Jumat, 10 April 2020

Philosophy of Science (Bagian 2 dari 4)



[ CATATAN: Semoga terjemahan bebas buku philosophy of science berikut dapat menjadi salah satu referensi yang bermanfaat dalam memahami buku tersebut dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. ]

PART 1: REPRESENTATION 

Dalam bab Laws of nature dijelaskan bahwa dunia ini berjalan berdasarkan suatu aturan yang dinamakan hukum alam. Hukum dalam hal ini merupakan sesuatu yang dilepaskan dari pendapat dan teori. Hukum merupakan sesuatu yang kita usahakan untuk ditemukan dari alam. Hukum bukan mengenai“what is X” tetapi “how we can get X?”. Adapun keberadaan hukum alam tersebut selanjutnya melahirkan adanya science atau Ilmu Pengetahuan .
Dalam sub-bab minimalism about laws – the simple regularity theory (Minimalisme tentang Hukum – Teori “Beraturan” Keberaturan/Keteraturan yang Sederhana), dijelaskan bahwa minimalisme merupakan ekspresi dari empirisme, yang mana  menyatakan bahwa suatu konsep dapat diaplikasikan atau tidak tergantung dari teori yang digunakan. Minimalisme menyatakan bahwa hukum dan keteraturan adalah sama (laws and regularities are the same). Ini disebut “the simple regularity theory” (SRT) of law, yang memiliki rumus bahwa “adalah hukum bahwa Fs adalah Gs jika dan hanya jika seluruh Fs adalah Gs.” Orang-orang minimalis memandang bahwa hukum bukanlah sesuatu yang empiris (nyata). Hukum merupakan sesuatu yang tidak lebih daripada koleksi kejadian-kejadian yang sama (keteraturan). Lebih lanjut, keteraturan adalah hal yang membentuk/ memberi tahu kita tentang hukum. Adapun kontra terhadap hal ini menyatakan hal ini salah, karena ada hukum tanpa suatu keteraturan yang tepat.
Lebih lanjut dalam sub-bab Regularities that are not laws  dijelaskan bahwa keteraturan tidak cukup untuk menjadi sebuah hukum, mengingat bahwa ada dua keteraturan yang tampak persis sama tetapi yang satu hukum dan satu lagi bukan hukum  melainkan hanya berupa kebetulan saja. Adanya The Simple Regularity Theory (SRT) dalam hal ini tidak membedakan antara hukum murni dan kebetulan-kebetulan belaka.
Selanjutnya, dalam sub-bab Laws and counterfactuals (Hukum dan Berlawanan dengan Fakta), dijelaskan bahwa Counter factual merupakan hal yang berlawanan dengan fakta namun merupakan sesuatu yang benar. Misalnya……Counterfactual menggarisbawahi perbedaan antara keteraturaan yang kebetulan dan nomic. Counterfactual membahas mengenai apa yang akan terjadi jika terdapat kemungkinan yang bukan fakta pada saat itu. Dalam hal ini dibutuhkan situasi yang sama. Hukum  mendukung counterfactual, namun demikian tidak seluruh counterfactual didukung oleh hukum, hanya counterfactual yang merujuk pada hukum yang didukung oleh hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Counterfactual tidak bisa membantu analisis hukum - dikarenakan  counterfactual tersebut berkaitan dengan suatu hal yang memiliki hukum yang berbeda dengan yang seharusnya terjadi.
Selanjutnya dalam sub-bab  Laws that are not regularities – probabilistic laws (Hukum bukan suatu keteraturan - Hukum Kemungkinan) dijelaskan bahwa terdapat banyak keteraturan yang bukan merupakan hukum (hukum alam) yakni :
a)      Keteraturan yang kecelakaan/accidental
b)      Keteraturan yang disusun/dibuat
c)      Keteraturan hal sepele yang tidak instan
d)      Keteraturan persaingan fungsional
Hukum Kemungkinan/Probabilitas adalah suatu hal yang umum di fisika nuklir. Sebuah partikel dimungkinkan rusak dalam waktu tertentu. Apa yang mungkin pada suatu individu partikel, mungkin juga terjadi bagi partikel lainnya.
Bentuk argumen ini sudah pasti tidak valid secara logis. Namun demikian, ini mengingatkan kita pada suatu kemungkinan daripada apa yang dijelaskan minimalist.
            Berikutnya pada sub-bab The systematic account of laws of nature  (Kriteria/Laporan/Catatan sistematis dari hukum tentang alam) dijelaskan bahwa guna mengetahui sesuatu adalah keteraturan yang merupakan kebetulan atau keteraturan yang merupakan hukum maka diperlukan suatu catatan mengenai suatu hal (fakta yang terjadi). Catatan tersebut merupakan bentuk dari organisir fakta. Namun demikian kita dapat menemukan (fakta) sebuah sistem yang lebih sederhana tapi tidak kuat. Lantas yang mana yang hukum? Hal ini akan lebih membatasi kita dan menerima sebuah hukum karena ia merupakan keteraturan yang terlihat pada semua sistem yang optimal.
      Selanjutnya pada sub-bab Basic Laws and derived laws (Hukum Dasar / Basis dan Hukum Turunan) dijelaskan bahwa Science atau Ilmu Pengetahuan dapat diturunkan menjadi ilmu fisika dan ilmu kimia. Hal ini menunjukan bahwa sebuah hukum dasar (science) merupakan hal fundamental bagi hukum turunananya (fisika/kimia). Tanpa adanya hukum asal/basis/dasar maka tidak ada hukum turunan. Di sisi lain, ada beberapa bidang hukum yang tidak dapat direduksi/diturunkan, sehingga hukum dasarnya termasuk dalam bidang hukum tersebut. Hal ini dimungkinkan karena kita belum tau mengenai hukum dasarnya. Intinya semua hukum yang kita kenal dapat diturunkan menjadi hukum turunan.
      Berikutnya pada sub-bab Laws and acidents (Hukum dan Kebetulan/Kecelakaan) dijelaskan bahwa keteraturan yang sistematis dimungkinkan gagal untuk menunjukkan hukumnya yang sebenarnya. Dimungkinkan suatu keteraturan sederhana merupakan kebetulan. Hal ini menyebabkan keteraturan tadi tidak dapat disambung hingga menjelaskan hukum yang tepat. Terdapat explanation (alasan).Dengan menggunakan catatan yang sistematis, kebetulan akan dihitung sebagai hukum karena ia juga berkontribusi pada sistem yang kuat, padahal di waktu yang sama hukum yang sebenarnya (the real laws) dikeluarkan (tidak termasuk) karena pekerjaan mereka di dalam melakukan sistematisasi fakta dilebih-lebihkan oleh keteraturan yang kebetulan. Adanya tambahan fakta membuat keteraturan kecelakaan lebih menonjol daripada hukum yang asli. Hal ini berarti bahwa Teori Sistematis gagal menjadi bahan yang memadai.
     Selanjutnya, dalam sub-bab Law, regularities and explanation  (Hukum, Keteraturan dan Penjelasan ) dijelaskan bahwa Hukum dapat didasarkan pada suatu keteraturan. Namun demikian, keteraturan belaka tidak bisa menjelaskan kejadiannya sendiri adalah kunci bahwa sesuatu tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri, Maka hukumnya tidak dapat dijelaskan pula.
“Punya ku rusak” ya “Punya mereka juga rusak” => keteraturan
“Semua toaster begitu” => tidak jelas “begitu” nya adalah apa.
Keteraturan bukanlah suatu penjelasan atas kejadiannya sendiri.
      Berikutnya pada sub-bab Law, regularities and induction (Hukum, Keteraturan dan Induksi) dijelaskan bahwa Teori Minimalis membentuk sesuatu yang umum dari sesuatu yang khusus (khusus ke umum). Padahal tidak semua kembar adalah sama persis (keteraturan), tapi hal yang menghubungkan mereka bukanlah itu, tetapi karena mereka berasal dari orang tua yang sama yang mana menjelaskan keteraturan dari penampakan mereka yang sama.
       Berikutnya pada sub-bab A full-blooded view - nomic necessitation dijelaskan bahwa suatu keteraturan tidak dapat menjelaskan kejadiannya sendiri sebagaimana hukum alam seharusnya menjelaskan kejadiannya juga. Aturan ini merupakan penutup-hukum. Sudut pandang yang sama tercapai dari perspektif yang sebaliknya. Kita tidak bisa menduga sebuah keteraturan berasal kejadiannya kecuali jika terdapat sesuatu yang lebih kuat daripada keteraturan itu sendiri terikat pada kejadian tersebut secara bersama-sama.
          Kemudian pada sub-bab What is necessitation (apa itu keharusan) dijelaskan bahwa Keharusan adalah sesuatu yang tidak dapat kita lihat. Jika kita menuliskan berbagai karakteristik keharusan maka itu akan cukup untuk memisahkan hubungannya dengan yang sedang kita bicarakann. Pada faktanya, hal ini menjelaskan bahwa kondisi ini tidak menggantikan/berhasil dalam membedakan pandangan the nomic necessitation dari pandangan keteraturan hukum.
     Berikutnya pada sub-bab The criterial account of Laws dijelaskan bahwa baik penganut minimalist maupun full blooded tidak dapat menjelaskan apa itu hukum. Salah satu metode alternatif adalah definisi ostensive, yakni menggunakan suatu kriteria:
-          Hukum menjelaskan kejadiannya, sementara keteraturan tidak (dalam fakta/keterangan hukum menjelaskan keteraturan mereka sendiri, dimana keteraturan tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri. Fakta/keterangan bisa dihitung sebagai bukti adanya hukum. Dimungkinkan untuk keteraturan sistematis untuk menyimpang dari hukum yang ada. Fakta bahwa eksistensi kriteria hukum dan hukum itu sendri adalah dua hal berbeda yang bida dideskripsikan sebagai gap ontological.
     Adapun inti dari bab ini adalah hukum bukan merupakan keteraturan-keteraturan. Ia menekankan fakta bahwa hukum adalah hubungan kepemilikan (properties). Hal ini menujukan fakta tertentu adalah jenis berbeda dari hukum dan mungkin dijelaskan oleh mereka. Oleh sebab itu dugaan full blooded  pada anomic necessitation dalam ekspresi kita terhadap hukum: apa yang kita sekarang tau adalah bagaimana dugaan ini dijelaskan, yang mana melalui kriteria.

Explanation:
Pada sub-bab Kinds of explanation (jenis penjelasan) dijelaskan bahwa tugas umum dari Science  adalah untuk menyediakan penjelasan. Permasalahan induksi berujung pada pertanyan mengenai prediksi yakni apa yang akan terjadi dari apa yang telah diobservasi. Adapun jenis dari explanation  (penjelasan) terdiri atas :
(a) causal explanation; 
(b) nomic explanation, 
    (explanations in terms of law of nature);
(c) psychological explanation:
(d) psychoanalytic explanation:
(e) “Darwinian” explanation:
(f) functional explanation
Adapun causal explanation dan nomic explanation efektif dalam menjelaskan hal umum dan khusus, sementara “Darwinian” hanya bagus untuk menjelaskan hal umum. Explantion atau penjelasan/keterangan sangat berkaitan erat dengan inference (kesimpulan). Inference to the Best Explanation merupakan standar penjelasan/keterangan ilmiah, yakni guna mencari penyebab dari suatu fenomena. Dalam Inference to the Best Explanation  diperlukan pemahaman mengenai 2 (dua) hal yakni possible cause  (penyebab yang mungkin untuk mengakibatkan terjadinya suatu fenomena) dan subject matter (subjeknya itu sendiri). Hal ini merupakan sesuatu yang tidak bersifat objektif, hal objektif justru seharusnya dihindari. Sehingga penjelasan demikian yang telah diberi nama selanjutnya disebut sebagai metaphysical component of explanation.
Berikutnya, pada sub-bab Hempel’s models of explanation (penjelasan model Hempel) dijelaskan bahwa sebelumnya telah dijelaskan mengenai perbedaan factive dan non-factive explanation serta kaitannya dengan epistemic dan metaphysical components. Hempel dalam hal ini menyatakan bahwa untuk menjelaskan suatu fakta maka perlu ditunjukan bagaimana fakta tersebut dapat digolongkan/dimasukkan di bawah suatu hukum atau beberapa hukum secara bersama-sama dengan berbagai kondisi yang antecedent (hal yang mendahuluinya). Pendekatan demikian disebut dengan covering law view yakni pendekatan dimana penjelasan adalah hal penting dalam menetapkan suatu hukum yang menutup pertanyaan-pertanyaan suatu kasus. Fokusnya adalah pada hukum yang ada. Adapun jenis explanation yang digunakan dalam teori ini adalah nomic explanation dan dapat pula causal explanation. Adapun ada 2 (dua) versi dalam memandang hal ini yakni dengan menggunakan the deductive-nomological model of explanation dan the probabilistic-statical model of explanation. Dalam hal ini terdapat istilah explanandum yakni fakta yang akan dijelaskan dan explanans  yakni fakta yang telah dijelaskan. Pada the deductive-nomological model of explanation maka suatu fenomena dijelaskan jika ia dapat ditarik kesimpulannya berdasarkan hukum ditambah  alat bantu berupa pernyataan tertentu/pasti yang memperhatikan/berkaitan dengan explanandum, sebagaimana dicontohkan pada reaksi yang terjadi pada bongkahan Potassium ketika dimasukan dalam air. Dalam hal ini sesuatu yang umum ditarik menjadi hal khusus, dengan kemudian mengubah suatu kondisi berdasarkan ekspektasi tertentu/pasti (certainty).  Sementara itu pada the probabilistic-statical model of explanation maka ekspektasi dilakukan berdasarkan suatu probabilitas yang tinggi, dengan menarik sesuatu yang khusus menjadi umum (genaralisasi) lalu memberi penjelasan berdasarkan sesuatu yang “sangat mungkin terjadi” (probability). Model Penjelasan Hempel tersebut merupakan suatu formal logic. Penjelasan tersebut tidak bermaksud untuk memberikan deskripsi dari suatu kebiasaan-kebiasaan/latihan/praktek yang aktual yang berfungsi untuk menjelaskan, melainkan untuk memaparkan kebiasaan yang ideal. Adapun formal logic ini jarang digunakan untuk mendeskripsikan suatu fenomenan. Lazimnya formal logic digunakan untuk mengevaluasi fenomena tersebut. Jika ternyata formal logic terbukti memberikan kesimpulan yang benar daripada informal logic, maka informal logic tersebut adalah fallacious (salah/keliru). Pada  intinya, teori Hempel menjelaskan mengenai hubungan antara explanation (penjelasan) dan prediction (prediksi). Penjelasan adalah prediksi setelah suatu hal terjadi dan prediksi adalah suatu penjelasan sebelum suatu hal terjadi.
Selanjutnya dalam sub-bab Problems with the covering law approach (permasalahan dari pendekatan covering law) dijelaskan tiga permasalahan dari pendekatan covering law. Permasalahan pertama, yakni terkait contoh kasus Achinstein yang mana menunjukkan bahwa penjelasan/keterangan cenderung keliru/salah, meskipun premis-premis dalam penjelasan/keterangan tersebut adalah benar, yang mana mungkin tidak mampu menjelaskan explanandum nya. Hal ini dijelaskan oleh David-Hillel Rubben sebagai wujud tidak simetrisnya hubungan antara explanation dan prediction. Permasalahan kedua adalah adanya kesalahan arah dalam penjelasan, yakni penjelasan yang ada tidak menjelaskan apa yang seharusnya dijelaskan melainkan menjelaskan hal lain yang tidak dipertanyakan. Hal ini sebagaimana contoh kasus peracunan Achinstein. Permasalahan ketiga adalah mengenai ketidakmungkinan pendekatan covering law dalam menjelaskan suatu hal yang terjadinya hal tersebut sama sekali tidak mirip. The Covering Law terlalu umum.  Lebih lanjut pendekatan demikian tidak cocok untuk suatu genuine explanation (penjelasan asli/sejati) yang mana tidak memiliki ekspektasi, sebab peluang dari suatu kejadian/gejala adalah sangat rendah.
Berikutnya, pada sub-bab A holistic approach to explanation (suatu pendekatan holistik menuju penjelasan) dijelaskan bahwa suatu penjelasan harus ditemukan berdasarkan suatu pendekatan yang holistik yakni tidak hanya mempertimbangkan hal yang terjadi dan hukum yang berlaku pada kasus tersebut tetapi juga mempertimbangkan kemungkinan penjelasan lain atas kejadian tersebut dan penjelasan atas kasus yang berkaitan, termasuk pula mempertimbangkan adanya prima facie.
Selanjutnya pada sub-bab Inference to the Best Explanation (Kesimpulan menjadi/menuju Penjelasan/Keterangan Terbaik) dijelaskan bahwa Inference to the Best Explanation merupakan hal yang digunakan secara meluas dalam Ilmu Pengetahuan (Science). Suatu  pengetahuan mengenai explanation (penjelasan) membutuhkan beberapa pengetahuan tentang apa itu hukum dan membagi permasalahan yang sama mengenai induksi darimana pengetahuan hukum itu diderita. Misalnya terjadi fenomena P. Penjelasan yang mungkin atas fenomena P adalah E (putative explanation), selanjutnya dinyatakan E sebagai penyebab aktual (penjelasan aktual/actual explanation) terjadinya P. E ini didasarkan pada fakta C dan hukum L. Oleh karena E merujuk pada terjadinya P, maka C dan L merupakan fakta dan hukum aktual dari P.
Berikutnya, pada sub-bab The hypothetico – deductive model of confirmation dijelaskan bahwa Inference to the Best Explanation merujuk pada keterkaitan antara explanation (keterangan/penjelasan) dan confirmation (konfirmasi). The hypothetico – deductive model of confirmation memiliki intuitive appeal (seruan/permohonana/bandingan intuitif). Jika prediksi suatu teori cocok dengan apa yang diobservasi maka observasi tersebut mengkonfirmasikan teori tersebut. Dalam hal ini terdapat hipotesis yang selanjutnya dibuktikan kebenarannya oleh suatu evidence (fakta/bukti).
Pada intinya baik the decutive nomological model of explanation maupun the hypothetico – deductive model of confirmation gagal dengan alasan yang sama – tidak ada suatu kemungkinan dari suatu model penjelasan/konfirmasi dalam suatu hubungan logis antara hukum/hypothesis dan explanandum/evidence. Malahan konfirmasi dan penjelasan tersebut harus bersifat holistik. Bukti yang terbaik untuk suatu hukum L menjadi penjelasan atas suatu fakta F adalah bahwa F instantiating L adalah bagian dari apa yang menyebabkan the optimal RL systematization, yang mana pada waktu yang sama juga merupakan alasan terbaik untuk menyatakan bahwa F mengkonfirmasi hipotesis bahwa L adalah hukum. 

Natural Kinds (Jenis-jenis kelaziman/kebiasaan/ilmu alam/alamiah)
Pada sub-bab Kinds and classifications (jenis dan klasifikasi) dijelaskan bahwa tidak ada pengertian absolut mengenai klasifikasi alamiah menjadi beragam jenis. Misalnya terhadap sesuatu yang sama terdapat dua cara mengklasifikasikannya, yakni secata biologis dan kuliner.
Pada sub-bab The descriptive view of kinds dijelaskan mengenai perbedaan 3 (tiga) aspek dari jenis konsep, yakni 1) sense (guna, pengertian, perasaan), yakni berupa ciri-ciri anggota suatu kelompok. Misalnya, seekor harimau, sense nya : karnivora, empat kaki, garis hitam-kuning, mamal besar; 2) extension (perluasan) artinya ciri-ciri anggota tadi diperluas menjadi ciri-ciri kelompok. Misalnya, ciri-ciri seekor harimau tersebut merupakan ciri-ciri seluruh harimau, agar dapat disebut harimau maka seekor binatang harus memenuhi ciri-ciri tersebut: 3)reference yakni entitas abstrak dari natural kind (jenis kelaziman) / universal harimau. Ketiga pendekatan tersebut disebut dengan descriptive view. Permasalahan dari pendekatan ini adalah adanya banyak kemungkinan yang dapat timbul, mengingat pula semakin berkembangya pengetahuan ilmiah. Jika suatu descriptive view adalah benar, maka natural kinds memiliki nominal essence (nominal intisari/pokok) .
Pada sub-bab The essentialist view of kinds dijelaskan bahwa terdapat argumentasi terkait descriptive view yang menyatakan bahwa 1) memilliki nominal essence tidak diperlukan untuk suatu natural kind, sebagaimana dijelaskan Kripke yang menyatakan bahwa kita dapat menyusun/memahami harimau, misalnya, meski tidak memenuhi ciri-ciri yang disebutkan untuk memenuhi nominal essence ; 2) Itu tidak cukup, sebagaimana dijelaskan oleh Hilary Putnam. Kripke dan Putnam telah menunjukkan bahwa natural kinds tidak memiliki nominal essence, sesuatu dikatakan sesuatu jika ia sama dengan contohnya. Hal ini disebut dengan real essence (intisari nyata). Hal ini disebut pula dengan essentialism (esensialisme). Kripke dalam hal ini menyatakan bahwa jika kita tertarik pada suatu esensi/pokok/intisari natural kind maka kita tidak boleh hanya memikirkan ciri-ciri yang seharusnya dimiliki sesuatu itu, tetapi ciri-ciri yang fundamental.
Pada sub-bab Problem with Kripke-Putnam Natural Kind dijelaskan bahwa pada pendapat Kripke-Putnam  diperlukan adanya suatu kemiripan absolut diantara anggota suatu kelompok, yang mana dimulai dari kemiripan pada tahap basic level  (umum) selanjutnya pada tahap yang lebih spesifik. Hal ini menimbulkan permasalahan bagaimana jika ada sesuatu yang tidak absolut identik, namun secara umum adalah sama, lalu bagaimana mendefinisikannya?
Pada sub-bab Natural Kind & Explanatory Role dijelaskan bahwa suatu elemen berguna memberi hipotesis guna menjelaskan suatu fenomena. Adapun konsep natural kind  memiliki arti dengan sifat explanatory role (peran menjelaskan). Adapun explanatory role dapat meliputi lebih besar atau lebih sedikit jumlah teori. Keterkaitan antara kinds (jenis) dan explanatory role adalah untuk membolehkan kita untuk membuat ruang untuk non-basic kinds (jenis tidak dasar/basis) sebagai kita dapat menempa/memalsukan  penjelasan pada suatu level tertentu di dalam kimia, mikrobiologi, genetik dan lainnya, tidak hanya pada level fisik partikel. Intinya, ada beberapa tujuan natural kinds, keberadaan yang mana merupakan sisa dari kemungkinan penjelasan, dan juga keberadaan hukum alam (law of nature).  Meskipun demikian, konsep kind tidak mempertahankan pandangan bahwa untuk setiap entitas ada hanya satu natural kind ia semestinya berada. Sebagai kontranya, mungkin ada banyak, hubungan timbal balik yang mana terutama untuk entitas yang lebih kompleks, dan diatas semua itu, secara biologis, mungkin sangat kompleks. Pada beberapa kasus, satu jenis (kind) dapat merupakan sub-jenis (subkind) yang lainnya, dimana pada kasus lain jenis-jenis itu (kinds) dapat saling meliputi/melengkapi (overlap) tanpa menjadi sub-jenis (subkind) yang lainnya.
Pada sub-bab Laws, Natural properties and quantities (hukum, sifatt-sifat alamiah, dan kuantitas) dijelaskan bahwa David Armstrong menyatakan bahwa meskipun dua sifat berhubungan dengan nomic necessitation adalah secara murni suatu kesatuan. Menurut penulis hal ini merupakan misleading  (menyesatkan). Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, bahwa kadang-kadang konsepsi kita sendiri mengenai suatu natural property (sifat alamiah) atau quantity (kuantitas) adalah berada di dalam pengertian dari explanatory role (peran menjelaskan) nya itu sendiri. Sebagaimana suatu penjelasan (explanation)  membutuhkan keberadaan hukum, konsepsi kita mengenai sifat atau kuantitas akan memerlukan beberapa pengakuan/pengenalan dari hukum yang ada atau hukum dimana ciri-cirinya berada. Intinya, suatu sifat/ciri ataupun kuantitas memberikan suatu penjelasan yang mana penjelasan ini merujuk pada keberadaan suatu hukum dan hukum ini juga mengatur mengenai penjelasan dan ciri tersebut.
Pada sub-bab A problem for Natural Kinds (sebuah masalah untuk Jenis/Ragam Alamiah) dijelaskan bahwa suatu natural kinds (ragam alamiah) dapat dipahami pengertiannya berdasarkan peran penjelasannnya yang mana lebih lanjut merujuk pada suatu hukum. Adanya peran penjelasan tersebut memberikan kejelasan bahwa natural kind (ragam/jenis alam) ada di dalam natural law (hukum alam). Namun demikian terdapat permasalahan untuk membedakan natural kind dan natural law manakah yang merupakan sesuatu yang alami saja dan mana yang termasuk dalam suatu hukum alam. Menurut kaum minimalist, hukum merupakan suatu generalisasi fakta tertentu. Hukum dan ragam merupakan sebuah struktur yang ditentukan oleh kita berdasarkan realita yang terdapat hanya pada fakta tertentu. Sementara itu, menurut full-blooded theorist pemikiran mengenai hukum dan ragam adalah secara esensial berubah-ubah, konvensional, atau secara sosial adalah tidak diterima.  Ide yang coba ditawarkan penulis adalah, bahwa konsep natural kind dan natural law adalah diperbaiki dengan hubungan internal keduanya dan hubungan mereka pada suatu intuitif natural kind tertentu/pasti yang menyediakan contoh-contoh/kejadian/hal dasar. Contoh-contoh tersebut membentuk dasar ilmu pengetahuan.
Pada kesimpulannya: Permasalahan Goodman menunjukkan bahwa kita tidak dapat menemukan suatu model kesimpulan yang membiarkan kita untuk memutuskan, di dalam pengasingan/isolasi, yang mana kesimpulan-kesimpulan tersebut beralasan untuk diadopsi. Penulis telah berargumen terhadap hal ini dengan menyatakan bahwa tidak ada model dari hukum, penjelasan, atau konfirmasi. Pada setiap kasus apa yang akan menjadi suatu alasan untuk menghormati hukum, penjelasan, atau mengkonfirmasi bukti/fakta akan tergantung pada apa yang hal lain menjadi beralasan untuk menghormati hal yang sama. Pendekatannya adalah holistik. Apa yang dihitung sebagai kesimpulan beralasan adalah pada kategori yang sama, sebagaimana natural kinds (ragam/jenis alamiah). Seluruh konsep ini adalah terhubung. Hukum menghubungkan natural kind. Induksi dapat dilihat sebagai kesimpulan menuju penjelasan terbaik, dimana penjelasan itu adalah suatu hukum. Oleh sebab itu natural kinds adalah salah satu jenis/ragam dari suatu kesimpulan induktif. Hubungan timbal balik antar konsep melahirkan ayam-telur. Apakah sebuah kesimpulan beralasan karena itu mempekerjakan natural kinds? Atau adalah sebuah pilihan kind natural karena ia muncul dalam suatu kesimpulan yang beralasan? Sebagaimana kasus ayam dan telur, jawabannya adalah keduanya berkembang secara bersamaan. Kita memiliki kecenderungan alami untuk membuat kesimpulan induktif dengan secara intuitif mengenali jenis/ragam-ragam. Meskipun ini bukan merupakan dasar dari ilmu pengetahuan (science), namun merupakan titik awalnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri menenangkan kita bahwa titik awal tersebut adalah suatu kepuasaan, jika tidak sempurna, satu, dan bahwa watak/pembagian/penyusunan/kecondongan halus melakukan dengan dan palang pintu besar diatas jenis-jenis diidentifikasi sebagai seperti penemuan yang hanya dapat diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja pada kimia, mineralogi, biologi, dan lainnya. Mungkin kamu akan menemukan validasi bahwa ilmu pengetahuan memberikan pada dirinya suatu titik awal adalah tidak sangat menenangkan. Apakah itu tidak sirkuler? Ilmu pengetahuan itu melakukan evaluasi – evaluasi kritis - dengan metodenya sendiri, adalah tidak perlu diragukan. Mengapa ini bisa menyediakan ketenangan yang asli adalah cerita lain, dan adalah topik pada bagian berikutnya.

 Realism
Pada sub-bab Realism & Its Critics (realisme dan kritiknya) dijelaskan bahwa terdapat pandangan berbeda mengenai metafisika dalam ilmu pengetahuan, ada pihak yang ingin meminimalisir komitmen metafisika ilmu pengetahuan, ada pula yang senang dengan lebih kaya diet metafisika. Full blooded  theorist menginginkan hukum menjadi fakta yang menjelaskan korelasi yang diobsesvasi, dan juga senang untuk mempekerjakan dugaan/ide/gagasan seperti necessitation (keperluan/kebutuhan) diantara hal-hal umum. The minimalist menghargai pada keharusan nomic (nomic necessity) sebagai sesuatu yang sangat jauh melewati apa yang diobservasi. Jika nomic necessity berada melewati observasi suatu kehidupan tidak dapat diverifikasi berdasarkan observasi. Buruk, jika konsep yang relevan berada melewati (beyond)  apa yang dapat dipahami dalam pengertian apa yang tersedia untuk suatu pengalaman sensoris, lalu konsep itu adalah pada faktanya tidak memiliki arti (meaningless). Apakah tidak berarti atau univerifiable, nomic necessity adalah no business of science (bukan urusan ilmu pengetahuan). Mirip dengan filsuf anti-realist yang membengkokan pemikiran bahwa ada natural kinds (ragam alamiah) kehidupan yang berbeda/nyata/jelas yang mana berdasarkan fakta alamiah merupakan muatan fantasi yang berlebihan secara metafisika. Yang pasti terdapat klasifikasi tertentu/pasti yang mana memungkinkan/membolehkan korelasi yang berguna untuk digagas. Dalam bab ini kita akan melihat bentuk anti-realism secara eksplisit dan general. Seorang realis, seperti Dalton mengatakan teorinya sebagai berikut :
a)      Mereka dapat dievaluasi dalam pengertian kebeneran mereka atau dekatnya/mendekati menuju kebenaran;
b)       Mereka secara beralasan bermaksud pada kebenaran atau dekatnya menuju kebenaran;
c)      Kesuksesan mereka adalah bukti dalam kebaikan hati/hadiah mereka menjadi benar;
d)      Jika benar, entitas yang tidak dapat diobservasi yang mereka hipotesiskan akan secara murni ada;
e)      Jika benar, mereka akan menjelaskan fenomena yang akan diobservasi.
Para anti-realis menentang poin-poin gagasan tersebut secara berbeda.
Pada sub-bab Instrumentalism (instrumentalisme) dijelaskan bahwa instrumentalisme didasarkan/merujuk pada suatu teori bukan sebagai percobaan/usaha untuk mendeskripsikan atau menjelaskan dunia tetapi instrumen untuk membuat prediksi. Pertanyaan penting dalam hal ini adalah mengenai apakah suatu teori adalah secara empiris memadai (empirically adequate)? Suatu teori adalah secara empiris memadai bila ia membuat prediksi yang akurat, i.e. jika seluruh hal yang dapat diobservasi secara konsekuensi adalah benar.
Input (data observasi)        -> Theory        -> Output (prediksi yang diobservasi) 
Terdapat pula perbedaan antara hal teoritis dan non-teoritis (perbedaan semantic/arti kata) dan perbedaan antara observational (dapat diamati) dan non-observational  (perbedaan epistemic/asal). Dikatakan memiliki perbedaan semantic dikarenakan hal teoritis dan non-teotitis meliputi/melibatkan perbedaan cara yang mana suatu ekspresi dapat mendapatkan/memiliki arti. Dikatakan epistemic dikarenakan apakah mereka dapat diobservasi atau tidak itu adalah pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mengetahuinya.
Adapun para instrumentalis cenderung berpikir bahwa perbedaan-perbedaan adalah sama (dalam reverse/kebalikan bahwa theoretical = non-observational, dan non-theoritical = observational) karena mereka berpikir bahwa cara dasar dimana kata mendapat artinya adalah melalui definisi ostensive.
Pada sub-bab  Observation (observasi) dijelaskan bahwa observasi adalah khas/khusus dibuat menggunakan instrumen/alat (teleskop, mikroskop, penghitun Geiger, spectroscopes, electroscopes). Observasi adalah suatu hal mengenai latihan, dan suatu hal mengenai mengenali apa yang sedang dilihat. Ini berbeda dengan mendeteksi (detect), namun saling berkaitan sebab untuk untuk melakukan observasi maka terlebih dahulu sesuatu itu harus dapat dideteksi.
Pada sub-bab  Constructive Empiricism  dijelaskan bahwa salah satu bentuk anti-realisme adalah teori Bas van Fraassen mengenai constructive empiricism (empirisme konstruktif). Constructive Empiricism tidak mengurus perbedaan pada jenis entitas yang tampak (observable) dan yang tidak (non-observable), tetapi menggantungkan itu, karena ada perbedaan signifikan pada pendukung empiris untuk mengklaim tentang yang tampak (observable) dan yang tidak (non-observable), kita tidak dapat memiliki derajat yang sama untuk mempercayai kedua hal itu. Dua dugaan baru perlu diperkenalkan. Dua teori adalah secara empiris ekuivalen jika mereka memiliki konsekuensi yang sama tentang entitas yang dapat diobservasi, sifat-sifat, dan hubungan.  Suatu teori adalah secara empiris memadai (empirically adequate) jika konsekuensi-konsekuensinya yang tampak adalah benar.
Dugaan mengenai kecukupan empiris (empirical adequacy) adalah penting untuk memahami constructive empiricism (empirisme konstruktif). Suatu perbedaan penting perlu dibuat diantara kebenaran (truth) dan kecukupan empiris (empirical adequacy). Suatu teori yang benar perlu untuk secara empiris memadai. Jika ia benar maka semua konsekuensinya, termasuk yang tampak, adalah benar. Tetapi suatu teori secara empiris memadai (empirically adequate) tidak perlu benar. Tentu saja, suatu empirically adequate theory yang mana dipilih secara acak-acakan (random) adalah tidak mungkin menjadi benar, meskipun secara teori kemungkinan hal ini dapat saja benar. Hal ini dikarenakan banyak teori salah (false theories) dapat menjadi secara empiris memadai (empirically adequate); untuk teori benar yang diberikan akan ada, bahkan jika belum dipikirkan, teori salah yang secara empiris ekuivalen untuk itu.
Semakin banyak entitas tidak tampak , semakin sedikit bukti yang dapat kita percayai dan lebih lanjut secara empiris memadai (empirically adequate) menyimpang dari kebenaran.
Pada sub-bab  Laws & Anti-Realism dijelaskan bahwa pendukung anti-realisme melihat hukum secara berbeda terhadap entitas yang dipelajari. Terdapat keberatan terhadap pengaruh-pengaruh kausal yang mempertunjukkan suatu perlawanan anti-realist yang khas kepada hal-hal yang tidak, itu diklaim, secara percobaan dapat ditemukan (meskipun seorang realis dapat mendebat ini). Kemudian, dibahas pula mengenai pendapat Cartwright mengambil persamaan/rumus gravitasi (gravity equation)  sebagai sesuatu yang dapat menjelaskan hanya ketika itu salah. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Penulis yang telah menegaskan bahwa hanya sesuatu yang  ada (exist) yang dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Pada faktanya, sifat dari anti-realist adalah penjelasan mereka didasarkan bukan pada fakta (seperti : hukum dan penyebabnya), melainkan berdasarkan hal lain melalui : teori, model, dan pendapat hukum.
Pada sub-bab The Success of Science dijelaskan bahwa Hilary Putnam mengatakan bahwa “realisme…adalah hanya filsafat ilmu pengetahuan yang tidak membuat kesuksesan ilmu pengetahuan adalah keajaiban” .  Realisme adalah secara pasti suatu klaim empiris. Ini adalah hal empiris dimana teori adalah benar dan entitas yang dimaksudnya benar-benar ada. Namun demikian penjelasan Putnam tersebut tidak dapat digunakan sebagai senjata melawan para anti-realist. Realisme yang disampaikan Putnam jika ditujukan pada teori yang khusus adalah hanya merupakan pandangan yang cukup didukung.  
Pada sub-bab  Anti-Realism & Inference dijelaskan bahwa permasalahan untuk constructive empiricism (empirisme konstruktif) dan anti-realisme secara umum, dalam hal ini adalah kesimpulan (inference). Jika ilmu pengetahuan adalah untuk bekerja, maka ia harus melibatkan kesimpulan induktif atau sesuatu yang seperti itu. Pertanyaan untuk constructive empiricism (empirisme konstruktif) adalah: Bagaimana bisa ia mencatat/melaporkan untuk kesimpulan ilmiah? Permasalahannya adalah constructive empiricism (empirisme konstruktif) harus memberi catatan kesimpulan (atau semisalnya bukti) bahwa apa yang kita maksud dari bukti adalah bukan kebenaran teori tetapi kecukupan empiris (empirical adequacy). Penulis tidak berpikir bahwa hal ini mungkin.  Latihan-latihan penarikan kesimpulan tidak bekerja jika kita mendasarkannya sebagai kesimpulan-kesimpulan kepada kecukupan empiris (empirical adequacy) dan tidak menuju kebenaran.
Pada sub-bab  Anti-Realism & The Structure of Science dijelaskan bahwa para anti-realist menggunakan model hypothetico-deductive, bukan constructive empiricism (empirisme konstruktif), sebagai pembentuk stuktur dari ilmu pengetahuan (the structure of science).  Model hypothetico-deductive menolak fakta bahwa ciri-ciri structural dari hipotesis (dan bukti) adalah secara terang relevan (bersangkut-paut).
Pada sub-bab  Critisims of inference to the best Explanation (kritisme terhadap kesimpulan kepada/menuju penjelasan terbaik) dijelaskan bahwa anti-realism  dimotivasi oleh fokus terhadap epistemic. Teori-teori muncul untuk mempostulasikan keberadaan benda-benda yang tidak tampak/tidak bisa diobservasi. Ini juga permasalahan instrumentalism, mengenai pengamatan terhadap benda tidak tampak (unobservable). Namun demikian untuk benda tersebut diperlukan suatu teori yang hampir mendekati kebenaran (teori yang benar) yang perlu dipercayai dan melalui tahap penerimaan - mempercayainya secara empiris memadai (empirically adequate). Permasalahan antara realist dan anti realist disini adalah mengenai perlengkapan/alat epistemic dari ilmu pengetahuan. Menurut para realist, Inference to Best Explanation (kesimpulan menuju penjelasan terbaik) memiliki kekuatan untuk menyampaikan pengetahuan, atau setidaknya dijustifikasi mempercayai, benda yang tidak tampak (unobservable). Hal ini ditolak oleh anti-realist. Adapun penulis telah mengatakan bahwa para anti realist tidak dapat mengira/mengharapkan Inference to Best Explanation untuk menyampaikan dasar-dasar untuk penerimaan jika ia tidak juga menyampaikan dasar-dasar untuk kepercayaan.
Adapun Van Fraassen sebelumnya telah menyatakan bahwa Inference to Best Explanation (kesimpulan menuju penjelasan terbaik) dapat hanya menjadi baik, jika kita memiliki alasan untuk berpikir bahwa kita memiliki pemikiran dari penjelasan terbaik. Dalam Inference to Best Explanation dikatakan olen Van Fraassen dan diakui oleh Penulis bahwa tidak ada aturan yang baik dari Inference to Best Explanation. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Penulis bahwa tidak ada model dari penjelasan (explanation) dan konfirmasi (confirmation), pun tidak ada satupun hal seperti (such) metode ilmiah. Tetapi untuk mengatakan bahwa Inference to Best Explanation bukanlah suatu aturan adalah tidak bisa dikatakan bahwa ia tidak baik sama sekali. Karena itu pula, mungkin terlalu dini untuk mempercayai bahwa penjelasan terbaik yang kita punya adalah yang paling benar. Namun demikian, hanya karena ada situasi dimana Inference to Best Explanation tidak bisa digunakan, tidak berarti bahwa tidak ada sama sekali situasi dimana Inference to Best Explanation dapat digunakan. Inilah adalah suatu penilain yang para ilmuan harus buat.
Perlawanan anti-realist terhadap Inference to Best Explanation dapat dijawab dengan “pengalaman”. Bagaimana kita tahu kapan harus mengaplikasikan Inference to Best Explanation? Jawabannya adalah pengalaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar