Judul Buku:
Hermeneutika,
Teori Baru Mengenai Interpretasi (Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer)
|
Penulis:
Richard E. Palmer
Penerjemah:
Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed
|
Impresum:
Pustaka
Pelajar, Maret 2016,
Yogyakarta, Cetakan III, ISBN:
979 – 3477 – 17 - 2
|
Kolasi:
Tinggi buku 23,5 cm, lebar buku 15,8 cm,
dan tebal buku 1.5 cm; xii + 319 halaman; Bagian awal buku terdiri dari: Kata
Sambutan, Pengantar, Daftar Isi. Isi buku terdiri dari dua bagian besar yakni
Bagian I: Definisi, Ruang Lingkup, dan Signifikasi
Hermeneutik Bagian II:
Temllpat Teoritikus Utama, dan Bagian III: Manifesto Hermeneutis terhadap
Interpretasi Sastra Amerika.
|
Kata Kunci:
Teori Penafsiran,
Penafsiran Literatur, Penafsiran Hukum, Interpretasi Teks, Hermeneutika.Inti Pembahasan pada Buku:
Buku ini lahir guna membahas heremeneutika
dalam konteks non-teologis. Hal ini berkaitan dengan situasi dimana pembahasan hermeneutika
dalam konteks non-teologis secara umum masih kurang memadai. Buku ini terdiri
dari tiga bagian utama. Pada Bagian I dijelaskan mengenai Definisi, Ruang
Lingkup, dan Signifikasi Hermeneutik. Hermeneutika pada intinya merupakan salah
satu metode interpretasi (penafsiran). Akar kata “hermeneutika” berasal dari
istilah Yunani yakni “hermeneuein” (menafsirkan) dan “hermeneia” (interpretasi)
dan berasosiasi dengan dewa Hermes. Pada intinya, hermeneutika berarti membawa
sesuatu untuk dipahami, dimana ada fungsi transmisi terhadap apa yang ada di
balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia.
Adapun dalam bahasa Inggris, “hermeneutika” dapat dimaknai sebagai “to say”,
“to explain”, dan “to translate”. Selanjutnya, secara kronologis, definisi
modern “hermeneutika” dimulai dari 6 konteks (ruang lingkup), yakni
hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel, hermeneutika sebagai metodologi
filologi secara umum, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik,
hermeneutika sebagai fondasi metodologis geisteswessenshaften,
hermeneutika sebagai fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan
hermeneutika sebagai sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic,
yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.
Hermeneutika mencakup bidang-bidang ilmu kemanusiaan. Pada mulanya,
hermeneutika dikenal dalam konteks teologi (keagamaan), filsafat dan sastra.
Dalam perkembangannya, hermeneutika digunakan dalam pada bidang keilmuan yang
memerlukan penafsiran teks-teks, khususnya bidang humaniora termasuk hukum.
Hermeneutika secara signifikan bermaksud untuk melampaui interpretasi tekstual
yakni memahami teks-teks sebagai teks yang berbicara yang dibuat oleh manusia,
bukan sebagai objek analisis semata. Hasil dari metode hermeneutika adalah tercapainya
pemahaman humanistik dan historis dari teks-teks yang mati tersebut.
Pada Bagian II dijelaskan mengenai Tempat
Teoritikus Utama. Dalam hal ini diketahui bahwa ada dua posisi utama aliran
hermeneutika kontemporer saat ini yakni Emilio Betti dan Hans-George Gadamer:
a.
Heideggerian
dan Hermeneutik Baru (fenomenologis) Heidegger, Gadamer, Rudolf Bultmann,
Gerhard Ebeling dan Ernst Fuchs, berpendapat bahwa hermeneutika merupakan
eksplorasi filosofis dari karakter dan kondisi yang dibutuhkan bagi semua pemahaman.
Pemahaman adalah tindakan historis dan selalu terkait dengan masa sekarang.
Interpretasi obyektifitas yang valid adalah naif, karena mengasumsikan bahwa
mungkin menafsirkan dari sudut pandang tertentu di luar historis. Hermeneutika
berpijak pada ontologi. Makna obyektifitas dalam sejarah tidak dapat
dibicarakan, karena sejarah tidak bisa diketahui kecuali melalui subyektifitas
sejarawan itu sendiri. Interpretasi teks berhubungan dengan peristiwa kata -
membawa filsafat bahasa ke pusat hermeneutika; dan
b.
Schleiermarcher
dan Dilthey, Betti, E.D. Hirsch berpendapat bahwa hermeneutika sebagai
prinsip-prinsip umum yang mendasar bagi interpretasi. Obyektifitas ekspresi
manusia bisa ditafsirkan dan mungkinnya obyektifitas historis dalam membuat interpretasi
yang valid. Studi historis perlu dibebaskan dari sudut pandang historian
sekarang. Heremenutika harus berfungsi memberikan prinsip-prinsip bagi
interpretasi obyektif. Bahwa, apapun kemungkinan peran subyektif dalam
interpretasi bahwa obyek tetap menjadi obyek dan sebuah interpretasi valid yang
obyektif dapat layak diusahan dan diselesaikan. Sebuah obyek berbicara dan bisa
didengar secara benar atau salah sebab disana terdapat makna yang variable obyektif
dalam obyek;
Berdasarkan
teori masing-masing filsuf tersebut dapat disimpulkan inti penafsiran
hermeneutika yakni penafsiran dengan menelaah nuansa linguistik (kebahasaan dan
makna bahasa), nuansa historitas (latar belakang dan tujuan suatu teks), nuansa
psikologisme (cara pikir dari pengarang), dan nuansa dialektis (mempertanyakan
logika dari keseluruhan nuansa yang ada satu sama lain). Dalam penelaahaan
tersebut, setidaknya ada empat variabel penafsiran yakni terkait rentang waktu,
situasi, cara berpikir, rasa dan bahasa antara para subyek
(pengarang/penulis/pencipta dan pembaca/penafsir) dengan objeknya (hasil
karya).
Pada
Bagian III dijelaskan mengenai Manifesto Hermeneutis terhadap Interpretasi
Sastra Amerika. Dalam hal ini teori sastra harus mengeksplorasi kritik
fenomenologis terhadap realisme. Dalam hal ini perlu dipahami hubungan
fenomenologis dan teori pemahaman. Saat seseorang memahami karya sastra, ia
harus melampaui skema subyek-obyek. Karya sastra harus dilihat sebagai suatu
karya (subyek) dengan pemahaman lingustik, historis dan ontologis yang mana memerlukan
pengalaman dan keluasan pemahaman teks dengan menggunakan penalaran dialektis.
Sehingga ditemukan jawaban mengenai apa yang sedang dilakukan oleh karya sastra
tersebut pada masa itu dan apa yang hendak disampaikan olehnya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar