Kamis, 02 Mei 2019

Paper: PELUNASAN HUTANG HARTA WARIS YANG TIDAK DIURUS AKIBAT PENOLAKAN HARTA WARIS OLEH SELURUH AHLI WARIS (Perbandingan Hukum Indonesia – Belanda)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Waris merupakan hal penting dalam kehidupan privat masyarakat. Hukum waris merupakan hukum yang mengatur mengenai perpindahan hak kepemilikan suatu harta kekayaan (keseluruhan hak-hak dan kewajiban) dari orang yang mewariskan (si Pewaris) kepada ahli waris dan menentukan siapa-siapa yang berhak menerima harta kekayaan tersebut. Adapun hukum mengenai waris diatur berbeda di setiap negara tergantung pada sistem hukum negara tersebut, baik civil law ataupun common law  dan lainnya.
Hal paling esensial dan krusial mengenai waris adalah saat terbukanya harta waris tersebut. Terhadap warisan yang terbuka, Ahli Waris berhak menentukan sikapnya untuk menerima ataupun menolak harta waris tersebut. Dalam hal Ahli Waris menolak harta warisan maka harta tersebut menjadi tidak bertuan (tidak memiliki Pemilik) atau dapat disebut pula sebagai Harta Waris Yang Tidak Diurus. Situasi demikian menimbulkan permasalahan pelik bagi Kreditur (si Berpiutang) dari Pewaris, khususnya mengenai nasib pelunasan hutang Pewaris. Dapatkah seluruh hutang Pewaris dilunasi? Lalu siapakah yang bertanggungjawab mengurus pelunasan hutang tersebut, bagaimanakah mekanismenya, terutama dalam hal aktiva tidak cukup melunasi pasiva yang ada. Hal ini lah yang akan menjadi fokus pembahasan makalah ini, yakni pelunasan hutang harta waris yang tidak diurus akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris, dengan melakukan perbandingan hukum di Indonesia dan Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia?
2.      Bagaimana pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Belanda?
3.      Apa persamaan dan perbedaan pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia dan di Belanda?

1.3  Tujuan Penulisan
Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Hukum Perdata, serta guna menambah khasanah ilmu penulis dan juga pembaca di bidang hukum perdata khususnya waris.
Khusus
1.      Untuk mengetahui pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Belanda.
3.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia dan di Belanda


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengurusan Pelunasan Hutang “Harta Waris Yang Tidak Diurus” di Indonesia
2.1.1        Hukum Waris di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law, yang mana membedakan pembidangan hukum atas hukum privat dan publik. Adapun salah satu hukum yang diatur dalam hukum privat adalah waris. Lebih lanjut pengaturan waris di Indonesia terdapat pada 3 hukum berbeda, yakni hukum Adat, hukum Islam, dan hukum Perdata Barat. Hal ini merupakan bentuk pluralisme hukum waris.[1]
Hukum waris berdasarkan Hukum Perdata Barat diatur pada buku ke II KUHPerdata tentang Kebendaan. Adapun yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati (si Pewaris) dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian (pasal 830 KUHPerdata). Pewarisan tersebut merupakan salah satu cara memperoleh hak milik.
Subjek dalam hukum waris adalah Pewaris, Ahli Waris, dan Pihak Ketiga Yang Tersangkut dalam Warisan. Pewaris adalah setiap orang yang meninggalkan harta kekayaan, yakni segala hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan uang.  Ahli Waris adalah orang-orang tertentu yang secara limitatif diatur dalam KUHPerdata yang menerima harta peninggalan. Adapun Pihak Ketiga yang Tersangkut dalam Warisan adalah orang yang menerima warisan dengan fidie comis, pelaksana wasiat yang ditunjuk Pewaris (executeur testamentair), dan  pengelola harta waris (Bewindvoeder). Adapun terhadap warisan tersebut, Ahli Waris memiliki hak untuk menentukan sikap sebagai berikut[2] :
1.      Menerima secara penuh, tanpa syarat  ( zuivere aanvaarding ), yakni inklusif utang Pewaris
2.      Menerima dengan reverse/syarat ( beneficiaire aanvaarding ), yakni warisan diterima secara terperinci, sedangkan untangnya si Pewaris akan dibayar berdasarkan harta benda yang diterima si Ahli Waris
3.      Menolak warisan, yakni si waris tidak mau tau tentang pengurusan/penyelesaian warisan tersebut.
Adapun salah satu kewajiban Ahli Waris adalah melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang.
            Selanjutnya, obyek Hukum Waris adalah harta kekayaan yang dipindahtangankan dari Pewaris kepada Ahli Waris. Harta Kekayaan tersebut berupa (1) aktiva, yakni sejumlah benda yang nyata ada dan/atau berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga, serta hak immaterial, dan (2) pasiva, yakni sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya.[3] Adapun harta kekayaan tersebut akan berpindah kepada Ahli Waris, seketika Pewaris meninggal dunia. Hal ini diistilahkan dengan “warisan terbuka”.

2.1.2        Penolakan Harta Waris dan Harta Waris Yang Tidak Diurus
Pada saat “warisan terbuka” maka terjadilah pembagian warisan. Pembagian ini, salah satunya, ditentukan pada cara memperoleh waris. Adapun terhadap harta waris tersebut Ahli Waris berhak menentukan sikapnya, yakni apakah menerima seluruhnya, menerima dengan syarat atau bahkan menolak warisan. Adapun yang dimaksud dengan penolakan warisan oleh Ahli Waris adalah penolakan terhadap harta maupun kewajiban dari Pewaris. Penolakan ini harus dilakukan dengan suatu akta pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat dimana warisan itu terbuka.
Penolakan Ahli Waris terhadap harta waris tersebut berakibat pada dianggapnya Ahli Waris tersebut tidak pernah berkedudukan sebagai Ahli Waris. Dalam hal penolakan ini dilakukan oleh seluruh Ahli Waris, maka Ahli Waris dianggap tidak ada. Hal ini menjadikan harta waris tersebut tidak terawat atau tidak bertuan.[4] Kondisi harta waris yang demikian dinamakan dengan “Harta Waris Yang  Tak Terurus” sebagaimana diatur pada Bab Ke-18 Buku II KUHPerdata (pasal 1126 – 1130). Adapun yang dimaksud dengan “Harta Waris Yang  Tak Terurus” adalah sebagaimana dinyatakan pada pasal 1126 KUHPerdata sebagai berikut[5] :
“Apabila, jika suatu warisan terbuka, tiada seorang yang menuntutnya, ataupun apabila semua waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dijabarkan unsur-unsur “Harta Peninggalan Yang Tak Terurus” sebagai berikut :
a.       Ada warisan yang terbuka. Warisan merupakan sejumlah harta kekayaan milik Pewaris, dan dikatakan suatu “warisan terbuka” adalah tepat setelah Pewaris meninggal dunia.;
b.      Tiada seorang yang menuntutnya. Hal ini dapat diartikan : Tidak ada Ahli Waris yang menuntut harta warisan tersebut, baik dikarenakan (1) Ahli Waris tidak diketahui ataupun (2) Ahli Waris diketahui tapi tidak melakukan hal apapun (penuntutan), dalam hal ini Ahli Waris bersikap pasif (tidak menerima ataupun menolak warisan); atau
c.       Semua waris yang terkenal menolaknya, berarti Ahli Waris diketahui, dan secara aktif melakukan penolakan.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka “Harta Waris Yang  Tak Terurus” dapat pula disebut dengan istilah “Harta Waris Yang  Tidak Diurus” yakni khusus  dalam hal semua Ahli Waris (diketahui keberadaannya/orangnya) menolak harta waris tersebut. Penggunaan kata “di-urus” tersebut secara gramatikal menujukkan adanya perbuatan aktif penolakan terhadap harta waris.
2.1.3        Pengurusan Harta Waris Yang Tidak Diurus
Dalam hal Pewaris telah meninggal dunia (bukti), tidak meninggalkan Surat Wasiat, dan semua Ahli Waris menolak harta waris, pengurusan harta waris dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). BHP menjadi pengampu atas harta waris tersebut. Hal ini sebagaimana diatur  pada:
-          Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980 Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan, yang menyatakan bahwa BHP melaksanakan penyelesaian masalah Perwalian, Pengampunan, Ketidak Hadiran dan Harta Peninggalan yang tidak ada kuasanya dan lain- lain masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang- undangan.
-          Pasal 1126 s/d pasal 1130 K.U.H.Perdata, jo. pasal 64 s/d pasal 69 Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia, khususnya pasal 1127 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus, tak peduli apakah harta peninggalan mencukupi maupun tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang si meninggal. Balai itu diwajibkan, pada waktu mulai melakukan pengurusan tersebut memberitahukan hal itu secara tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri.
Adapun jika terdapat perselisihan pendapat tentang apakah suatu warisan dapat dianggap sebagai tak terurus atau tidak, maka Pengadilan Negeri, atas permintaan para yang berkepentingan atau pun atas pengusulan Kejaksaan, akan memutuskan persoalan tersebut tanpa suatu bentuk acara
Proses pengurusan “Harta Waris Yang  Tidak Diurus” oleh BHP pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan proses pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir. Adapun pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir berawal dari Penetapan Pengadilan Negeri tentang Ketidakhadiran orang tersebut, sementara pengurusan “Harta Waris Yang  Tidak Diurus” bertolak dari proses pemeriksaan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yang akte kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan Sipil. Apabila dalam pemeriksaan terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi hukum Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut antara lain dengan melakukan pendaftaran Harta Kekayaan (budel). Dalam hal bila dirasa perlu, maka Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan atas harta tersebut..[6]  Hal ini sebagaimana diatur pasal 1128-1130 KUHPerdata, yang pada intinya menjelaskan bahwa kewajiban BHP terhadap Harta Waris Tak Terurus (tidak diurus) adalah sebagai berikut[7]:
a)      Membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang;
b)      Membereskan warisan, dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris. Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, BHP juga wajib memberikan pertanggungjawaban;
c)      Memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau panggilan resmi lainnya.
Adapun ketentuan dalam pasal 1036, 1037, 1038, 1039, dan 1041 KUHPerdata juga berlaku terhadap pengurusan warisan-warisan yang tak terurus (diurus). Dalam jika setelah lewatnya waktu 3 (tiga) tahun, terhitung mulai hari terbukanya warisan, tidak seorang waris pun memajukan diri,maka perhitungan penutup harus dilakukan kepada Negara, sedangkan Negara akan berkuasa sementara menguasai harta peninggalannya. Berikut adalah ringkasan Prosedur Penyelesaian Harta Kekayaan Tak Terurus (termasuk tidak diurus) oleh BHP[8] :

Lebih lanjut berikut rincian teknis pelaksanaan pengurusan yang dilakukan oleh BHP adalah[9] :
i. Setelah BHP menerima laporan resmi dari Lurah/Camat setempat tentang adanya orang yang meninggal tanpa ahli waris, atau adanya putusan pengadilan, atau adanya penolakan warisan dari ahli waris, maka BHP segera memberitahukan kepada masyarakat dengan iklan pengumuman di 2 surat kabar lokal dan nasional serta Berita Negara RI ;
ii. Setelah jangka waktu 14 hari sejak iklan pengumuman ternyata tidak ada masyarakat atau pihak ketiga yang berkeberatan, maka BHP segera memberitahukan hal itu kepada instansi-instansi pemerintah terkait yang ada hubungannya dengan diri atau harta kekayaan orang tidak hadir yaitu Pengadilan Negeri, Kantor Pertanahan, Kejaksaan Negeri, BPK, dan lain-lain.
iii. Melakukan inventarisasi atas harta kekayaan orang tidak hadir dan membuat perjanjian sewa menyewa dengan pemohon penetapan/yang berkepentingan.
iv. Mewakili diri dan membela hak-hak orang yang tidak hadir itu baik di dalam maupun diluar pengadilan ;
v. Apabila kepentingan boedel menghendaki, Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penjualan atas harta kekayaan orang yang tidak hadir itu setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari Pengadilan Negeri setempat dan Menteri Hukum dan HAM RI ;
vi. Apabila dalam tenggang waktu 30 tahun orang yang dinyatakan tidak hadir tidak muncul juga, maka hasil penjualan harta kekayaan itu diserahkan/disetor ke Kas Negara, setelah terlebih dahulu diperoleh persetujuan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Adapun BHP di Indonesia terdapat di 5 kota yakni Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makasar.

2.1.4        Pelunasan Hutang Harta Waris Yang Tidak Diurus
Salah satu bagian dari pengurusan “harta waris yang tidak diurus” adalah pelunasan hutang. Pelunasan hutang Kreditur pada Harta Warisan Yang Tidak Diurus tersebut dapat diselesaikan sebagaimana mekanisme pasal 1061 KUHPerdata dan pasal 1128 KUHPerdata. Pasal 1061 mengatur bahwa Kreditur dapat meminta dikuasakan oleh Hakim sebagai pengganti Ahli Waris yang menolak warisan tersebut, sehingga Kreditur mendapatkan harta waris guna pelunasan hutangnya. Hal ini menunjukkan adanya unsur permohonan dikuasakan sebagai Ahli Waris. Sementara itu, pasal 1128 mengatur mengenai pengajuan tuntutan Kreditur. Adapun baik terhadap permohonan maupun tuntutan Kreditur, yang berkewajiban untuk menjadi wakil/penghadap atas Pewaris yang Harta Waris nya Tidak Diurus tersebut adalah Balai Harta Peninggalan sebagai yang melakukan pengurusan atas harta waris tersebut. Hal ini sebagaimana diatur pasal 1128 ayat (3) KUHPerdata :
“Balai harus menghadap di muka Hakim dalam tuntutan hukum yang telah dimulai terhadap harta peninggalan, menjalankan atau meneruskan segala hak yang dimiliki si meninggal, dan memberikan perhitungan tentang pengurusannya, kepada siapa yang berhak.”
Dalam hal ternyata hutang ternyata lebih besar daripada aset (pasiva lebih besar daripada aktiva), maka BHP tidak bertanggungjawab atas kekurangan pelunasan hutang tersebut. Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 1127 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus, tak peduli apakah harta peninggalan mencukupi maupun tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang si meninggal…”
Hal ini merupakan bentuk pelepasan tanggungjawab BHP sebagai pengampu atas harta waris tidak diurus tersebut. Lantas bagaimana nasib piutang Kreditur yang kurang bayar tersebut? KUHPerdata tidak memberikan perlindungan terhadap kekurangan pelunasan piutang Kreditur dalam hal harta tidak terurus. Pelunasan terhadap Kreditur dalam situasi demikian adalah sejumlah apa yang dimiliki Pewaris saja. BHP sebagai tidak berkewajiban untuk membayarkan utang Pewaris yang kurang terhadap Kreditur.

2.2  Pengurusan Pelunasan Hutang “Harta Waris Yang Tidak Diurus” di Belanda
2.2.1        Hukum Waris di Belanda
Belanda merupakan negara dengan sistem hukum civil law, yang mana membedakan pembidangan hukum atas hukum privat dan publik. Hukum privat di Belanda diatur, salah satunya, pada Dutch Civil Code (DCC) yang mana terdiri dari 10 Buku. Salah satu yang diatur dalam DCC adalah mengenai kewarisan (succession/inheritance). Di Belanda, tidak terdapat pluralisme hukum waris sebagaimana di Indonesia.
Hal Waris di Belanda menjadi perhatian yang cukup serius, mengingat hukum orang dan keluarganya yang unik, khususnya mengenai pengaturan lembaga perkawinan. Hukum Waris di Belanda diatur dalam Book 4 Dutch Civil Code (DCC) tentang Law of Succession/inheritance (Hukum Waris). Buku 4 tersebut berlaku efektif di Belanda sejak 1 Januri 2003 yang mana terdiri dari 233 Arts. Adapun buku 4 terdiri atas 6 Title yakni : Title 4.1 General Provisions (Articles 1-8)  Ketentuan Umum ; Title 4.2 Intestate succession (Articles 9-12)  suksesi wasiat ; Title 4.3 Intestate succession in the relation between the spouse and the children of the deceased (Articles 13-41)  suksesi wasiat dalam hubungan antara pasangan dan anak-anak dari almarhum ; Title 4.4 The last will of the deceased (Articles 42-114) wasiat terakhir dari almarhum ; Title 4.5 Last wills of various types (Articles 115-181) wasiat terakhir dari berbagai jenis;  Title 4.6 Consequences of a succession (Articles 182-233)  Konsekuensi suksesi. Adapun di Belanda, surat wasiat merupakan hal yang sangat penting bagi pembagian warisan. [10]Namun demikian tetap saja dimungkinkan kondisi tidak adanya wasiat.
Pengertian hukum waris di Belanda adalah lebih kurang sama dengan pengertian hukum waris di Indonesia, yakni  hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati (si Pewaris) dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Pun, subjek dalam hukum waris adalah Pewaris, Ahli Waris, dan Pihak Ketiga Yang Tersangkut dalam Warisan. Adapun Ahli Waris disini termasuk unmarried partner[11].  terhadap warisan tersebut, Ahli Waris memiliki hak untuk menentukan sikap untuk (1) Menerima secara penuh, tanpa syarat  ( zuivere aanvaarding ), (2) menerima dengan reverse/syarat ( beneficiaire aanvaarding ),ataupun (3) menolak warisan. Selanjutnya, obyek Hukum Waris adalah harta kekayaan yang dipindahtangankan dari Pewaris kepada Ahli Waris. Harta Kekayaan tersebut berupa (1) aktiva dan (2) pasiva Adapun harta kekayaan tersebut akan berpindah kepada Ahli Waris, seketika Pewaris meninggal dunia. Hal ini diistilahkan dengan “warisan terbuka”.

2.2.2        Penolakan Harta Waris, Harta Waris Yang Tidak Diurus, dan Pengurusan Harta Waris Yang Tidak Diurus
Seketika seseorang meninggal dunia, maka Ahli Warisnya demi hukum memiliki hak dan kewajiban Pewaris, termasuk juga menjadi debitur atau pun kreditur atas harta waris (pasiva dan aktiva). Hal ini sebagaimana diatur Article 4:182 DCC:
“ Acquisition of rights and debts of the deceased
1. When a person dies, his heirs acquire by operation of law his rights as far as these can be passed over to someone else and they will obtain as well, in the same capacity as the deceased, all what the deceased possessed or kept. The first sentence does not apply when the estate of the deceased is apportioned (divided) pursuant to Article 4:13; in that case his spouse obtain by operation of law, in the same capacity as the deceased, all what the deceased possessed or kept.
2. By operation of law the heirs turn into the debtors of the deceased’s obligations and other legal duties that have not ceased to exist as a result of the deceased’s death. Where a performance of an obligation is divisible, each of the heirs is responsible (liable) for it in proportion to his share in the deceased's estate, unless the heirs are joint and several responsible (liable)
Dalam banyak kasus di Belanda, tidak segera jelas siapa yang akan mewarisi (Ahli Waris) dari orang yang meninggal (Pewaris). Kadang-kadang ditetapkan bahwa tidak ada wasiat dan bahwa tidak ada individu yang dapat mewarisi dengan hak mewarisi tanpa wasiat. Berkaitan dengan hal ini, Pasal 4:189 BW (DCC) menjelaskan bahwa setelah kematian seseorang yang tidak memiliki Ahli Waris, aset-aset harta peninggalan orang itu akan jatuh ke Negara sebagai hak umum. Begitupun halnya bila seluruh Ahli Waris menolak harta waris (Harta Waris Tidak Diurus). maka harta waris menjadi hak umum negara.
Penolakan Ahli Waris terhadap harta waris diatur pada Title 4.6 Title 4.6 Consequences of a succession (Art. 182-233), khususnya Section 4.6.2 Acceptance and rejection of an inheritance or bequest (Art.190-201). Adapun Art. 4:190 Choice whether or not to accept an inheritance mengatur sebagai berikut :
1. An heir may accept or reject an inheritance. An acceptance may be done unconditionally or under the privilege that first an inventory of the estate of the deceased has to be made in order to assess whether the value of the assets of the estate exceed the debts of the estate.
2. The deceased cannot impose restrains on the heirs’ right to choose. Prior to the devolvement of the deceased’s estate an heir cannot decide if he accepts or rejects the inheritance.
3. A choice as meant in the previous paragraphs can only be made unconditionally and without a time determination. It cannot concern a part of a share in the deceased's estate. However, when an heir, who already has accepted his inheritance, has acquired something out of the estate on the fulfilment of a condition added by the deceased to his appointment of heirs, then this may still be accepted or rejected separately by that heir.
4. Once a choice has been made, it is irrevocable and it has retroactive effect up to the moment on which the deceased’s estate devolved. An acceptance or rejection cannot be nullified on the basis of a mistake (‘dwaling’), nor by one or more creditors on the basis of fraudulent conveyance (‘schuldeisersbenadeling’).”
Pilihan menolak harta warisan merupakan bentuk pelepasan hak waris Ahli Waris. Adanya penolakan menyebabkan harta waris menjadi tidak bertuan/ tidak memiliki Pemilik. Hal penolakan demikian juga memunculkan  hak umum negara.
Adapun cara penolakan harta waris di Belanda lebih kurang sama dengan yang dilakukan di Indonesia, yakni  diatur sebagai berikut :
“Article 4:191 Registration of the choice made
1. The choice referred to in the previous Article is made by a statement indicating if the inheritance is accepted or rejected at the Registry of the court in whose territory the deceased had his last residence. This statement is registered in the Estate Register.
2. As long as the deceased’s estate has not been accepted by all heirs, the Subdistrict Court may order measures it considers necessary for the preservation of the assets of the estate.”
Pada intinya, pilihan penerimaan ataupun penolakan harus didaftarkan pada Pengadilan yang wilayah hukumnya berada pada tempat tinggal terakhir Pewaris.
Mengenai pengurus “harta waris yang tidak diurus” tersebut pasca penolakan seluruh Ahli Waris, tidak diatur secara tegas dan jelas dalam DCC. Namun demikian, secara implisit dapat diketahui bahwa guna mengurus “harta waris yang tidak diurus” maka diangkatlah Kurator/Likuidator. Kurator diangkat berdasarkan permintaan pihak yang berkepentingan atau atas usul Kejaksaan, oleh Pengadilan yang ada dalam wilayah rumah kematian (Pewaris). Pengadilan dapat bebas menentukan siapa yang akan menjadi Kurator, apabila tidak diwasiatkan. Dalam hal “harta waris yang tidak diurus” artinya tidak ada wasiat dan seluruh Ahli Waris menolak maka Kurator ditentukan secara bebas oleh Pengadilan.  
Tugas Kurator adalah mengurus, dan bila perlu dengan syarat-syarat tertentu, juga menguasai harta waris sepenuhnya.[12] Lebih rincinya, maka Kurator bertugas melakukan penyegelan terhadap harta peningalan, dan meminta seorang notaris untuk membuat inventaris. Kurator berkewajiban untuk (1) mencari Ahli Waris melalui panggilan dalam surat kabar atau dengan alat-alat lain yang sesuai, (2) mewakili di depan pengadilan, terhadap tuntutan hukum yang diajukan mengenai harta peninggalan, (3) menjalankan segala hak yang termasuk harta peninggalan dan meneruskannya, (4) jika perlu maka Kurator dapat mengajukan gugatan dan memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan terhadap harta peninggalan sesudah Pewaris mati, (5) menyetor ke kas konsinyasi uang tunai yang ada dalam  harta peningggalan dan juga hasil penjualan benda bergerak dan tidak bergerak, agar dapat disimpan untuk yang berkepentingan. Intinya, tugas Kurator adalah “apa yang dalam keadaan lain, biasa dilakukan oeh Ahli Waris atau Ahli Waris bersama-sama dengan pelaksana wasiat”, seperti mengurus dan menyelesaikan, membayar hutang dan membayarkan hibah wasiat, dan menagih piutang.
Dalam hal penunjukan Kurator/Likuidator tersebut, maka Pengadilan Negeri juga dapat menunjuk salah satu anggotanya sebagai Hakim Pengawas sebagaimana diatur Art.4:208 berikut :
“Article 4:208 Appointment of a supervisory judge
1. At the occasion of the appointment of a liquidator or by way of in a later court order the District Court may appoint one of its members as supervisory judge.
2. If a supervisory judge has been appointed, then:
a. the duties and powers that, according to the present Section, are assigned to the Subdistrict Court shall be exercised by the supervisory judge, unless the law provides otherwise;
b. the documents referred to in Article 4:211 paragraph 3, 4:214 paragraph 5 and 4:218 paragraph 1 shall, to the extent that there is no estate notary, be lodged with the Registry of the District Court”

2.2.3        Pelunasan Hutang Harta Waris Yang Tidak Diurus
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengangkatan Kurator dapat dilakukan atas permintan pihak yang berkepentingan. Adapun pihak berkepentingan yang diutamakan adalah Kreditur dan legataris. Kreditur dalam hal ini membawa kepentingan pelunasan hutangnya.
Pada “harta waris yang tidak diurus”, pelunasan hutang Kreditur menjadi tanggungjawab Kurator/Likuidator, yakni membayar hutang Pewaris. Adapun tuntutan pelunasan hutang Kreditur tersebut dilakukan secara resmi pada lembaga pengadilan.[13] Hal ini sebagaimana diatur pada  Section 4.6.3, Liquidation (winding up) of the estate of the deceased (202-226).  Adapun Art. 4:205 mengatur mengenai Liquidation (winding up) in the interest of the creditor of an heir sebagai berikut :
“When an heir has rejected his inheritance and this has obviously harmed the possibilities of recourse for one of his creditors, the District Court may, upon the request of this creditor, order that the deceased’s estate shall be liquidated (wind up) also in the interest of the creditors of the person who has rejected the inheritance and it may, if necessary, appoint a liquidator to this end”
Ketika ahli waris menolak warisannya dan ini jelas merugikan kemungkinan jalan untuk salah satu krediturnya, maka Pengadilan Negeri , atas permintaan Kreditur, memerintahkan agar itu harta kekayaan almarhum akan dilikuidasi, juga bunga dari para kreditur dari orang yang telah menolak warisan dan mungkin, jika perlu , menunjuk likuidator untuk tujuan ini .
Selanjutnya, mengenai pelunasan hutang tersebut oleh Kurator, maka jumlah uang yang dibayarkan Kurator/Likuidator kepada Kreditur adalah sejumlah perhitungan aktiva dan pasiva Pewaris saja. Dalam hal ini maka setelah nantinya diinventaris, kemudian muncul tuntutan pelunasan hutang maka dilakukanlah realisasi aset Pewaris sebagaimana diatur pada Art.4:215 berikut:
“Article 4:215 Realisation of the assets of the deceased’s estate
1. The liquidator shall sell off and realise the assets of the deceased’s estate as far as this is necessary to comply with the debts of the estate. Assets that are claimed by a creditor of the estate, will be sold off last as much as possible.
2. The liquidator shall consult the heirs as much as possible on the choice of the assets that are to be sold and of the way how to realize them. Where the intended realisation of the assets meets with objections of an heir or of a creditor who claims one of these assets, the liquidator shall give him the opportunity to call in the decision of the Subdistrict Court
3. What in the previous paragraph is laid down with respect to heirs shall apply also with regard to persons to whom the deceased has left a usufruct of his estate or of a share in it.
4. Article 3:68 of the Civil Code applies accordingly to a liquidator.
5. With respect to capital sums insurance policies taken out by the deceased without an irrevocable appointment of a third party as being the beneficiary, Article 22a of the Insolvency Act shall apply accordingly, on the understanding that the next terms are to be understood in the following way:
a. the curator: the liquidator;
b. the supervisory judge: the Subdistrict Court;
c. the policyholder: the heirs or, if the deceased’s estate has been apportioned (divided) in accordance with Section 4.3.1, the spouse of the deceased.
Setelah nantinya besaran aktiva dan pasiva dihitung maka dilakukan suatu skema distribusi bagi Kreditur sebagaimana diatur Art.4:218 berikut :
“Article 4:218 Rendering account and scheme for distribution
1. Within six months after the expiration of the time period set for presenting debt-claims, a liquidator must deposit both, a document in which he renders account and a scheme for distribution, at the office of the estate notary or, where such a notary is absent, at the Registry of the District Court so that everyone is able to inspect these files there. The Subdistrict Court may extend this period.
2. The liquidator publicly announces that he has deposited the before mentioned documents for inspection in the same way as the possibility for presenting debt-claims has to be announced; by letter the heirs, the legatees and all creditors who have presented a debt-claim have to be notified individually of this.
3. Within one month after this public announcement has been made, each interested person may oppose against the rendered account or the scheme of distribution at the Subdistrict Court or, if a supervisory judge has been appointed, at the District Court.
4. Obligations to transfer an asset of the deceased’s estate or to establish a limited property right on such an asset are converted into a money debt as far as a shortage makes this necessary. Other obligations to carry out a performance other than the payment of a sum of money and obligations under a condition precedent shall only be admitted to the scheme of distribution upon the request of the involved creditor; in that case these obligations are also converted into a money debt. The debt-claim of a forced heir will not be admitted to the scheme of distribution if it is not yet due and demandable pursuant to Article 4:81 paragraph 2 or because of a condition as meant in Article 4:82 or a testamentary disposition as meant in Article 4:83.
5. Other than that, the provisions of the Insolvency Act shall apply as much as possible for the purpose of calculating everybody’s debt-claim, the drawing up of a scheme of distribution and the right to oppose against these operations.”
Bila ternyata, pasiva lebih besar dari aktiva, dan terjadi kekurangan pelunasan hutang  seperti hutang tidak sepenuhnya lunas atau bahkan jutsru tidak dapat dibayarkan sama sekali, maka Kurator/Likudator tidak berkewajiban untuk memenuhi atau membantu melunasi. Sama halnya dengan di Indonesia, maka nasib piutang Kreditur yang kurang bayar tersebut tidak dilindungi dalam hal “harta waris tidak terurus”.

2.3  Persamaan dan Perbedaan Pelunasan Hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) Akibat Penolakan Harta Waris oleh Seluruh Ahli Waris di Indonesia dan di Belanda
2.3.1        Persamaan
-          Indonesia dan Belanda sama-sama  negara dengan sistem hukum civil law yang mana membedakan antara bidang hukum publik dan privat. Adapun hukum waris sama-sama dimasukan dalam kategori hukum privat;
-          Ada mekanisme penolakan harta waris yang menyebabkan adanya kondisi harta waris tidak bertuan (tidak terurus/diurus);
-          Dalam hal pelunasan hutang Kreditur atas “harta waris tidak diurus”, maka baik Indonesia maupun Belanda sama-sama mengatur mengenai mekanisme penyelesaian melalui pengurusan oleh hak umum Negara.
-          Tidak terdapat jaminan maupun perlindungan bagi Kreditur terkait pelunasan penuh hutang Pewaris dalam hal “Harta Waris Tidak Diurus”.

2.3.2        Perbedaan
Indonesia :
1.      Hukum Waris diatur secara digabung dengan Hukum Kebendaan sebagaimana terdapat pada Buku II KUHPerdata tentang Benda
2.      Hal mengenai “Harta Waris Tidak Diurus” (termasuk dalam kategori “Harta Waris Tak Terurus) diatur secara tegas pada Bab ke-18 tentang Harta Peninggalan Yang Tak Terurus;
3.      Pengurusan  “Harta Waris Tidak Diurus” dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan berkoordinasi dan bekerjsama dalam beberapa hal dengan Kejaksaaan Negeri dan Pengadilan Nigeria
4.      BHP berkedudukan dibawah Kementerian Hukum dan HAM
5.      Pengaturan mengenai pelunasan hutang Kreditur “Harta Waris Tidak Diurus” sangat sedikit dan tidak rinci.

Belanda:
1.      Hukum Waris diatur secara terpisah di dalam Buku 4 Dutch Civil Code yakni dengan titel “Law of Succession”
2.      Hal mengenai “Harta Waris Tidak Diurus” (termasuk dalam kategori “Harta Waris Tak Terurus) tidak diatur secara tegas dan jelas;
3.      Pengurusan  “Harta Waris Tidak Diurus” dilakukan oleh Kurator (disebut di dalam DCC sebagai Likuidator), dengan berkoordinasi dan bekerjasama dalam beberapa hal dengan Hakim Pengawas dan Kejaksaaan Negeri.
4.      Kurator/Likuidator ditunjuk oleh Pengadilan dan dapat merupakan
5.      Pengaturan mengenai pelunasan hutang Kreditur cukup rinci, meskipun tidak begitu jelas dijabarkan mengenai pelunasan khusu pada “Harta Waris Tidak Diurus”.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Indonesia dan Belanda merupakan negara yang sama-sama memiliki sistem hukum civil law, yang mana membedakan bidang hukum publik dan privat. Adapun hukum waris sama-sama dimasukan dalam kategori hukum privat.
Pengaturan hukum waris di Indonesia terdapat pada Buku II KUHPerdata tentang kebendaan. Sementara di Belanda hal waris tersebut diatur pada Buku 4 Dutch Code Civil. Adapun bila dilihat secara keseluruhan, pengaturan hukum waris di Belanda lebih rinci dan jelas daripada di Indonesia. Khusus mengenai Pengurusan Pelunasana “Harta Waris yang Tidak Diurus” akibat Penolakan Harta Waris oleh Seluruh Ahli Waris, maka Indonesia dan Belanda sama-sama memberikan mekanismenya. Mekanismenya lebih kurang adalah sama, namun badan/lembaga yang menjalankannya berbeda. Di Indonesia, hal pengurusan tersebut dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) yang mana berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sementara di Belanda dilakukan oleh Kurator/Likuidator yang berada dibawah perintah Pengadilan. Di Indonesia BHP tersebut bekerjasama dan berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri.  Adapun di Belanda, Kurator/Likuidator tersebut bekerjasama juga dengan Kejaksaan Negeri dan dalam hal likuidasi maka Kurator/Likuidator tersebut dapat diawasi oleh Hakim Pengawas. Adapun terhadap pelunasan hutang yang kurang pada Harta Waris Tidak Diurus tersebut, maka baik BHP atau Kurator/Likuidator tidak dapat dituntut untuk memenuhinya dan tidak berkewajiban untuk melunasi/memenuhi hutang tersebut bila memang kondisi pasiva Pewaris kurang daripada aktivanya.Hal ini merupakan suatu kekosongan hukum yang sangat merugikan Kreditur.

3.2  Saran
Mengingat pentingnya pelunasan hutang Kreditur harta waris yang tidak diurus akibat penolakan oleh seluruh Ahli Waris, maka berikut saran saya:
-          Pemerintah Indonesia segera melakukan unifikasi hukum waris. Dalam hal unifikasi nantinya pengaturan waris sudah seharusnya dipisahkan dari ketentuan Buku II KUHPerdata. Hukum Waris di Indonesia pun harus lebih dirinci lagi.
-          Baik Indonesia maupun Belanda, segera melengkapi dan mengisi kekosongan hukum mengenai pengaturan pelunasan hutang Kreditur harta waris yang tidak diurus akibat penolakan oleh seluruh Ahli Waris.



DAFTAR PUSTAKA
Balai Harta Peninggalan Surabaya. Balai Harta Peninggalan  Fungsi dan Tugas Pokoknya. Surabaya : BHP Surabaya, 2013.
BHP Jakarta. “SOP Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus”http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1. Diakses pada 24 Mei 2014.
BHP Jakarta. “Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus” http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1. Diakses pada 24 Mei 2014.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta : Gita Jaya, 2008.
Oemarsalim. Dasar – dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,1987.
Pitlo,A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1991.
Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat, Pewarisan Menurut Undang-Undang. Jakarta: Kencana,2006.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet.29. Jakarta : Pradnya Paramita, 1999.
Suparman,Erman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adar dan BW, cet.2. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Wilbert D.Kolkman, et.al. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Bali: Pustaka Larasan, 2012.

JURNAL
Ratno Lukito, The Enigma of National Law in Indonesia : The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral Inheritance, Journal JLP BHAM, http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/52/lukito-art.pdf, 2006, hal.1. Diakses pada 25 Mei 2014.
Reinhartz.B.E. Recent Changes in the Law of Succession in the Netherlands: On the Road towards a European Law of Succession?, Electronic Journal of Comparative Law, Vol 11.1 (May 2007) www.ejcl.org. Diakses 25 Mei 2014.
IBA Individual Tax and Private Client Committee, “The Netherlands International Estate Plannng Guiede” http://www.ibanet.org/Document/Default.aspx? DocumentUid=26AA974D-601B-4712-B904-EB904C549AC2 hal.5. Diakses pada 25 Mei 2014.



       [1] Ratno Lukito, The Enigma of National Law in Indonesia : The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral Inheritance, Journal JLP BHAM, http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/52/lukito-art.pdf, 2006, hal.1.
       [2] Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah,Hukum Kewarisan Perdata Barat, Pewarisan Menurut Undang-Undang, (Jakarta: Kencana,2006), hal. 106.
       [3] Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta : Gita Jaya, 2008), hal.113.
       [4] Oemarsalim, Dasar – dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,1987), hal.197.
       [5] R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet.29, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1999), hal.289.
       [6] BHP Jakarta, “Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus” http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1, diakses pada 1 Juni 2014.
       [7] Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adar dan BW, cet.2, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal.38.
       [8] BHP Jakarta, “SOP Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus”http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1, diakses pada 1 Juni 2014.

       [9] Balai Harta Peninggalan Surabaya, Balai Harta Peninggalan  Fungsi dan Tugas Pokoknya, (Surabaya : BHP Surabaya, 2013 ), hal.20-22.
      [10] IBA Individual Tax and Private Client Committee, “The Netherlands International Estate Plannng Guiede” http://www.ibanet.org/Document/ Default.aspx?DocumentUid=26AA974D-601B-4712-B904-EB904C549AC2 hal.5, diakses pada 25 Mei 2014.
       [11]  B.E. Reinhartz, Recent Changes in the Law of Succession in the Netherlands: On the Road towards a European Law of Succession?, Electronic Journal of Comparative Law, Vol 11.1 (May 2007) www.ejcl.org, hal.1.
       [12] A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal.181.
       [13] Wilbert D.Kolkman, et.al., Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hal.83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar