan sebagai suatu alasan yang menyediakan jawaban atas permasalahan induksi. Dimana induksi tidak bisa memberikan kita suatu kepastian logis, dikarenakan kita tidak bisa secara logis mengatur alternatif kita, itu dapat menyebabkan ia memberi kemungkinan tinggi terhadap kesimpulannya. Pada bagian ini, sebagaimana menjelaskan beberapa teknik probabilistic-statistical (probabilitas-statistik) di dalam ilmu pengetahuan, Penulis akan menguji kemungkinan adanya suatu a priori metode induktif probabilitas (probabilistic inductive method). Adapun hal ini tidak terlalu bagus dalam merespon permasalahan Hume. Secara umum, permasalahan Hume bertanya : Bagaimana bisa observasi terbatas pada wilayah kecil pada suatu waktu memberitahukan kita apa yang terjadi diluar wilayah dan waktu tersebut? Hal ini tidak merepresentasikan keseluruhan populasi. Asumsi bahwa hal tersebut representatif adalah suatu klaim tambahan pada asumsi dari keberadaan hukum.
Selanjutnya, sub-bab  Kinds of probability terdiri dari subjective probabilities dan objective probabilities & chance. Pada sub bab ini dijelaskan bahwa terdapat 2 (dua) jenis kemungkinan/probabilitas yakni subjective probabilities (probabilitas subjektif) dan objective probabilities (probabilitas objektif). Subjective probabilities (probabilitas subjektif) menghitung kekuatan kepercayaan seseorang pada kebenaran suatu proporsi. Sementara itu objective probabilities (probabilitas objektif) fokus kepada kesempatan (chance) dari suatu kejadian tertentu untuk terjadi, terlepas dari apakah ada orang yang berpikir itu akan terjadi atau tidak. Adapun probabilitas dihitung berdasarkan skala 0 (false/salah) hingga 1 (true/benar). Dalam objective probabilities (probabilitas objektif) terdapat perlawanan yang mengatakan bahwa kesempatan (chance) itu dimungkinkan berbeda dari ukuran/bagian/proporsi panjang yang berlangsung. Dugaan mengenai kesempatan objektif ini tidak diterima oleh semua orang. Sebagaimana pada kasus determinasi terdapat tidak ada kesempatan objektif yang nyata – kesempatan itu hanya subjektif, karena itu adalah suatu refleksi dari penolakan kami.
Terdapat perdebatan mengenai dugaan probabilitas mana yang lebih baik, probabilitas subjective atau objective. Menurut Penulis kedua dugaan tersebut memiliki tempatnya sendiri. Adapun satu pendekatan yang mencoba mengkombinasikan kedua hal ini adalah personalist conception of probability (konsepsi personal probabilitas) yang mana sepakat dengan pandangan subjektif yang menyatakan individu-individu memiliki derajat/kadar/tingkat kepercayaan dan juga pandangan objektif yang menyatakan bahwa ada kemungkinan objektif. Menurut personalist, individu yang rasional akan mencari untuk mencocokan derajat/kadar/tingkat kepercayaan dengan kemungkinan objektif.    
Pada sub-bab Classical statistical reasoning (alasan statistik klasik/klasik statistik) dijelaskan bahwa beberapa populasi adalah apa yang disebut dengan normally distributed (didistribuskan secara normal). Karakteristiknya adalah adanya bell-shaped curve (kurva berbentuk lonceng) – sebagaimana pada gambar 6.1. Adapun terdapat 2 (dua) parameter yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan normal distribution (distribusi normal), yakni menggunakan mean (rata-rata) dan variance (varian/perbedaan). Mean adalah rata-rata nilai dari variabel yang dipertanyakan, sementara itu variance adalah perhitungan dari bidang datar pada kurva lonceng.
Penulis dalam hal ini akan mempertimbangkan satu metode probabilistic-statistical (probabilitas-statistik) secara matematis. Metode ini tampak memegang beberapa janji kesuksesan induktif. Namun demikian tetap saja terdapat permasalahan mengenai terdapat banyaknya kemungkinan pilihan, sebagaimana tergambar pada interval kurva.
Dalam pandangan klasik, cara bagaimana kita mendeskripsikan metode yang digunakan terhadap sampel/contoh memiliki sikap/hubungan/sangkut paut dengan kesimpulan yang tergambar dari sampel tersebut.
Beberapa orang-orang statistkc enggan untuk menghormati pengujian demikian sebagai suatu perhitungan yang mendukung induktif, sebab sifatnya cenderung berupa solusi parsial dikarenakan penggunaan teori tersebut tergantung pada asumsi tertentu tentang populasi.
Pada sub-bab Bayesianism dijelaskan bahwa Bayesianism merupakan kritik terhadap pandangan classical statistical reasoning (alasan statistik klasik/klasik statistik). Bayesianism merupakan doktrin tentang bagaimana tingkat kepercayaan seseorang terhadap hipotesis harus berubah terkait adanya bukti/fakta yang terang/jelas. Ini merupakan refleksi atas suatu pendekatan subjektif probabilitas. Bayesianism dikatakan, melalui para pendukungnya, untuk menunjukkan :
a)      Bagaimana praktek induktif bisa rasional
b)     Bagaimana praktek induktif bisa menuju kebenaran
c)  Bagaimana beragam masalah-masalah di dalam filsafat ilmu pengetahuan bisa diselesaikan
d)     Apa yang mendasari struktur alasan ilmiah actual
Adapun teori Baye secara intuitif memiliki hal yang masuk akal. Ia mengatakan bahwa kemungkinan dari suatu hipotesis memberikan beberapa bukti yakni :
a)      Sebanding terhadap/dengan kemungkinan dari hipotesis prior (sebelumnya) untuk menghasilkan bukti;
b)     Sebanding terhadap/dengan kemungkinan dari bukti, membawa hipotesis sebagaimana yang telah diberikan;
c)      Secara kebalikan sebanding terhadap/dengan kemungkinan dari bukti itu sendiri sebelum diuji
Hubungan ini menurunkan penjelasan sebagaimana fakta tentang kesimpulan/penarikan kesimpulan (inference) berikut :
a)      Jika kita berpikir hipotesis adalah dengan sendirinya seperti cahaya dari latar belakang pengetahuan, lalu ini akan diambil dalam hadiah/tanda/kemurahan hati ketika menaksir kemungkinannya setelah diuji.
b)     Derajat/Level/Tingkat dimana bukti mendukung hipotesis tergantung pada bagaimana dekatnya hubungan keduanya. Jika di dalam asumsi bahwa hipotesis adalah benar, ia akan menjadi sangat mirip jika bukti yang didapatkan sesuai, lalu hal ini amat baik bagi hipotesis.
c)      Jika bukti tidak dengan sendirinya sangat mirip, maka ia signifikan ketika ia muncul/besar/belok/keras/naik. Bukti yang mengejutkan adalah bukti yang baik.
Terhadap teori Baye tersebut terdapat banyak kritik. Lebih lanjut dapat dipahami bahwa teori Baye tidak menangkap keseluruhan alasan induktif sebagaimana dilihat bila dibandingkan dengan inference to the best explanation. Dalam inference to the best explanation terdapat penjelasan hiptosis yang termasuk pula dibahas mengenai kesederhanaan dan kesatuan penjelasan, sementara pada Bayesianism tidak. Bayesianism tidak mengakui/menjawab kebaikan/sifat baik kesederhanaan, justru menyatakan bahwa dugaan kesederhanaan tersebut adalah tidak jelas dan berarti merupakan hal berbeda pada orang berbeda.
Sebagai suatu teori probabilitas subjektif, Bayesianism memiliki sedikit argumen mengenai kecenderungan praktek induktif untuk menuju pada kebenaran. Tidak ada di Bayesianism yang dapat menunjukkan bahwa seseorang dapat berakhir pada kesimpulan yang benar daripada seseorang yang mengambil kesimpulan sebaliknya.  

Inductive knowledge
Dua chapter sebelumnya berusaha untuk menyelesaikan atau menghindari permasalahan skeptis induksi Hume. Saatnya kini telah tiba untuk memberikan solusi. Terlebih dahulu harus diperjelas mengenai apa yang sebenarnya merupakan permasalahan. Kadang yang dijadikan masalah adalah justifying induction (pembenaran induksi). Menurut Penulis hal ini menyesatkan. Tidak ada hal “induksi” yang butuh pembenaran. Strawson adalah benar dengan menyatakan bahwa ada banyak argumen induksi, beberapanya adalah beralasan/masuk akal dan yang lainnya tidak. Kita juga mengetahui bahwa terdapat usaha untuk mengkonstruksi super-inductive argument  (argument super-induktif), yang mana salah satunya merupakan premis tanpa bentuk (uniformity premises), uniformity premises), adalah sesuatu yang malapetaka. Hal seperti super-inductive argument  (argumen super-induktif) adalah suatu argumen induktif yang buruk, sebagaimana jelas ia membawa kita pada kesalahan kesimpulan. Selanjutnya adalah mengenai “justification”, jika yang kita maksud dengan pembenaran adalah suatu tugas untuk menunjukkan bahwa suatu argumen induktif akan membawa kita atau telah memiliki kecenderungan untuk mengarahkan pada kesimpulan yang benar, lalu tugas itu bukanlah sesuatu yang filosofis.
Permasalah filosofis adalah untuk menunjukkan kemungkinan dari pengetahuan. Permasalahan Hume menyatakan bahwa pengetahuan induktif adalah tidak mungkin. Para skeptis induktif membutuhkan suatu argumen induktif yang menghasilkan pengetahuan, Penulis harus mampu mendemonstrasikan bahwa penggunaan induksi akan menghasilkan pengetahuan. Demonstrasi ini harus dengan sendirinya dihitung berdasarkan pengetahuan. Oleh karena itu agar induksi menghasilkan pengetahuan, Penulis harus tahu bahwa itu menghasilkan pengetahuan.
Pada chapter ini akan dibahas bahwa suatu pandangan pengetahuan bukan merupakan suatu syarat pengetahuan.
Pada chapter ini, Penulis akan menghadirkan suatu pandangan pengetahuan yang mana mencari untuk melakukan ini, disebut dengan reliabilism (reliable = dapat dipercaya/diandalkan). Penulis sendiri berpikir bahwa reliabilsm adalah tidak sempurna. Namun demikian, ia mengandung pengajaran untuk melihat bagaimana suatu epistemologi masuk akal dapat mengatasi permasalahan Hume dan membuktikan jawaban memuaskan pada masalah-masalah lain pada epistemologi ilmu pengetahuan. 
Pada sub-bab Reliabilist epistemology dijelaskan bahwa terlebih dahulu sebelum masuk memahami epistemologi reliabilist (reliable = hal yang dapat diandalkan) maka diperlukan pembahasan mengenai truth (kebenaran) dan belief (kepercayaan). Hal ini dijelaskan merujuk pada suatu kombinasi dari tujuan, maksud atau keinginan seseorang dan kepercayaan mereka, sebagaimana dicontohkan oleh Darren. Truth (Kebenaran) adalah penting disini dikarenakan kebenaran membuat perbedaan antara mencapai tujuan seseorang dan kemungkinan kegagalannya. Kebenaran dari suatu kepercayaan adalah cukup untuk menjamin keberhasilan suatu aksi dalam mencapai suatu keinginan relevan.Falsity (kepalsuan/kesalahan), bagaimanapun, meninggalkan suatu kemungkinan kegagalan.    
Katakanlah bahwa dalam kasus pertama Darren, tidak disebutkan bahwa pengetahuan itu dibutuhkan, Pada kasus kedua Darren, guna mendapatkan kepercayaan yang benar mengenai kasusnya “perasaan sakit pada waktu bangun pagi setelah minum minuman keras terlalu banyak”. Darren  cukup yakin bahwa itu menjadi benar bahwa ensiklopedia dapat diandalkan. Darren dalam hal ini tidak perlu tahu bahwa itu dapat diandalkan. (Ia menggunakan ensiklopedia tanpa perlu tahu bahwa isi ensiklopedia itu keseluruhannya benar/dapat diandalkan).
Membaca ensiklopedia merupakan metoda Darren dalam mendapatkan kepercayaan medis. Dia ingin ensiklopedia itu dapat diandalkan. Jika secara umum, ia ingin mendapatkaan kepercayaan yang benar, adalah tidak baik jika menggunakan ensiklopedia yang penuh dengan kesalahan.
Ini merupakan contoh dimana pengetahuan datang tergantung reliabilist epistemology (epistemologi/asal yang dapat diandalkan). Pengetahuan bukan hanya merupakan true belief (kepercayaan yang benar/sebenar-benarnya), tetapi true belief dibutuhkan oleh reliable method (metode yang dapat diandalkan). Hal ini menjelaskan peran dari konsep pengetahuan : kita ingin mendapatkan true belief (sebagaimana contoh, guna mendapatkan kepuasaan keinginan); pengetahuan adalah apa yang kita dapatkan jika kita menggunakan suatu reliable method untuk mendapatkan beliefs (kepercayaan) tersebut.
Pada sub-bab Reasoning of induction dijelaskan bahwa sebagaimana pada kasus Darren, jika kepercayaan Darren adalah benar, dan Darren memiliki pengetahuan, maka menjadi mungkin bagi Darren untuk mengetahui sesuatu secara induktif. Ini merupakan kebutuhan bahwa bisa jadi (mungkin) arugmen induktif pada kasus adalah dapat diandalkan dan kepercayaannya adalah benar. Sekarang tampak jelas bahwa mungkin saja suatu alasan induktif seperti itu dapat diandalkan (reliable). Hal ini membuktikan bahwa pandangan para skeptisme mengenai “pengetahuan induktif tidak dapat mungkin memiliki pengetahuan” adalah salah.
Reliabilism adalah suatu pandangan externalist (luar) mengenai pengetahuan dan pembenaran. Bagaimanapun “metode yang Penulis gunakan adalah dapat diandalkan” akan tergantung pada faktor diluar pikiran Penulis, dan karena itu hal ini adalah sesuatu yang mungkin Penulis bebal/dungu.   
Pada sub-bab Observation & Theory dijelaskan bahwa sebelumnya telah ada pembahasan mengenai hubungan observasi dan teori. Hal ini berlanjut pada chapter ini. Sebelumnya, pada chapter sebelumnya, diketahui bahwa agar suatu teori di dalam observasi itu dapat memberikan pengetahuan maka observer (si yang mengobservasi) harus mengetahui bahwa teori itu adalah benar. Dalam hal reliabilism, hal ini tidak dibutuhkan. Untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan observasi adalah cukup bahwa metode observasi adalah dapat diandalkan. Hal ini membutuhkan bahwa teori menanamkan/melekatkan/menyimpan pada observasi menjadi benar atau hampir benar, tetapi itu tidak akan membutuhkan Observer mengetahui ini.
Seringkali teori atau asumsi dengan mana suatu teori dimuat secara diam-diam -  Observer tidak akan secara sadar melakukan asumsi tersebut. Di dalam beberapa kasus, ekspektasi kita adalah berpembawaan halus. Di lain kasus, mereka akan dipelajari, tetapi suatu hal umum bila Observer tidak akan lama untuk berhenti mempelajarinya.
Reliabilism memberitahu kita bahwa apa yang penting dalam metode observasi adalah untuk memberikan kita pengetahuan observasi melalui metode yang reliable (dapat diandalkan). Kita tidak butuh cakap/dapat/mampu untuk mengatakan secara tepat apa metode yang digunakan, maupun apakah kita butuh kemampuan untuk mengatakan apa asumsi teoritis yang digunakan, maupun apakah komitmen ini dengan sendirinya membutuhkan perhitungan pengetahuan.  
Pada sub-bab Innate epistemic capacities & reasoning about induction (kapasitas epistemik innate: yang berpembawaan halus & alasan mengenai induksi) dijelaskan bahwa reliabilist epistemology merupakan jawaban dari chapter 3 (natural kinds). Kita dapat mendeteksi ragam alami dan hukum (natural kinds and law) tertentu, yang mana kita kemudian menggunakannya sebagai dasar untuk menemukan sedikit hukum dan ragam tertentu. Adapun kekhawatiran berikutnya yang timbul adalah “bagaimana jika watak/pembagian/pengaturan (dispositions) innate adalah salah/cacat?” Dengan reliabilism maka pertanyaan ini tersebut dapat dijawab sebagaimana berikut: bahwa fakta dari watak/pembagian/pengaturan dapat saja tidak reliable (dapat diandalkan) tidak berarti bahwa kita tidak benar-benar memiliki pengetahuan.
Kunci dari solusi reliabilist terhadap permasalahan epistemologi adalah externalism–nya. Apakah suatu hipotesis dihitung sebagai pengetahuan (atau kesimpulan dihitung sebagai pembenaran) tergantung pada aktual reliability dari metode yang mendukung kepercayaan di dalam hipotesis atau aktual reliability dari kesimpulan tersebut.
Didasarkan pada pembahasan mengenai epistemic dispositions (watak/pembagian/pengaturan disposisi), kita dapat menginvestigasi seberapa dapat diandalkannya ia, dimana ilmu pengetahuan dapat memberikan justification (pembenaran) teoritis sebagai titik awalnya (strating point).
Satu jalan investigasi ilmiah dari kapasitas innate dan metode ilmiah dapat memiliki efek epistemic positif melalui menghilangkan metode-metode yang tidak dapat diandalkan (unreliable) dan meningkatkan dan mengembangkan yang lainnya.
Pada sub-bab Problem with reliabilism dijelaskan bahwa terdapat permasalahan pada reliabilism yakni mengenai “pengetahuan adalah hal mengenai kepercayaan yang diperoleh melalui metode reliable (yang dapat dihandalkan), (1) apa selanjutnya yang kita maksud disini dengan “metode” dan (2) kapan suatu metode disebut reliable?” Adapun pertanyaan kedua dapat dijawab bahwa suatu metode adalah reliable pada waktu ia tends (cenderung/merawat/memelihara) untuk menghasilkan kepercayaan yang benar/sebenar-benarnya (true beliefs). Penggunaan kata “tends” tersebut bermaksud bahwa suatu metode adalah reliable, meskipun jika ia kadang-kadang menghasilkan false beliefs (kepercayaan yang salah).
Selanjutnya, mengenai pertanyaan pertama “metode”. Dapat dijawab sebagai berikut : bahwa metode yang dimaksud disini adalah metode yang reliable. Reability (kehandalan) dari metode tersebut tidak hanya berarti bahwa metode tersebut memberikan jawaban yang benar hampir setiap waktu, melainkan juga fakta ini didukung oleh atau dijelaskan di dalam pengertian laws of nature  (hukum alam).
Sebagaimana dijelaskan tersebut maka tampak adanya perkembangan dari reliabilism, yakni untuk menghasilkan pengetahuan maka metodenya harus sukses dalam kesempatan di dalam pertanyaan, dan lebih lagi penjelasan itu sendiri sukses di dalam outline sebagaimana penjelasan dari reliability itu secara umum. 
Pada sub-bab Internalism & justification (internasilsme dan pembenaran) dijelaskan bahwa meski reliabilist telah menjawab skeptisme terhadap induktif namun bagaimanapun terdapat perdebatan penting mengenai justification (pembenaran) sebagaimana terdapat pada dugaan Hume. Pembenaran dan pengetahuan adalah hal yang berbeda. Salah satunya dapat memiliki false belief (kepercayaan yang salah) yang mana meskipun demikian dibenarkan, dan yang satunya lagi tidak dapat menjadi salah yang mana dihitung sebagai pengetahuan. Berdasarkan hal ini maka dapat saja terjadi seseorang membuat suatu pembenaran agar dapat menjadi pengetahuan tetapi tanpa syarat kebenaran.
Beberapa filsuf menyatakan perlawanan terhadap hal ini, yakni jika seseorang tidak memiliki ide/gagasan yang jelas mengenai metode apa yang mereka sedang gunakan, meninggalkan alasan bagus untuk menggunakannya, lantas bagaimana bisa ia memberi pembenaran kepercayaan mereka itu? Adapun Penulis berpikir perlawanan tersebut muncul dikarenakan (1) adanya pembenaran yang merupakan suatu kecelakaan (accident), yakni ketidaktahuan dalam mengadopsi suatu metode yang terjadi merupakan handal; (2) salah memahami pembenaran kepercayaan dan pembenaran metode. Adapun yang dimaksud dengan internalism mengenai justifikasi adalah suatu paham dimana pembenaran/justifikasi tidak boleh tergantung pada fakta di luar pemikiran si Pemikir (outside the mind of the thinker). Pada konsep pembenaran para internalist maka sesuatu dapat memiliki kepercayaan yang dijustifikasi, sekalipun ketika alasan yang menghasilkannya adalah tidak dapat dihandalkan.
Melihat kembali pada jawaban Strawson atas permasalahan induksi, yang mana menyatakan bahwa dimungkinkan untuk memberikan suatu standar priori dari hal masuk akal untuk argumen induktif. Penulis telah berpendapat bahwa argumen Strawson gagal dalam mensolusikan permasalahan Hume. Namun demikian, argumen Strawson yang menyatakan bahwa suatu pertimbangan priori dapat memberitahu kita apakah suatu kesimpulan/penarikan kesimpulan (inference) adalah beralasan (reasonable) diberikan bukti-bukti tertentu, meskipun jika pertimbangan-pertimbangan itu tidak bisa memberitahu kita apakah kesimpulan itu tampak benar.
Pada Chapter I (Laws of Nature) telah dijelaskan mengenai pandangan kriteria hukum. Pandangan kriteria tersebut menerima bahwa ada hubungan logis antara suatu keteraturan tertentu dan keberadaan hukum. Bagi para penganut keteraturan, hukum merupakan suatu bentuk dari keteraturan tertentu. Sementara itu, menurut Penulis, hubungan keduanya lebih rumit daripada itu.
Suatu aturan yang masuk akal mengenai rasionalitas adalah : jangan percayai sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya. Para ilmuwan memiliki maksud mereka untuk tidak membenarkan kepercayaan tetapi pengetahuan. Mengetahui dunia meliputi mengetahui semua hal tentang itu – memiliki teori-pembenaran-yang-cukup-baik tidak merupakan pemahaman jika pembenaran itu gagal untuk menghitung pengetahuan. Dalam pandangan ini, pengetahuan adalah apa yang kita maksud untuk dipercayai; kepercayaan kita adalah dibenarkan jika dasarnya merupakan suatu dasar di dalam suatu keadaan yang menuju/membawa pada pengetahuan.  

Pada bab Method and Progress dijelaskan bahwa pada pembahasan sebelumnya para reliabilst menyatakan pengetahuan adalah suatu keyakinan hakiki/benar (true belief) yang didukung oleh metode yang dapat diandalkan (reliable method). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada metode ilmu pengetahuan yang tersendiri/khusus - metode ilmiah? Metode ilmiah ini sering dianggap sebagai suatu hal yang membedakan ilmu pengetahuan dan ilmu lainnya, serta memberi penjelasan mengenai historis kesuksesan ilmu pengetahuan. Adapun Popper telah membedakan dan memberi kritik secara rasional mengenai ilmu pengetahuan dan yang bukan ilmu pengetahuan. Pandangan Popper tersebut dinamakan pula dengan pandangan optimistis (optimistic view). Sementara itu, hal yang ingin ditunjukkan Penulis disini adalah apapun metode ilmiahnya sekalipun sangat menyimpang dari pandangan optimistis, tetap tidak ada satu pun yang berguna untuk disebut metode ilmiah.
Di sisi lain, ada banyak metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan baik merupakan hasil penemuan ataupun hasil dari aplikasi. Bagaimanapun mereka bukan metode priori. Beberapa diantaranya tidak cukup detail untuk diaplikasikan, memerlukan imajinasi dan penilaian intuitif.
Metode Ilmish bisa memiliki sedikit atau tidak sama sekali penemuan teori, pemilihan hipotesis, penjelasan potensial dalam kasus “Discovering” (penemuan).
Tidak ada metode yang menjadi “sentral listrik” guna menerangi atau menghasilkan seluruh hipotesis yang cocok, adapun jika ada maka percuma saja sebagaimana kita tidak tahu mana hipotesis yang harus terlebih dahulu diuji.
Dalam pembahasan ini, Penulis membedakan metode berdasarkan 1) discovering (penemuan) dan 2) justification (pembenaran).
Adapun Hipotesis bukan merupakan subjek untuk mengatur dan metode, melainkan berguna untuk menguji, mengevaluasi dan mengkonfirmasi suatu teori.
Selanjutnya, pada sub bab Popper & Scientific method dijelaskan bahwa proses yang menghasilkan hipotesis adalah suatu latihan imajinasi. Ketika hipotesis telah dihasilkan maka harus diuji hingga ditemukan sisi salahnya. Hal ini berarti dalam penarikan kesimpulan kita harus menghasilkan hipotesis adalah salah. Hipotesis juga merupakan pembeda antara ilmu pengetahuan dan ilmu lain.
Metode Popper tidak dapat memberikan kita pengetahuan. Terlebih lagi, ia tidak dapat bekerja bahkan dalam pengertian. Selanjutnya dikatakan bahwa tidak mungkin membuat suatu observasi yang menguji hanya target teorinya. Selalu ada hipotesis bantu, asumsi, pendukung hipotesis, dan lainnya yang dapat diuji pula.
Falsificcation (kesalahan) adalah tergantung pada asumsi kebenaran dari asumsi yang umum. Falsified adalah penghubung asumsi-asumsi dan hipotesis dibawah diuji. Adapun menurut anti-inductivist penghubung tersebut dapat sangat luas, dimungkinkan meluas ke segala hal yang dipercayai. 
Menurut Popper, kita tidak pernah bisa tau suatu proporsi umum yang benar, begitu pula kita tidak bisa tahu pernyataan dasar yang benar. Hal ini disebut dengan problem of the empirical basis (permasalahan dasar empiris). Permasalahan ini lebih lanjut memunculkan permasalahan falsificationism (kesalahan).
Pada chapter 5, kita melihat bahwa keputusan Popper untuk menerima hal tertentu dari bukti statistik sebagai suatu penyalahan hipotesis kemungkinan adalah suatu hal biasa - konvensional. Hal ini dikarenakan pernyataan dasarnya terbuka untuk direvisi.
Sebagaimana disadari oleh Popper, bahkan ketika kita tahu apa yang kita miliki adalah kesalahan prima facie, kita tidak selalu menolak teori tersebut. Hal ini terutama sekali benar jika ada alternatif hipotesis yang tidak mungkin dikerjakan. Para ilmuwan akan melanjutkan pekerjaan dengan teori yang salah jika tidak ada alternatif teori lainnya. Adapun terdapat additional claim (klaim tambahan) yang berguna untuk menyelamatkan suatu teori, yakni dengan menyatakan bahwa latar belakang atau kondisi tes tidak sebagaimana mestinya atau dengan mengatur hipotesis bantu, hal ini disebut ad hoc hypothesis.  Popper tidak bersemangat pada hal ini, dikarenakan mereka menyediakan jalan keluar dari kesalahan. Padahal menurut Popper dibutuhkan adanya kesalahan.
Sebelumnya diketahui bahwa Popper menyokong bahwa ilmu pengetahuan bermaksud untuk meningkatkan verisimilitude (dekat dengan kebenaran) dari suatu teori. Penulis dalam hal ini berargumen bahwa tidak ada cara non-induktif untuk menaksir verisimilitude suatu teori. Menurut Penulis konsep verisimilitude Popper tersebut tidak menarik dikarenakan ia dipengaruhi konsep lainnya yang sedang berlangsung, khususnya sebagaimana Lakatos.
Terdapat contoh yang pada intinya menunjukkan bahwa kapanpun dua teori berbeda memiliki beberapa konsekuensi kesalahan dan beberapa konsekuensi kebenaran, mereka tidak bisa dibandingkan untuk verisimilitude. Konsepsi Popper tersebut tidak bisa diaplikasikan pada suatu contoh nyata pada teori yang dekat dengan kebenaran dibandingkan dengan teori lainnya. Namun demikian, jika sesuatu seperti konsepsi Popper dapat bekerja, itu akan tetap terbatas aplikasinya, mengingat bahwa itu tidak dapat membandingkan teori-teori yang, meskipun saling menjelaskan fenomena yang sama, memiliki cukup perbedaan konsekuensi.
Kita memliki ide intuitif bahwa satu teori lebih dekat dengan kebenaran daripada teori lainnya. Mengapa Popper sukses dengan konsepsi akhir yang tidak sukses, padahal ada beberapa yang lebih baik? Satu alasannya adalah suatu perhatian berlebihan pada logika deduktif. Logika deduktif telah menunjukkan suatu kekuatan goyangan kuat filosofis, terutama filsafat ilmu pengetahuan, ini mungkin terutama sekali benar dalam kasus Popper karena desakannya bahwa ini adanya satu-satunya bentuk legitimasi alasan di dalam ilmu pengetahuan.
Adapun inti dari pembahasan ini adalah suatu teori yang mendapatkan bentuk yang benar tetapi memilik detil yang salah dapat cukup dengan buruknya bagi logika apapun/Konsepsi Popper mengenai verisimilitude.
Adapun semangat pendekatan Popper telah diadopsi oleh pengikutnya yakni Lakatos. 
Pada sub bab Lakatos & the methodology of scientific research programmes dijelaskan bahwa satu atau dua falsification yang tidak dijelaskan secara nyata – anomalies (kelainan/keanehan/keganjilan/penyimpangan) – tidak boleh mengantarkan kita untuk menolak suatu teori. Lakatos berfokus untuk mengembangkan suatu skema yang akan membedakan antara teori-teori yang memiliki suatu strategi sukses untuk bernegosiasi dengan anomalies dan yang tidak. Ini disebut dengan methodology of scientific research programmes (metodelogi program penelitan ilmiah). Bagian teoritisnya terdiri dari hard core (inti keras) dan auxiliary belt (lajur/daerah bantu). Hard core merupakan ciri pasti dari program penelitian. Mengingat bahwa program penelitian dapat berubah seiring berjalannya waktu, maka hard core adalah sesuatu yang tidak berubah. Hal yang dapat berubah itu disebut dengan auxiliary belt. Auxiliary belt merupakan apa yang dibutuhkan dalam tambahan pada hard core untuk menjelaskan fenomena yang dapat diobservasi.
Adapun komponen metodologi dari program riset ilmiah adalah negative heuristic dan positive heuristic. Negative heuristic adalah suatu ketentuan bahwa hard core tidak dapat dibuang/ditinggalkan dalam menghadapi anomalies. Sementara itu positive heuristic menyediakan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi anomaly.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa suatu program penelitian ilmiah berjalan dengan baik atau justru buruk? Lakatos dalam hal ini memberikan 3 kondisi. Jika kondisi-kondisi itu ada di dalam program maka dikatakan “progressing” (ada kemajuan), jika tidak maka disebut “degenerating” (kemerosotan). Seiring berjalannya waktu, program-program tersebut berisikan serangkaian teori-teori yang satu dan lainnya saling menggantikan teori sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa semua teori yang dibagi dapat memiliki hard core yang sama tetapi berbeda pada auxiliary belt nya. Adapun ciri-ciri  program penelitian yang progresif adalah :
a)      Teori-teori berikutnya (yang kemudian)  harus memiliki beberapa isi yang tidak dimiliki teori-teori sebelumnya – mereka harus berisikan lebih;
b)     Teori-teori berikutnya harus menjelaskan kenapa teori-teori sebelumnya sukses; dan
c)      Teori-teori berikutnya harus memiliki lebih banyak bukti-bukti yang benar (corroboration) daripada teori-teori sebelumnya.
Lakatos mengatakan bahwa negative heuristic yakni keputusan untuk menerima hard core adalah benar dan membela untuk memerangi anomalies dengan mengatur auxiliary belt, adalah suatu hal yang konvensional. Seorang ilmuwan yang mengadopsi methodology of scientific research programmes (Popper) harus melakukan ini.
Adapun dijelaskan pula mengenai a) a new theory (teori baru) dan b) advanced theory (teori yang lebih maju).  Seorang ilmuwan yang bekerja dengan teori baru dapat saja tidak percaya bahwa teori itu benar. Anomalies mungkin dijelaskan melalui kesalahan inti teoritis, tetapi mereka dapat juga dijelaskan oleh seluruh hal yang berjalan salah.
Kesimpulan Penulis adalah bahwa metodologi program penelitian ilmiah Lakatos, dapat menyediakan beberapa wawasan pada jalan dimana program penelitian berkembang dan berkompetisi, memberikan sedikit pertolongan dalam mencari sesuatu yang dapat secara beralasan disebut “the scientific method” (metode ilmiah). Deskripsi Lakatos merupakan suatu general nature (sifat dasar umum), di dalam semangat Popperian,  memiliki suatu selera a priori yang kuat, memberikan petunjuk elemen yang kurang cukup detil untuk dihargai sebagaimana apapun seperti suatu metode. Terlebih lagi, apa yang Lakatos katakan dapat dipahami sebagai aplikasi dari Inference to the Best Explanation (penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik). Tentu saja, kita dapat melihat ini pada kasus lain dari proposal untuk metode umum ilmu pengetahuan.  Nantinya, Penulis akan memperlihatkan secara spesifik hubungan antara inference to best explanation dan scientific method (metode ilmiah) 
Pada sub bab clinical trials and the scientific method dijelaskan bahwa Stuart Pocock menjelaskan mengenai “the scientific method as applied to clinical trials” (metode ilmiah sebagaimana diaplikasikan pada percobaan/pemeriksaan/pengadilan klinis). Dalam hal terdapat 2 aspek yang terutama sekali yakni 1) interpretasi statistik dari data dan menggambarkan penarikan kesimpulannya (sebagaimana dijelaskan pada chapter 6) ; 2) perhatian pada hal-hal acak yang dikontrol oleh trials (randomized controlled trials). Pocock mengklaim bahwa randomized controlled trials merupakan alat esensial untuk menguji kemanjuran (efficacy) dari inovasi therapeutic  (mengandung nilai-nilai pengobatan).
Randomization tidak cukup untuk memastikan suatu percobaan yang memuaskan, meski jika semua hal lainnya telah sebagaimana mestinya. Randomization dapat menghasilkan hasil yang bias dari perbedaan yang inheren dalam pasien, apakah tampak ataupun tidak, seperti usia dan kondisi psikologis, yang mana dapat mempengaruhi hasil akhir.
Reference (referensi) sering dibuat sebagai double-blind trial (percobaan dobel yang buta). Pada percobaan demikian, baik pasien maupun petugas klinik mengetahui apakah pasien sedang menerima perlakuan atau tidak. 
Dalam praktik, randomize controlled trial dan double-blind (bila dimungkinkan) merupakan cara terbaik untuk menguji perlakuan demi kemanjuran (efficacy). Pocock dan lainnya menyediakan banyak bukti-bukti yang benar. Namun demikian, bagi Penulis hal ini adalah bukan a priori. Pengalaman telah mengajarkan kita bahwa cara melakukan sesuatu adalah tentang efektif. Dan kita belum belajar cara yang lebih baik .
Pada sub bab  A spectrum of methods & principles  dijelaskan bahwa metodelogi program penelitian Lakatos menyediakan suatu penjelasan a priori yang sangat umum mengenai bagaimana satu harus mengikuti suatu program penelitian dan mengevaluasinya melawan rivalnya. Pada saat yang sama ia tidak dapat disebut menyediakan apapun seperti metode. Lebih lanjut prinsip pengujian klinis memiliki suatu komponen a posteriori yang luas.
Penulis mengatakan bahwa jika suatu metode ilmiah adalah suatu metode untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah maka tidak ada apapun yang disebut sebagai metode dan memiliki keumuman yang cukup yang dapat disebut dengan metode ilmiah. Penulis dalam hal ini menganjurkan suatu yang disebut dengan the spectrum of methods (spektrum metode-metode), aturan ibu jari (rules of thumb), prinsip metodologi umum, aturan-aturan heuristic yang keseluruhannya memegang beberapa peranan di dalam “sentral listrik” pengetahuan ilmiah. Pada satu akhir dari spektrum yang kita miliki adalah, misalnya, kata-kata Lakatos dalam methodology of scientific research programmes.  Ini memiliki suatu rasa a priori yang kuat pada mereka.  Pada akhir lainnya spectrum adalah metode yang asli/sejati, tetapi aplikasinya terbatas pada wilayah tertentu dan kemanjuran (efficacy) keseluruhannya disebut hanya a posteriori, menjadi hasil dari peneman ilmiah yang spesifik.
Satu alasan mengapa beberapa aspek dari kegiatan ilmiah tidak bisa menjadi suatu subjek dari metode ilmiah adalah mereka berada di dalam dunia/bidang kecerdasan pikiran/jenius, imajinasi dan invensi/penemuan/hasil cipta. Bagaimanapun metode pembeda adalah terbatas pada kasus dimana hal subjek dapat dikontrol untuk mengeliminasi seluruh perbedaan tetapi satu – karenanya  kesulitan dalam pembetnukan dan menguji hipoetsis kasual di dalam sosiologi. Dalam dalam kasus apapun, aplikasinya sangat tergantung. Di dalam percobaan klinis tidak semua perbedaan diantara kontrol (control) dan perlakuan (treatment) dapat dieliminasi.  
Intinya, guna membangkitkan/menghasilkan/menyebabkan/ hipotesis tidak dapat dilakukan secara metodologis.
Pada sub bab  The context of discovery & The context of justification dijelaskan bahwa terdapat pembedaan antara discovery (penemuan) dan justification (pembenaran). Discovery merujuk proses menemukan hipotesis sementara justification merujuk pada evaluasinya.
Di dalam praktik aktual ilmu pengetahuan, taksiran dari hasil eksperimen, dan penggunaan mereka di dalam pembenaran klaim ilmiah, dapat membutuhkan kemampuan non-methodical (non-metode) yang mirip dan penilaian yang dibutuhkan dalam menemukan/memikirkan/merencanakan percobaan itu sendiri.
Hal ini membawa kita pada suatu poin yang lebih umum tentang penaksiran bukti/fakta. Berdasarkan inference to the best explanation (penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik), penaksiran suatu hipotesis melawan bukti adalah tidak sederhana merupakan suatu hal melihat apakah bukti tersebut masuk akal dijelaskan dengan hipotesis, tetapi juga mempertimbangkan apa alasan untuk berpikir bahwa itu adalah penjelasan terbaik dari bukti. Untuk melakukan itu akan dibutuhkan untuk menyusun/memahami apa alternatif penjelasan yang mungkin. Tetapi menyusun/memahami kemungkinan penjelasan adalah bagian yang dinamakan “context of discovery” yang mana kita sebut bukan menerima metode. Tidak selalu mungkin untuk membedakan konteks penemuan dan justifikasi/pembenaran. Meskipun perbedaannya sangat berguna, faktanya bahwa untuk kebanyakan ilmu pengetahuan, keduanya terikat bersama, satu dan lainnya saling membutuhkan.
Pada sub bab Inference to the Best Explanation & scientific method dijelaskan bahwa terdapat pertanyaan “apakah penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik merupakan metode ilmiah?” Penulis dalam hal ini berpikir bahwa peran utama dari “penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik” telah menjelaskan banyak proposal untuk metode ilmu pengetahuan yang telah kita diskusikan sebelumnya.
Terdapat alasan untuk percaya bahwa ada hal-hal yang dapat disebut metode ilmiah, lalu secara lebih umum dapat dilihat sebagai aspek dari inference to the best explanation (penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik). Pada waktu yang sama, inference to the best explanation  membolehkan kita untuk melihat mengapa asumsi para optimistis tentang metode ilmiah tidak bisa dipenuhi. Sebagaimana telah Penulis jelaskan pada bagian sebelumnya untuk mengambil kesimpulan penjelasan terbaik, kita membutuhkan beberapa ide tentang mengkompetisikan penjelasan-penjelasan yang mungkin. Seseorang yang tidak memiliki pengalaman atau imajinasi untuk menyusun/memahami alternatif hipotesis, tetapi malahan pintu-pintu/palang-palang pada saat mereka mendengar pertama kali adalah tidak seperti menggantikan, di dalam menduga/mengambil kesimpulan penjelasan yang benar. Sebagai kontrasnya, para ilmuan yang melihat apa yang masuk akal memperlombakan penjelasan-penjelasan yang memiliki data, adalah tampak lebih seperti menduga/mengambil kesimpulan secara benar kapan mereka menduga/mengambil kesimpulan dari yang terbaik dari mereka. Tetapi memikirkan hipotesis yang masuk akal adalah sesuatu yang kita suci hama dalam konteks “discovery” (penemuan), yang mana tidak boleh menerima/setuju dengan metode.  Tidak bisa terdapat suatu hal sistematis atau jalan a priori dalam menerangkan penjelasan yang mungkin. Dan juga prosedur penarikan kesimpulan yang mana merupakan kasus-kasus dari penarikan kesimpulan menuju penjelasan terbaik tidak bisa menjadi contoh penggunaan metode ilmiah. Prosedur semacam itu menghasilkan/membangkitkan kebanyakan pengetahuan ilmiah yang menarik, yakni pengetahuan yang bukan merupakan produk suatu metode.
Pada sub bab Science without scientific method (ilmu pengetahuan tanpa metode ilmiah) dijelaskan bahwa terdapat pendapat Paul Feyerabend yang menyimpulkan bahwa tidak ada metode yang dapat dibuang oleh ilmu pengetahuan. Prinsipnya adalah “anything goes” yakni apapun itu digunakan.  Hal ini dapat diartikan bahwa suatu ilmu pengetahuan dapat saja ada tanpa adanya suatu metode tertentu – metode ilmiah.
Ilmu pengetahuan tumbuh seiring dengan jumlah dan jarak metode yang tersedia, dan batas-batasnya akan lebih baik dipahami.
Pada sub bab Method & development of Science (metode dan perkembangan ilmu pengetahuan) dijelaskan bahwa beberapa perubahan signifikan dalam berpikir telah membawa perkembangan luar biasa dari pemikiran ilmiah pada akhir abad Renaissance. Kadang-kadang hal ini dapat diberi keterangan yang memuaskan dalam pengertian penemuan metode ilmiah. Menurut Penulis hal ini adalah salah. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan Penulis, tidak ada yang namanya “metode ilmiah”, dan jika penemuan dari beberapa metode ilmiah umum secara sempurna merupakan penjelasan paling sesuai dari revolusi ilmiah, seseorang dapat menyangka/menduga perkembangan bersama dari keseluruhan ilmu pengetahuan.
Saat ini para ilmuwan menggabungkan antara riset dasar dan perkembangan teknologi. Teknologi tersebut merupakan salah satu aplikasi yang menemukan perhitungan waktu yang akurat sesuai dengan maksud para ilmuwan, lebih lanjut perkembangan dari ilmu mesin dan astronomi. Penemuan dari metode yang berhasil/bermanfaat dapat membawa kita tidak hanya pada kemahiran/tambahan pengetahuan tetapi juga perkembangan metode bermanfaat lainnya/lebih lanjut.
Pada sub bab  Paradigms & progress (paradigm dan kemajuan) dijelaskan bahwa pada berbagai poin dalam buku ini Penulis telah menyarankan bahwa pada prinsipnya penarikan kesimpulan ilmiah bersifat holistik. Seluruh bukti harus dicatat dan kita harus mencari hukum dan penjelasannya yang keseluruhnya merupakan penjelasan terbaik dari seluruh bukti. Pada faktanya, hal ini kita tidak pernah melakukan ini. Para ilmuwan cenderung untuk hanya mempertimbangkan jarak sempit dari bukti dan menggunakan teori lain untuk mengakui penggunaan mereka dalam melakukan uji terhadap hipotesis. Terlebih lagi, penilaian para ilmuwan sebagaiamana pada penjelasan yang baik di dalam bidang tertentu tampak seperti akan diantarkan oleh sejarah sukses penelitian di bidang tersebut. Adapun kesuksesan dari new theory (teori baru) akan berada di dalam bagian yang diperhitungkan oleh kemampuannya untuk berintegrasi dengan mereka. Dan mereka akan mempertunjukkan mana area yang menarik dari penelitian yang mana akan berubah untuk menjelaskan keberhasilan suatu teori di bidang ini.
Hal pertimbangan ini membawa kita pada dugaaan Thomas Kuhn mengenai “paradigm” (paradigm). Kuhn memandang bahwa sejarah ilmu pengetahuan terdiri atas 2 (dua) jenis episode yakni : normal science (ilmu pengetahuan normal) dan revolutionary science (ilmu pengetahuan revolusioner). Pada masa normal science penelitian ditentukan oleh standar dan contoh tertentu - paradigma. Adapun revolusi ditandai adanya transisi antara satu periode normal science dengan yang berikutnya; mereka muncul ketika suatu paradigm dibuang dan digantikan. Adapun momen revolusioner dalam sejarah ilmu pengetahuan termasuk keberhasilan Copernican (heliosentris).
Dugaan dari suatu paradigm ilmiah memiliki isi sosiologis yang kuat. Teks yang luar biasa akan digunakan dalam pendidikan para ilmuwan muda.
Hingga saat ini keberhasilan paradigm dapat ditemukan dengan sendirinya menerangi suatu peningkatan jumlah anomalies (keganjilan/keanehan/penyimpangan dari yang biasa).
Meskipun demikian, sisa pertanyaan yang tidak dapat dibandingkan berhutang pada perbedaan dalam standar dari perbandingan teori dan evaluasi. Jika paradigma berbeda dan isinya benar-benar tidak dibandingkan, ia akan secara pasti menentang apa yang para ilmuwan susun/pahami tentang apa yang mereka lakukan.
Satu cara dimana teori-teori dapat menjadi “tidak dapat dibandingkan” adalah dengan memiliki perbedaan hal subjek, yakni perbedaan fenomena.
Meskipun demikian, “ke-tidak-dapat-dibandingkan” diantara teori-teori tentang fenomena yang sama tampak memiliki konsekuensi negatif untuk ketaatan rasional pada teori-teori.
Penulis dalam hal ini berpikir kita dapat keluar dari kesimpulan anti-rasionalis yakni dengan 2 (dua) cara :1) “ke-tidak-dapat-dibandingkan” apakah benar atau tidak, tidak memerlukan bahwa kita tidak memiliki pengetahuan ilmiah atau pembenaran; 2) kita dapat mengakomodasi banyak hal positif sebagaimana dikatakan Kuhn dalam kerangka inference to the best explanation.
Adapun kesulitan dalam menemukan, memiliki dan membenarkan suatu paradigma baru tidak dihitung sebagai ketidakmungkinan. Lalu pada dasarnya revolusi ilmu pengetahuan tidak melibatkan “ke-tidak-dapat-dibandingkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar