[ CATATAN: Semoga terjemahan bebas buku philosophy of science berikut dapat menjadi salah satu referensi yang bermanfaat dalam memahami buku tersebut dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. ]
PART 1: REPRESENTATION
Dalam bab Laws of nature dijelaskan
bahwa dunia ini berjalan berdasarkan suatu aturan yang dinamakan hukum alam.
Hukum dalam hal ini merupakan sesuatu yang dilepaskan dari pendapat dan teori.
Hukum merupakan sesuatu yang kita usahakan untuk ditemukan dari alam. Hukum
bukan mengenai“what is X” tetapi “how we can get X?”. Adapun keberadaan hukum
alam tersebut selanjutnya melahirkan adanya science
atau Ilmu Pengetahuan .
Dalam sub-bab minimalism
about laws – the simple regularity theory (Minimalisme tentang Hukum –
Teori “Beraturan” Keberaturan/Keteraturan yang Sederhana), dijelaskan bahwa
minimalisme merupakan ekspresi dari empirisme, yang mana menyatakan bahwa suatu konsep dapat
diaplikasikan atau tidak tergantung dari teori yang digunakan. Minimalisme
menyatakan bahwa hukum dan keteraturan adalah sama (laws and regularities are the same). Ini disebut “the simple
regularity theory” (SRT) of law, yang
memiliki rumus bahwa “adalah hukum bahwa Fs adalah Gs jika dan hanya jika
seluruh Fs adalah Gs.” Orang-orang minimalis memandang bahwa hukum bukanlah
sesuatu yang empiris (nyata). Hukum merupakan sesuatu yang tidak lebih daripada
koleksi kejadian-kejadian yang sama (keteraturan). Lebih lanjut, keteraturan
adalah hal yang membentuk/ memberi tahu kita tentang hukum. Adapun kontra
terhadap hal ini menyatakan hal ini salah, karena ada hukum tanpa suatu
keteraturan yang tepat.
Lebih lanjut dalam sub-bab Regularities that are not laws dijelaskan
bahwa keteraturan tidak cukup untuk menjadi
sebuah hukum, mengingat bahwa ada dua keteraturan yang tampak persis sama
tetapi yang satu hukum dan satu lagi bukan hukum melainkan hanya berupa kebetulan saja. Adanya
The Simple Regularity Theory (SRT)
dalam hal ini tidak membedakan antara hukum murni dan kebetulan-kebetulan
belaka.
Selanjutnya, dalam sub-bab Laws and counterfactuals (Hukum dan Berlawanan dengan Fakta),
dijelaskan bahwa Counter factual
merupakan hal yang berlawanan dengan fakta namun merupakan sesuatu yang benar.
Misalnya……Counterfactual menggarisbawahi
perbedaan antara keteraturaan yang kebetulan dan nomic. Counterfactual membahas mengenai apa yang akan terjadi jika
terdapat kemungkinan yang bukan fakta pada saat itu. Dalam hal ini dibutuhkan
situasi yang sama. Hukum mendukung counterfactual, namun demikian tidak
seluruh counterfactual didukung oleh
hukum, hanya counterfactual yang
merujuk pada hukum yang didukung oleh hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Counterfactual tidak bisa membantu
analisis hukum - dikarenakan counterfactual tersebut berkaitan dengan
suatu hal yang memiliki hukum yang berbeda dengan yang seharusnya terjadi.
Selanjutnya dalam sub-bab Laws that are not regularities –
probabilistic laws (Hukum bukan suatu keteraturan - Hukum Kemungkinan)
dijelaskan bahwa terdapat banyak keteraturan yang bukan merupakan hukum (hukum
alam) yakni :
a)
Keteraturan
yang kecelakaan/accidental
b)
Keteraturan
yang disusun/dibuat
c)
Keteraturan
hal sepele yang tidak instan
d)
Keteraturan
persaingan fungsional
Hukum Kemungkinan/Probabilitas adalah suatu hal yang umum
di fisika nuklir. Sebuah partikel dimungkinkan rusak dalam waktu tertentu. Apa
yang mungkin pada suatu individu partikel, mungkin juga terjadi bagi partikel
lainnya.
Bentuk argumen ini sudah pasti tidak valid secara logis.
Namun demikian, ini mengingatkan kita pada suatu kemungkinan
daripada apa yang dijelaskan minimalist.
Berikutnya pada sub-bab The systematic account of laws of
nature (Kriteria/Laporan/Catatan
sistematis dari hukum tentang alam) dijelaskan bahwa guna mengetahui sesuatu
adalah keteraturan yang merupakan kebetulan atau keteraturan yang merupakan
hukum maka diperlukan suatu catatan mengenai suatu hal (fakta yang terjadi).
Catatan tersebut merupakan bentuk dari organisir fakta. Namun demikian kita
dapat menemukan (fakta) sebuah sistem yang lebih sederhana tapi tidak kuat.
Lantas yang mana yang hukum? Hal ini akan lebih membatasi kita dan menerima
sebuah hukum karena ia merupakan keteraturan yang terlihat pada semua sistem yang
optimal.
Selanjutnya pada sub-bab Basic Laws and derived laws (Hukum
Dasar / Basis dan Hukum Turunan)
dijelaskan bahwa Science
atau Ilmu Pengetahuan dapat diturunkan menjadi ilmu
fisika dan ilmu kimia. Hal ini menunjukan bahwa sebuah hukum dasar (science) merupakan hal fundamental bagi hukum turunananya
(fisika/kimia). Tanpa adanya hukum asal/basis/dasar maka tidak ada hukum
turunan. Di sisi lain, ada beberapa bidang hukum yang tidak dapat
direduksi/diturunkan, sehingga hukum dasarnya termasuk dalam bidang hukum
tersebut. Hal ini dimungkinkan karena kita belum tau mengenai hukum dasarnya.
Intinya semua hukum yang
kita kenal dapat diturunkan menjadi hukum turunan.
Berikutnya pada sub-bab Laws and acidents (Hukum dan
Kebetulan/Kecelakaan) dijelaskan bahwa keteraturan yang sistematis dimungkinkan gagal untuk
menunjukkan hukumnya yang sebenarnya. Dimungkinkan suatu keteraturan sederhana
merupakan kebetulan. Hal ini menyebabkan keteraturan tadi tidak dapat disambung
hingga menjelaskan hukum yang tepat. Terdapat explanation (alasan).Dengan menggunakan catatan yang sistematis,
kebetulan akan dihitung sebagai hukum karena ia juga berkontribusi pada sistem
yang kuat, padahal di waktu yang sama hukum yang sebenarnya (the real laws)
dikeluarkan (tidak termasuk) karena pekerjaan mereka di dalam melakukan
sistematisasi fakta dilebih-lebihkan oleh keteraturan yang kebetulan. Adanya
tambahan fakta membuat keteraturan kecelakaan lebih menonjol daripada hukum
yang asli. Hal ini berarti bahwa Teori Sistematis gagal menjadi bahan yang
memadai.
Selanjutnya, dalam sub-bab Law, regularities and explanation (Hukum, Keteraturan dan Penjelasan ) dijelaskan bahwa Hukum dapat didasarkan
pada suatu keteraturan. Namun demikian, keteraturan belaka tidak bisa
menjelaskan kejadiannya sendiri adalah kunci bahwa sesuatu tidak bisa
menjelaskan dirinya sendiri, Maka hukumnya tidak dapat dijelaskan pula.
“Punya ku rusak” ya “Punya mereka juga rusak” =>
keteraturan
“Semua toaster begitu” => tidak jelas “begitu” nya
adalah apa.
Keteraturan bukanlah suatu penjelasan atas kejadiannya
sendiri.
Berikutnya pada sub-bab Law, regularities and induction (Hukum,
Keteraturan dan Induksi) dijelaskan bahwa Teori Minimalis membentuk sesuatu
yang umum dari sesuatu yang khusus (khusus ke umum). Padahal tidak semua kembar
adalah sama persis (keteraturan), tapi hal yang menghubungkan mereka bukanlah
itu, tetapi karena mereka berasal dari orang tua yang sama yang mana
menjelaskan keteraturan dari penampakan mereka yang sama.
Berikutnya pada sub-bab A full-blooded view - nomic necessitation dijelaskan
bahwa suatu keteraturan tidak dapat
menjelaskan kejadiannya sendiri sebagaimana hukum alam seharusnya menjelaskan
kejadiannya juga. Aturan ini merupakan penutup-hukum. Sudut pandang yang sama
tercapai dari perspektif yang sebaliknya. Kita tidak bisa menduga sebuah
keteraturan berasal kejadiannya kecuali jika terdapat sesuatu yang lebih kuat
daripada keteraturan itu sendiri terikat pada kejadian tersebut secara
bersama-sama.
Kemudian pada sub-bab What is necessitation (apa itu
keharusan) dijelaskan bahwa Keharusan adalah sesuatu yang tidak dapat kita
lihat. Jika kita menuliskan berbagai karakteristik keharusan maka itu akan
cukup untuk memisahkan hubungannya dengan yang sedang kita bicarakann. Pada
faktanya, hal ini menjelaskan bahwa kondisi ini tidak menggantikan/berhasil
dalam membedakan pandangan the nomic necessitation dari pandangan keteraturan
hukum.
Berikutnya pada sub-bab The criterial account of Laws dijelaskan
bahwa baik penganut minimalist maupun full
blooded tidak dapat menjelaskan apa itu hukum. Salah satu metode alternatif
adalah definisi ostensive, yakni
menggunakan suatu kriteria:
-
Hukum
menjelaskan kejadiannya, sementara keteraturan tidak (dalam fakta/keterangan
hukum menjelaskan keteraturan mereka sendiri, dimana keteraturan tidak bisa
mendefinisikan dirinya sendiri. Fakta/keterangan
bisa dihitung sebagai bukti adanya hukum. Dimungkinkan
untuk keteraturan sistematis untuk menyimpang dari hukum yang ada. Fakta bahwa eksistensi kriteria hukum dan hukum itu
sendri adalah dua hal berbeda yang bida dideskripsikan sebagai gap ontological.
Adapun inti dari bab ini adalah hukum bukan merupakan keteraturan-keteraturan. Ia
menekankan fakta bahwa hukum adalah hubungan kepemilikan (properties). Hal ini menujukan fakta tertentu adalah jenis berbeda
dari hukum dan mungkin dijelaskan oleh mereka. Oleh sebab itu dugaan full blooded pada anomic
necessitation dalam ekspresi kita terhadap hukum: apa yang kita sekarang
tau adalah bagaimana dugaan ini dijelaskan, yang mana melalui kriteria.
Explanation:
Pada sub-bab Kinds
of explanation (jenis
penjelasan) dijelaskan bahwa tugas umum dari Science adalah untuk
menyediakan penjelasan. Permasalahan induksi berujung pada pertanyan mengenai
prediksi yakni apa yang akan terjadi dari apa yang telah diobservasi. Adapun
jenis dari explanation (penjelasan) terdiri atas :
(a) causal
explanation;
(b) nomic
explanation,
(explanations in terms of law of nature);
(c) psychological
explanation:
(d) psychoanalytic
explanation:
(e) “Darwinian”
explanation:
(f) functional
explanation
Adapun causal explanation dan nomic
explanation efektif dalam menjelaskan hal umum dan khusus, sementara
“Darwinian” hanya bagus untuk menjelaskan hal umum. Explantion atau penjelasan/keterangan sangat berkaitan erat dengan inference (kesimpulan). Inference to the Best Explanation
merupakan standar penjelasan/keterangan ilmiah, yakni guna mencari penyebab
dari suatu fenomena. Dalam Inference to
the Best Explanation diperlukan
pemahaman mengenai 2 (dua) hal yakni possible
cause (penyebab yang mungkin untuk
mengakibatkan terjadinya suatu fenomena) dan subject matter (subjeknya itu sendiri). Hal ini merupakan sesuatu
yang tidak bersifat objektif, hal objektif justru seharusnya dihindari.
Sehingga penjelasan demikian yang telah diberi nama selanjutnya disebut sebagai
metaphysical component of explanation.
Berikutnya, pada
sub-bab Hempel’s models of explanation (penjelasan
model Hempel) dijelaskan bahwa sebelumnya telah dijelaskan mengenai perbedaan factive dan non-factive explanation serta kaitannya dengan epistemic dan metaphysical
components. Hempel dalam hal ini menyatakan bahwa untuk menjelaskan suatu
fakta maka perlu ditunjukan bagaimana fakta tersebut dapat
digolongkan/dimasukkan di bawah suatu hukum atau beberapa hukum secara
bersama-sama dengan berbagai kondisi yang antecedent
(hal yang mendahuluinya). Pendekatan demikian disebut dengan covering law view yakni pendekatan
dimana penjelasan adalah hal penting dalam menetapkan suatu hukum yang menutup
pertanyaan-pertanyaan suatu kasus. Fokusnya adalah pada hukum yang ada. Adapun
jenis explanation yang digunakan
dalam teori ini adalah nomic explanation
dan dapat pula causal explanation.
Adapun ada 2 (dua) versi dalam memandang hal ini yakni dengan menggunakan the deductive-nomological model of
explanation dan the
probabilistic-statical model of explanation. Dalam hal ini terdapat istilah explanandum yakni fakta yang akan
dijelaskan dan explanans yakni fakta yang telah dijelaskan. Pada the deductive-nomological model of
explanation maka suatu fenomena dijelaskan jika ia dapat ditarik
kesimpulannya berdasarkan hukum ditambah
alat bantu berupa pernyataan tertentu/pasti yang memperhatikan/berkaitan
dengan explanandum, sebagaimana
dicontohkan pada reaksi yang terjadi pada bongkahan Potassium ketika dimasukan dalam air. Dalam hal ini sesuatu yang
umum ditarik menjadi hal khusus, dengan kemudian mengubah suatu kondisi
berdasarkan ekspektasi tertentu/pasti (certainty). Sementara itu pada the probabilistic-statical model of explanation maka ekspektasi
dilakukan berdasarkan suatu probabilitas yang tinggi, dengan menarik sesuatu
yang khusus menjadi umum (genaralisasi) lalu memberi penjelasan berdasarkan
sesuatu yang “sangat mungkin terjadi” (probability).
Model Penjelasan Hempel tersebut merupakan suatu formal logic. Penjelasan tersebut tidak bermaksud untuk memberikan
deskripsi dari suatu kebiasaan-kebiasaan/latihan/praktek yang aktual yang
berfungsi untuk menjelaskan, melainkan untuk memaparkan kebiasaan yang ideal.
Adapun formal logic ini jarang
digunakan untuk mendeskripsikan suatu fenomenan. Lazimnya formal logic digunakan untuk mengevaluasi fenomena tersebut. Jika
ternyata formal logic terbukti memberikan kesimpulan yang benar daripada informal logic, maka informal
logic tersebut adalah fallacious (salah/keliru).
Pada intinya, teori Hempel menjelaskan
mengenai hubungan antara explanation (penjelasan) dan prediction
(prediksi). Penjelasan adalah
prediksi setelah suatu hal terjadi dan prediksi adalah suatu penjelasan sebelum
suatu hal terjadi.
Selanjutnya dalam
sub-bab Problems with the covering law approach (permasalahan dari pendekatan covering law) dijelaskan
tiga permasalahan dari pendekatan covering
law. Permasalahan pertama, yakni terkait contoh kasus Achinstein yang mana
menunjukkan bahwa penjelasan/keterangan cenderung keliru/salah, meskipun
premis-premis dalam penjelasan/keterangan tersebut adalah benar, yang mana
mungkin tidak mampu menjelaskan explanandum
nya. Hal ini dijelaskan oleh David-Hillel Rubben sebagai wujud tidak simetrisnya
hubungan antara explanation dan prediction. Permasalahan kedua adalah
adanya kesalahan arah dalam penjelasan, yakni penjelasan yang ada tidak
menjelaskan apa yang seharusnya dijelaskan melainkan menjelaskan hal lain yang
tidak dipertanyakan. Hal ini sebagaimana contoh kasus peracunan Achinstein.
Permasalahan ketiga adalah mengenai ketidakmungkinan pendekatan covering law dalam menjelaskan suatu hal
yang terjadinya hal tersebut sama sekali tidak mirip. The Covering Law terlalu umum.
Lebih lanjut pendekatan demikian tidak cocok untuk suatu genuine explanation (penjelasan
asli/sejati) yang mana tidak memiliki ekspektasi, sebab peluang dari suatu
kejadian/gejala adalah sangat rendah.
Berikutnya, pada
sub-bab A holistic approach to explanation (suatu
pendekatan holistik menuju penjelasan) dijelaskan bahwa suatu penjelasan harus
ditemukan berdasarkan suatu pendekatan yang holistik yakni tidak hanya
mempertimbangkan hal yang terjadi dan hukum yang berlaku pada kasus tersebut
tetapi juga mempertimbangkan kemungkinan penjelasan lain atas kejadian tersebut
dan penjelasan atas kasus yang berkaitan, termasuk pula mempertimbangkan adanya
prima facie.
Selanjutnya pada
sub-bab Inference to
the Best Explanation
(Kesimpulan menjadi/menuju
Penjelasan/Keterangan Terbaik) dijelaskan bahwa Inference to the Best Explanation merupakan
hal yang digunakan secara meluas dalam Ilmu Pengetahuan (Science). Suatu pengetahuan mengenai explanation (penjelasan) membutuhkan beberapa pengetahuan tentang
apa itu hukum dan membagi permasalahan yang sama mengenai induksi darimana
pengetahuan hukum itu diderita. Misalnya terjadi fenomena P. Penjelasan yang mungkin atas fenomena P adalah E (putative explanation), selanjutnya
dinyatakan E sebagai penyebab aktual (penjelasan aktual/actual explanation) terjadinya P. E ini didasarkan pada fakta C
dan hukum L. Oleh karena E merujuk pada terjadinya P, maka C dan L merupakan
fakta dan hukum aktual dari P.
Berikutnya, pada
sub-bab The hypothetico – deductive model of confirmation dijelaskan
bahwa Inference to the Best Explanation merujuk
pada keterkaitan antara explanation (keterangan/penjelasan) dan confirmation
(konfirmasi). The hypothetico – deductive model of confirmation
memiliki intuitive appeal (seruan/permohonana/bandingan
intuitif). Jika prediksi suatu teori cocok dengan apa yang diobservasi maka
observasi tersebut mengkonfirmasikan teori tersebut. Dalam hal ini terdapat
hipotesis yang selanjutnya dibuktikan kebenarannya oleh suatu evidence (fakta/bukti).
Pada intinya baik the decutive nomological model of
explanation maupun the
hypothetico – deductive model of confirmation
gagal dengan alasan yang sama – tidak ada suatu kemungkinan dari suatu model
penjelasan/konfirmasi dalam suatu hubungan logis antara hukum/hypothesis dan explanandum/evidence. Malahan konfirmasi dan penjelasan tersebut harus bersifat
holistik. Bukti yang terbaik untuk suatu hukum L menjadi penjelasan atas
suatu fakta F adalah bahwa F instantiating
L adalah bagian dari apa yang menyebabkan the
optimal RL systematization, yang
mana pada waktu yang sama juga merupakan alasan terbaik untuk menyatakan bahwa
F mengkonfirmasi hipotesis bahwa L adalah hukum.
Natural Kinds
(Jenis-jenis kelaziman/kebiasaan/ilmu alam/alamiah)
Pada sub-bab Kinds and classifications (jenis
dan klasifikasi) dijelaskan bahwa tidak ada pengertian absolut mengenai
klasifikasi alamiah menjadi beragam jenis. Misalnya terhadap sesuatu yang sama
terdapat dua cara mengklasifikasikannya, yakni secata biologis dan kuliner.
Pada sub-bab The descriptive view of kinds
dijelaskan mengenai perbedaan 3 (tiga) aspek dari jenis konsep, yakni 1) sense (guna, pengertian, perasaan),
yakni berupa ciri-ciri anggota suatu kelompok. Misalnya, seekor harimau, sense nya : karnivora, empat kaki, garis
hitam-kuning, mamal besar; 2) extension (perluasan)
artinya ciri-ciri anggota tadi diperluas menjadi ciri-ciri kelompok. Misalnya,
ciri-ciri seekor harimau tersebut merupakan ciri-ciri seluruh harimau, agar
dapat disebut harimau maka seekor binatang harus memenuhi ciri-ciri tersebut:
3)reference yakni entitas abstrak
dari natural kind (jenis kelaziman) /
universal harimau. Ketiga pendekatan tersebut disebut dengan descriptive view. Permasalahan dari
pendekatan ini adalah adanya banyak kemungkinan yang dapat timbul, mengingat
pula semakin berkembangya pengetahuan ilmiah. Jika suatu descriptive view adalah benar, maka natural kinds memiliki nominal
essence (nominal intisari/pokok) .
Pada sub-bab The essentialist view of kinds dijelaskan
bahwa terdapat argumentasi terkait descriptive
view yang menyatakan bahwa 1) memilliki nominal
essence tidak diperlukan untuk suatu natural
kind, sebagaimana dijelaskan Kripke yang menyatakan bahwa kita dapat
menyusun/memahami harimau, misalnya, meski tidak memenuhi ciri-ciri yang disebutkan
untuk memenuhi nominal essence ; 2)
Itu tidak cukup, sebagaimana dijelaskan oleh Hilary Putnam. Kripke dan Putnam
telah menunjukkan bahwa natural kinds tidak
memiliki nominal essence, sesuatu
dikatakan sesuatu jika ia sama dengan contohnya. Hal ini disebut dengan real essence (intisari nyata). Hal ini
disebut pula dengan essentialism
(esensialisme). Kripke dalam hal ini menyatakan bahwa jika kita tertarik pada
suatu esensi/pokok/intisari natural kind
maka kita tidak boleh hanya memikirkan ciri-ciri yang seharusnya dimiliki
sesuatu itu, tetapi ciri-ciri yang fundamental.
Pada sub-bab Problem with Kripke-Putnam
Natural Kind dijelaskan bahwa pada pendapat
Kripke-Putnam diperlukan adanya suatu
kemiripan absolut diantara anggota suatu kelompok, yang mana dimulai dari
kemiripan pada tahap basic level (umum) selanjutnya pada tahap yang lebih
spesifik. Hal ini menimbulkan permasalahan bagaimana jika ada sesuatu yang
tidak absolut identik, namun secara umum adalah sama, lalu bagaimana
mendefinisikannya?
Pada sub-bab Natural Kind & Explanatory Role
dijelaskan bahwa suatu elemen berguna memberi hipotesis guna menjelaskan suatu
fenomena. Adapun konsep natural kind memiliki arti dengan sifat explanatory role (peran menjelaskan).
Adapun explanatory role dapat
meliputi lebih besar atau lebih sedikit jumlah teori. Keterkaitan antara kinds (jenis) dan explanatory role adalah untuk membolehkan kita untuk membuat ruang
untuk non-basic kinds (jenis tidak
dasar/basis) sebagai kita dapat
menempa/memalsukan penjelasan pada suatu
level tertentu di dalam kimia, mikrobiologi, genetik dan lainnya, tidak hanya
pada level fisik partikel. Intinya, ada beberapa tujuan natural kinds, keberadaan yang mana merupakan sisa dari kemungkinan
penjelasan, dan juga keberadaan hukum alam (law
of nature). Meskipun demikian,
konsep kind tidak mempertahankan
pandangan bahwa untuk setiap entitas ada hanya satu natural kind ia semestinya berada. Sebagai kontranya, mungkin ada
banyak, hubungan timbal balik yang mana terutama untuk entitas yang lebih
kompleks, dan diatas semua itu, secara biologis, mungkin sangat kompleks. Pada
beberapa kasus, satu jenis (kind)
dapat merupakan sub-jenis (subkind)
yang lainnya, dimana pada kasus lain jenis-jenis itu (kinds) dapat saling meliputi/melengkapi (overlap) tanpa menjadi sub-jenis (subkind) yang lainnya.
Pada sub-bab Laws, Natural properties and
quantities (hukum,
sifatt-sifat alamiah, dan kuantitas) dijelaskan
bahwa David Armstrong menyatakan bahwa meskipun dua sifat berhubungan dengan nomic necessitation adalah secara murni
suatu kesatuan. Menurut penulis hal ini merupakan misleading (menyesatkan).
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, bahwa kadang-kadang konsepsi kita
sendiri mengenai suatu natural property (sifat
alamiah) atau quantity (kuantitas)
adalah berada di dalam pengertian dari explanatory
role (peran menjelaskan) nya itu sendiri. Sebagaimana suatu penjelasan (explanation) membutuhkan keberadaan hukum, konsepsi kita
mengenai sifat atau kuantitas akan memerlukan beberapa pengakuan/pengenalan
dari hukum yang ada atau hukum dimana ciri-cirinya berada. Intinya, suatu
sifat/ciri ataupun kuantitas memberikan suatu penjelasan yang mana penjelasan ini
merujuk pada keberadaan suatu hukum dan hukum ini juga mengatur mengenai
penjelasan dan ciri tersebut.
Pada sub-bab A problem for Natural Kinds (sebuah
masalah untuk Jenis/Ragam Alamiah) dijelaskan bahwa suatu natural kinds (ragam alamiah) dapat dipahami pengertiannya
berdasarkan peran penjelasannnya yang mana lebih lanjut merujuk pada suatu
hukum. Adanya peran penjelasan tersebut memberikan kejelasan bahwa natural kind (ragam/jenis alam) ada di
dalam natural law (hukum alam). Namun
demikian terdapat permasalahan untuk membedakan natural kind dan natural law
manakah yang merupakan sesuatu yang alami saja dan mana yang termasuk dalam
suatu hukum alam. Menurut kaum minimalist,
hukum merupakan suatu generalisasi fakta tertentu. Hukum dan ragam merupakan
sebuah struktur yang ditentukan oleh kita berdasarkan realita yang terdapat
hanya pada fakta tertentu. Sementara itu, menurut full-blooded theorist pemikiran mengenai hukum dan ragam adalah
secara esensial berubah-ubah, konvensional, atau secara sosial adalah tidak
diterima. Ide yang coba ditawarkan
penulis adalah, bahwa konsep natural kind
dan natural law adalah diperbaiki
dengan hubungan internal keduanya dan hubungan mereka pada suatu intuitif natural kind tertentu/pasti yang
menyediakan contoh-contoh/kejadian/hal dasar. Contoh-contoh tersebut membentuk
dasar ilmu pengetahuan.
Pada kesimpulannya: Permasalahan Goodman menunjukkan
bahwa kita tidak dapat menemukan suatu model kesimpulan yang membiarkan kita
untuk memutuskan, di dalam pengasingan/isolasi, yang mana kesimpulan-kesimpulan
tersebut beralasan untuk diadopsi. Penulis telah berargumen terhadap hal ini
dengan menyatakan bahwa tidak ada model dari hukum, penjelasan, atau
konfirmasi. Pada setiap kasus apa yang akan menjadi suatu alasan untuk
menghormati hukum, penjelasan, atau mengkonfirmasi bukti/fakta akan tergantung
pada apa yang hal lain menjadi beralasan untuk menghormati hal yang sama.
Pendekatannya adalah holistik. Apa yang dihitung sebagai kesimpulan beralasan
adalah pada kategori yang sama, sebagaimana natural
kinds (ragam/jenis alamiah). Seluruh konsep ini adalah terhubung. Hukum
menghubungkan natural kind. Induksi
dapat dilihat sebagai kesimpulan menuju penjelasan terbaik, dimana penjelasan
itu adalah suatu hukum. Oleh sebab itu natural
kinds adalah salah satu jenis/ragam dari suatu kesimpulan induktif.
Hubungan timbal balik antar konsep melahirkan ayam-telur. Apakah sebuah
kesimpulan beralasan karena itu mempekerjakan natural kinds? Atau adalah sebuah pilihan kind natural karena ia muncul dalam suatu kesimpulan yang
beralasan? Sebagaimana kasus ayam dan telur, jawabannya adalah keduanya
berkembang secara bersamaan. Kita memiliki kecenderungan alami untuk membuat
kesimpulan induktif dengan secara intuitif mengenali jenis/ragam-ragam.
Meskipun ini bukan merupakan dasar dari ilmu pengetahuan (science), namun merupakan titik awalnya. Ilmu pengetahuan itu
sendiri menenangkan kita bahwa titik awal tersebut adalah suatu kepuasaan, jika
tidak sempurna, satu, dan bahwa watak/pembagian/penyusunan/kecondongan halus
melakukan dengan dan palang pintu besar diatas jenis-jenis diidentifikasi
sebagai seperti penemuan yang hanya dapat diketahui dan dipahami oleh
orang-orang tertentu saja pada kimia, mineralogi, biologi, dan lainnya. Mungkin
kamu akan menemukan validasi bahwa ilmu pengetahuan memberikan pada dirinya
suatu titik awal adalah tidak sangat menenangkan. Apakah itu tidak sirkuler?
Ilmu pengetahuan itu melakukan evaluasi – evaluasi kritis - dengan metodenya
sendiri, adalah tidak perlu diragukan. Mengapa ini bisa menyediakan ketenangan
yang asli adalah cerita lain, dan adalah topik pada bagian berikutnya.
Realism
Pada sub-bab Realism
& Its Critics (realisme dan kritiknya) dijelaskan bahwa terdapat
pandangan berbeda mengenai metafisika dalam ilmu pengetahuan, ada pihak
yang ingin meminimalisir komitmen metafisika ilmu pengetahuan, ada pula yang
senang dengan lebih kaya diet metafisika. Full
blooded theorist menginginkan hukum menjadi fakta yang menjelaskan korelasi
yang diobsesvasi, dan juga senang untuk mempekerjakan dugaan/ide/gagasan
seperti necessitation
(keperluan/kebutuhan) diantara hal-hal umum. The minimalist menghargai pada keharusan nomic (nomic necessity) sebagai sesuatu yang sangat jauh melewati
apa yang diobservasi. Jika nomic
necessity berada melewati observasi suatu kehidupan tidak dapat
diverifikasi berdasarkan observasi. Buruk, jika konsep yang relevan berada
melewati (beyond) apa yang dapat dipahami dalam pengertian apa
yang tersedia untuk suatu pengalaman sensoris, lalu konsep itu adalah pada
faktanya tidak memiliki arti (meaningless).
Apakah tidak berarti atau univerifiable,
nomic necessity adalah no business of science (bukan urusan
ilmu pengetahuan). Mirip dengan filsuf anti-realist yang membengkokan pemikiran
bahwa ada natural kinds (ragam
alamiah) kehidupan yang berbeda/nyata/jelas yang mana berdasarkan fakta alamiah
merupakan muatan fantasi yang berlebihan secara metafisika. Yang pasti terdapat
klasifikasi tertentu/pasti yang mana memungkinkan/membolehkan korelasi yang
berguna untuk digagas. Dalam bab ini kita akan melihat bentuk anti-realism
secara eksplisit dan general. Seorang realis, seperti Dalton mengatakan
teorinya sebagai berikut :
a)
Mereka
dapat dievaluasi dalam pengertian kebeneran mereka atau dekatnya/mendekati
menuju kebenaran;
b)
Mereka secara beralasan bermaksud pada
kebenaran atau dekatnya menuju kebenaran;
c)
Kesuksesan
mereka adalah bukti dalam kebaikan hati/hadiah mereka menjadi benar;
d)
Jika
benar, entitas yang tidak dapat diobservasi yang mereka hipotesiskan akan
secara murni ada;
e)
Jika
benar, mereka akan menjelaskan fenomena yang akan diobservasi.
Para anti-realis menentang poin-poin gagasan tersebut
secara berbeda.
Pada sub-bab
Instrumentalism (instrumentalisme) dijelaskan bahwa instrumentalisme
didasarkan/merujuk pada suatu teori bukan sebagai percobaan/usaha untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan dunia tetapi instrumen untuk membuat prediksi.
Pertanyaan penting dalam hal ini adalah mengenai apakah suatu teori adalah
secara empiris memadai (empirically
adequate)? Suatu teori adalah secara empiris memadai bila ia membuat
prediksi yang akurat, i.e. jika seluruh hal yang dapat diobservasi secara
konsekuensi adalah benar.
Input (data observasi) ->
Theory -> Output (prediksi yang
diobservasi)
Terdapat pula perbedaan antara hal teoritis dan
non-teoritis (perbedaan semantic/arti
kata) dan perbedaan antara observational
(dapat diamati) dan non-observational (perbedaan epistemic/asal). Dikatakan memiliki perbedaan semantic dikarenakan hal teoritis dan non-teotitis
meliputi/melibatkan perbedaan cara yang mana suatu ekspresi dapat
mendapatkan/memiliki arti. Dikatakan epistemic
dikarenakan apakah mereka dapat diobservasi atau tidak itu adalah pertanyaan
tentang bagaimana kita dapat mengetahuinya.
Adapun para instrumentalis cenderung berpikir bahwa
perbedaan-perbedaan adalah sama (dalam reverse/kebalikan
bahwa theoretical = non-observational, dan non-theoritical = observational) karena
mereka berpikir bahwa cara dasar dimana kata mendapat artinya adalah melalui
definisi ostensive.
Pada sub-bab Observation (observasi) dijelaskan bahwa observasi adalah
khas/khusus dibuat menggunakan instrumen/alat (teleskop, mikroskop, penghitun
Geiger, spectroscopes, electroscopes). Observasi adalah suatu hal mengenai
latihan, dan suatu hal mengenai mengenali apa yang sedang dilihat. Ini berbeda
dengan mendeteksi (detect), namun
saling berkaitan sebab untuk untuk melakukan observasi maka terlebih dahulu
sesuatu itu harus dapat dideteksi.
Pada sub-bab Constructive Empiricism dijelaskan bahwa salah satu bentuk
anti-realisme adalah teori Bas van Fraassen mengenai constructive empiricism (empirisme konstruktif). Constructive Empiricism tidak mengurus
perbedaan pada jenis entitas yang tampak (observable)
dan yang tidak (non-observable),
tetapi menggantungkan itu, karena ada perbedaan signifikan pada pendukung
empiris untuk mengklaim tentang yang tampak (observable) dan yang tidak (non-observable),
kita tidak dapat memiliki derajat yang sama untuk mempercayai kedua hal itu.
Dua dugaan baru perlu diperkenalkan. Dua teori adalah secara empiris ekuivalen
jika mereka memiliki konsekuensi yang sama tentang entitas yang dapat
diobservasi, sifat-sifat, dan hubungan.
Suatu teori adalah secara empiris memadai (empirically adequate) jika konsekuensi-konsekuensinya yang tampak
adalah benar.
Dugaan mengenai kecukupan empiris (empirical adequacy) adalah penting untuk memahami constructive empiricism (empirisme
konstruktif). Suatu perbedaan penting perlu dibuat diantara kebenaran (truth) dan kecukupan empiris (empirical adequacy). Suatu teori yang
benar perlu untuk secara empiris memadai. Jika ia benar maka semua
konsekuensinya, termasuk yang tampak, adalah benar. Tetapi suatu teori secara
empiris memadai (empirically adequate) tidak
perlu benar. Tentu saja, suatu empirically
adequate theory yang mana dipilih
secara acak-acakan (random) adalah
tidak mungkin menjadi benar, meskipun secara teori kemungkinan hal ini dapat
saja benar. Hal ini dikarenakan banyak teori salah (false theories) dapat menjadi secara empiris memadai (empirically adequate); untuk teori benar
yang diberikan akan ada, bahkan jika belum dipikirkan, teori salah yang secara
empiris ekuivalen untuk itu.
Semakin banyak entitas tidak tampak , semakin sedikit
bukti yang dapat kita percayai dan lebih lanjut secara empiris memadai (empirically adequate) menyimpang dari
kebenaran.
Pada sub-bab Laws & Anti-Realism dijelaskan bahwa
pendukung anti-realisme melihat hukum secara berbeda terhadap entitas yang
dipelajari. Terdapat keberatan terhadap pengaruh-pengaruh kausal yang
mempertunjukkan suatu perlawanan anti-realist yang khas kepada hal-hal yang
tidak, itu diklaim, secara percobaan dapat ditemukan (meskipun seorang realis
dapat mendebat ini). Kemudian, dibahas pula
mengenai pendapat Cartwright mengambil persamaan/rumus gravitasi (gravity equation) sebagai sesuatu yang dapat menjelaskan hanya
ketika itu salah. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Penulis yang telah
menegaskan bahwa hanya sesuatu yang ada
(exist) yang dapat dijelaskan dengan
sebaik-baiknya. Pada faktanya, sifat dari anti-realist
adalah penjelasan mereka didasarkan bukan pada fakta (seperti : hukum dan
penyebabnya), melainkan berdasarkan hal lain melalui : teori, model, dan
pendapat hukum.
Pada sub-bab The
Success of Science
dijelaskan bahwa Hilary Putnam mengatakan
bahwa “realisme…adalah hanya filsafat ilmu pengetahuan yang tidak membuat kesuksesan ilmu pengetahuan adalah keajaiban” .
Realisme adalah secara pasti suatu klaim empiris. Ini adalah hal empiris
dimana teori adalah benar dan entitas yang dimaksudnya benar-benar ada. Namun
demikian penjelasan Putnam tersebut tidak dapat digunakan sebagai senjata
melawan para anti-realist. Realisme
yang disampaikan Putnam jika ditujukan pada teori yang khusus adalah hanya
merupakan pandangan yang cukup didukung.
Pada sub-bab Anti-Realism & Inference dijelaskan
bahwa permasalahan untuk constructive empiricism (empirisme konstruktif)
dan anti-realisme secara umum, dalam hal ini adalah kesimpulan (inference). Jika ilmu pengetahuan adalah
untuk bekerja, maka ia harus melibatkan kesimpulan induktif atau sesuatu yang
seperti itu. Pertanyaan untuk constructive empiricism (empirisme konstruktif)
adalah: Bagaimana bisa ia mencatat/melaporkan untuk kesimpulan ilmiah?
Permasalahannya adalah constructive empiricism (empirisme konstruktif)
harus memberi catatan kesimpulan (atau semisalnya bukti) bahwa apa yang kita
maksud dari bukti adalah bukan kebenaran teori tetapi kecukupan empiris (empirical adequacy). Penulis tidak
berpikir bahwa hal ini mungkin.
Latihan-latihan penarikan kesimpulan tidak bekerja jika kita
mendasarkannya sebagai kesimpulan-kesimpulan kepada kecukupan empiris (empirical adequacy) dan tidak menuju
kebenaran.
Pada sub-bab Anti-Realism & The Structure of Science dijelaskan
bahwa para anti-realist menggunakan model hypothetico-deductive,
bukan constructive empiricism (empirisme konstruktif),
sebagai pembentuk stuktur dari ilmu pengetahuan (the structure of science).
Model hypothetico-deductive menolak
fakta bahwa ciri-ciri structural dari hipotesis (dan bukti) adalah secara
terang relevan (bersangkut-paut).
Pada sub-bab Critisims of inference to the best
Explanation (kritisme
terhadap kesimpulan kepada/menuju penjelasan terbaik) dijelaskan bahwa anti-realism dimotivasi oleh fokus terhadap epistemic. Teori-teori muncul untuk
mempostulasikan keberadaan benda-benda yang tidak tampak/tidak bisa
diobservasi. Ini juga permasalahan instrumentalism,
mengenai pengamatan terhadap benda tidak tampak (unobservable). Namun demikian untuk benda tersebut diperlukan suatu
teori yang hampir mendekati kebenaran (teori yang benar) yang perlu dipercayai
dan melalui tahap penerimaan - mempercayainya secara empiris memadai (empirically adequate). Permasalahan
antara realist dan anti realist disini adalah mengenai
perlengkapan/alat epistemic dari ilmu
pengetahuan. Menurut para realist, Inference to Best Explanation (kesimpulan
menuju penjelasan terbaik) memiliki
kekuatan untuk menyampaikan pengetahuan, atau setidaknya dijustifikasi
mempercayai, benda yang tidak tampak (unobservable).
Hal ini ditolak oleh anti-realist.
Adapun penulis telah mengatakan bahwa para anti
realist tidak dapat mengira/mengharapkan Inference to Best Explanation untuk menyampaikan dasar-dasar untuk
penerimaan jika ia tidak juga menyampaikan dasar-dasar untuk kepercayaan.
Adapun
Van Fraassen sebelumnya telah menyatakan bahwa Inference to Best Explanation (kesimpulan menuju penjelasan
terbaik) dapat hanya menjadi baik,
jika kita memiliki alasan untuk berpikir bahwa kita memiliki pemikiran dari
penjelasan terbaik. Dalam Inference to
Best Explanation dikatakan olen Van Fraassen dan diakui oleh Penulis bahwa
tidak ada aturan yang baik dari Inference
to Best Explanation. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Penulis
bahwa tidak ada model dari penjelasan (explanation)
dan konfirmasi (confirmation), pun
tidak ada satupun hal seperti (such)
metode ilmiah. Tetapi untuk mengatakan bahwa Inference to Best Explanation bukanlah suatu aturan adalah tidak
bisa dikatakan bahwa ia tidak baik sama sekali. Karena itu pula, mungkin
terlalu dini untuk mempercayai bahwa penjelasan terbaik yang kita punya adalah
yang paling benar. Namun demikian, hanya karena ada situasi dimana Inference to Best Explanation tidak bisa
digunakan, tidak berarti bahwa tidak ada sama sekali situasi dimana Inference to Best Explanation dapat
digunakan. Inilah adalah suatu penilain yang para ilmuan harus buat.
Perlawanan
anti-realist terhadap Inference to Best Explanation dapat
dijawab dengan “pengalaman”. Bagaimana kita tahu kapan harus mengaplikasikan Inference to Best Explanation? Jawabannya
adalah pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar