BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Waris merupakan hal penting dalam kehidupan privat
masyarakat. Hukum waris merupakan hukum yang mengatur mengenai perpindahan hak
kepemilikan suatu harta kekayaan (keseluruhan hak-hak dan kewajiban) dari orang
yang mewariskan (si Pewaris) kepada ahli waris dan menentukan siapa-siapa yang
berhak menerima harta kekayaan tersebut. Adapun hukum mengenai waris diatur
berbeda di setiap negara tergantung pada sistem hukum negara tersebut, baik civil law ataupun common law dan lainnya.
Hal paling esensial dan krusial
mengenai waris adalah saat terbukanya harta waris tersebut. Terhadap warisan
yang terbuka, Ahli Waris berhak menentukan sikapnya untuk menerima ataupun
menolak harta waris tersebut. Dalam hal Ahli Waris menolak harta warisan maka
harta tersebut menjadi tidak bertuan (tidak memiliki Pemilik) atau dapat
disebut pula sebagai Harta Waris Yang Tidak Diurus. Situasi demikian
menimbulkan permasalahan pelik bagi Kreditur (si Berpiutang) dari Pewaris,
khususnya mengenai nasib pelunasan hutang Pewaris. Dapatkah seluruh hutang
Pewaris dilunasi? Lalu siapakah yang bertanggungjawab mengurus pelunasan hutang
tersebut, bagaimanakah mekanismenya, terutama dalam hal aktiva tidak cukup
melunasi pasiva yang ada. Hal ini lah yang akan menjadi fokus pembahasan
makalah ini, yakni pelunasan hutang harta waris yang tidak diurus akibat
penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris, dengan melakukan perbandingan
hukum di Indonesia dan Belanda.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat
penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia?
2. Bagaimana
pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat
penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Belanda?
3. Apa
persamaan dan perbedaan pengurusan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak
Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di
Indonesia dan di Belanda?
1.3 Tujuan Penulisan
Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Hukum
Perdata, serta guna menambah khasanah ilmu penulis dan juga pembaca di bidang
hukum perdata khususnya waris.
Khusus
1. Untuk
mengetahui pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat
penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) akibat
penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di Belanda.
3. Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan pelunasan hutang Harta Warisan Yang Tidak
Diurus (HWYTD) akibat penolakan harta waris oleh seluruh Ahli Waris di
Indonesia dan di Belanda
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengurusan
Pelunasan Hutang “Harta Waris Yang Tidak Diurus” di Indonesia
2.1.1
Hukum
Waris di Indonesia
Indonesia
merupakan negara dengan sistem hukum civil
law, yang mana membedakan pembidangan hukum atas hukum privat dan publik.
Adapun salah satu hukum yang diatur dalam hukum privat adalah waris. Lebih
lanjut pengaturan waris di Indonesia terdapat pada 3 hukum berbeda, yakni hukum
Adat, hukum Islam, dan hukum Perdata Barat. Hal ini merupakan bentuk pluralisme
hukum waris.[1]
Hukum waris
berdasarkan Hukum Perdata Barat diatur pada buku ke II KUHPerdata tentang
Kebendaan. Adapun yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum harta kekayaan
dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati (si Pewaris) dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Pewarisan hanya berlangsung
karena kematian (pasal 830 KUHPerdata). Pewarisan tersebut merupakan salah satu
cara memperoleh hak milik.
Subjek dalam hukum
waris adalah Pewaris, Ahli Waris, dan Pihak Ketiga Yang Tersangkut dalam
Warisan. Pewaris adalah setiap orang yang meninggalkan harta kekayaan, yakni
segala hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat
dinilai dengan uang. Ahli Waris adalah
orang-orang tertentu yang secara limitatif diatur dalam KUHPerdata yang
menerima harta peninggalan. Adapun Pihak Ketiga yang Tersangkut dalam Warisan
adalah orang yang menerima warisan dengan fidie
comis, pelaksana wasiat yang ditunjuk Pewaris (executeur testamentair), dan
pengelola harta waris (Bewindvoeder).
Adapun terhadap warisan tersebut, Ahli Waris memiliki hak untuk menentukan
sikap sebagai berikut[2] :
1. Menerima
secara penuh, tanpa syarat ( zuivere aanvaarding ), yakni inklusif utang Pewaris
2. Menerima
dengan reverse/syarat ( beneficiaire
aanvaarding ), yakni
warisan diterima secara terperinci, sedangkan untangnya si Pewaris akan dibayar
berdasarkan harta benda yang diterima si Ahli Waris
3. Menolak
warisan, yakni si waris tidak mau tau tentang pengurusan/penyelesaian warisan
tersebut.
Adapun salah satu kewajiban Ahli
Waris adalah melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang.
Selanjutnya,
obyek Hukum Waris adalah harta kekayaan yang dipindahtangankan dari Pewaris
kepada Ahli Waris. Harta Kekayaan tersebut berupa (1) aktiva, yakni sejumlah
benda yang nyata ada dan/atau berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga, serta
hak immaterial, dan (2) pasiva, yakni sejumlah hutang pewaris yang harus
dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya.[3]
Adapun harta kekayaan tersebut akan berpindah kepada Ahli Waris, seketika
Pewaris meninggal dunia. Hal ini diistilahkan dengan “warisan terbuka”.
2.1.2
Penolakan
Harta Waris dan Harta Waris Yang Tidak Diurus
Pada saat “warisan
terbuka” maka terjadilah pembagian warisan. Pembagian ini, salah satunya,
ditentukan pada cara memperoleh waris. Adapun terhadap harta waris tersebut Ahli
Waris berhak menentukan sikapnya, yakni apakah menerima seluruhnya, menerima
dengan syarat atau bahkan menolak warisan. Adapun yang dimaksud dengan
penolakan warisan oleh Ahli Waris adalah penolakan terhadap harta maupun
kewajiban dari Pewaris. Penolakan ini harus dilakukan dengan suatu akta
pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat dimana warisan itu
terbuka.
Penolakan Ahli
Waris terhadap harta waris tersebut berakibat pada dianggapnya Ahli Waris
tersebut tidak pernah berkedudukan sebagai Ahli Waris. Dalam hal penolakan ini
dilakukan oleh seluruh Ahli Waris,
maka Ahli Waris dianggap tidak ada. Hal ini menjadikan harta waris tersebut
tidak terawat atau tidak bertuan.[4]
Kondisi harta waris yang demikian dinamakan dengan “Harta Waris Yang Tak Terurus”
sebagaimana diatur pada Bab Ke-18 Buku II KUHPerdata (pasal 1126 – 1130).
Adapun yang dimaksud dengan “Harta Waris Yang
Tak Terurus” adalah
sebagaimana dinyatakan pada pasal 1126 KUHPerdata sebagai berikut[5] :
“Apabila,
jika suatu warisan terbuka, tiada seorang yang menuntutnya, ataupun apabila
semua waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak
terurus”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat
dijabarkan unsur-unsur “Harta Peninggalan Yang Tak Terurus” sebagai berikut :
a. Ada
warisan yang terbuka. Warisan merupakan sejumlah harta kekayaan milik Pewaris,
dan dikatakan suatu “warisan terbuka” adalah tepat setelah Pewaris meninggal
dunia.;
b. Tiada
seorang yang menuntutnya. Hal ini dapat diartikan : Tidak ada Ahli Waris yang
menuntut harta warisan tersebut, baik dikarenakan (1) Ahli Waris tidak
diketahui ataupun (2) Ahli Waris diketahui tapi tidak melakukan hal apapun
(penuntutan), dalam hal ini Ahli Waris bersikap pasif (tidak menerima ataupun
menolak warisan); atau
c. Semua
waris yang terkenal menolaknya, berarti Ahli Waris diketahui, dan secara aktif
melakukan penolakan.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka
“Harta Waris Yang Tak Terurus” dapat pula disebut dengan
istilah “Harta Waris Yang Tidak Diurus” yakni khusus dalam hal semua Ahli Waris (diketahui
keberadaannya/orangnya) menolak harta waris tersebut. Penggunaan kata “di-urus”
tersebut secara gramatikal menujukkan adanya perbuatan aktif penolakan terhadap
harta waris.
2.1.3
Pengurusan
Harta Waris Yang Tidak Diurus
Dalam hal Pewaris
telah meninggal dunia (bukti), tidak meninggalkan Surat Wasiat, dan semua Ahli
Waris menolak harta waris, pengurusan harta waris dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan (BHP). BHP menjadi pengampu atas harta waris tersebut. Hal ini
sebagaimana diatur pada:
-
Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
tanggal 19 Juni 1980 Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Harta Peninggalan, yang menyatakan bahwa BHP melaksanakan
penyelesaian masalah Perwalian, Pengampunan, Ketidak Hadiran dan Harta
Peninggalan yang tidak ada kuasanya dan lain- lain masalah yang diatur dalam
Peraturan Perundang- undangan.
-
Pasal 1126 s/d pasal 1130 K.U.H.Perdata, jo. pasal 64 s/d
pasal 69 Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia, khususnya pasal
1127 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan
pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus, tak peduli apakah harta peninggalan mencukupi maupun tidak
mencukupi untuk melunasi utang-utang si meninggal. Balai itu diwajibkan, pada
waktu mulai melakukan pengurusan tersebut memberitahukan hal itu secara
tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri.
Adapun jika terdapat perselisihan
pendapat tentang apakah suatu warisan dapat dianggap sebagai tak terurus atau
tidak, maka Pengadilan Negeri, atas permintaan para yang berkepentingan atau
pun atas pengusulan Kejaksaan, akan memutuskan persoalan tersebut tanpa suatu
bentuk acara
Proses pengurusan
“Harta Waris Yang Tidak Diurus” oleh BHP pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan proses pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir.
Adapun pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir berawal dari
Penetapan Pengadilan Negeri tentang Ketidakhadiran orang tersebut, sementara
pengurusan “Harta Waris Yang Tidak Diurus” bertolak dari proses
pemeriksaan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yang akte
kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan Sipil. Apabila dalam pemeriksaan
terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi hukum Balai Harta
Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut antara lain dengan
melakukan pendaftaran Harta Kekayaan (budel). Dalam hal bila dirasa perlu, maka
Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan atas harta tersebut..[6] Hal ini sebagaimana diatur pasal 1128-1130
KUHPerdata, yang pada intinya menjelaskan bahwa kewajiban BHP terhadap Harta
Waris Tak Terurus (tidak diurus) adalah
sebagai berikut[7]:
a) Membuat
perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan, yang didahului
dengan penyegelan barang-barang;
b) Membereskan
warisan, dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar semua hutang
pewaris. Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, BHP juga wajib memberikan
pertanggungjawaban;
c) Memanggil
para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau panggilan resmi
lainnya.
Adapun ketentuan
dalam pasal 1036, 1037, 1038, 1039, dan 1041 KUHPerdata juga berlaku terhadap
pengurusan warisan-warisan yang tak terurus (diurus). Dalam jika setelah
lewatnya waktu 3 (tiga) tahun, terhitung mulai hari terbukanya warisan, tidak
seorang waris pun memajukan diri,maka perhitungan penutup harus dilakukan
kepada Negara, sedangkan Negara akan berkuasa sementara menguasai harta
peninggalannya. Berikut adalah ringkasan Prosedur Penyelesaian Harta Kekayaan
Tak Terurus (termasuk tidak diurus)
oleh BHP[8] :
Lebih lanjut berikut rincian teknis
pelaksanaan pengurusan yang dilakukan oleh BHP adalah[9] :
i.
Setelah BHP menerima laporan resmi dari Lurah/Camat setempat tentang adanya
orang yang meninggal tanpa ahli waris, atau adanya putusan pengadilan, atau
adanya penolakan warisan dari ahli waris, maka BHP segera memberitahukan kepada
masyarakat dengan iklan pengumuman di 2 surat kabar lokal dan nasional serta
Berita Negara RI ;
ii.
Setelah jangka waktu 14 hari sejak iklan pengumuman ternyata tidak ada
masyarakat atau pihak ketiga yang berkeberatan, maka BHP segera memberitahukan
hal itu kepada instansi-instansi pemerintah terkait yang ada hubungannya dengan
diri atau harta kekayaan orang tidak hadir yaitu Pengadilan Negeri, Kantor
Pertanahan, Kejaksaan Negeri, BPK, dan lain-lain.
iii.
Melakukan inventarisasi atas harta kekayaan orang tidak hadir dan membuat
perjanjian sewa menyewa dengan pemohon penetapan/yang berkepentingan.
iv.
Mewakili diri dan membela hak-hak orang yang tidak hadir itu baik di dalam
maupun diluar pengadilan ;
v.
Apabila kepentingan boedel menghendaki, Balai Harta Peninggalan dapat melakukan
penjualan atas harta kekayaan orang yang tidak hadir itu setelah terlebih
dahulu mendapat ijin dari Pengadilan Negeri setempat dan Menteri Hukum dan HAM
RI ;
vi.
Apabila dalam tenggang waktu 30 tahun orang yang dinyatakan tidak hadir tidak
muncul juga, maka hasil penjualan harta kekayaan itu diserahkan/disetor ke Kas
Negara, setelah terlebih dahulu diperoleh persetujuan dari Badan Pemeriksa
Keuangan.
Adapun BHP di Indonesia terdapat di 5
kota yakni Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makasar.
2.1.4
Pelunasan
Hutang Harta Waris Yang Tidak Diurus
Salah satu bagian dari pengurusan “harta waris yang tidak
diurus” adalah pelunasan hutang. Pelunasan hutang Kreditur pada Harta Warisan
Yang Tidak Diurus tersebut dapat diselesaikan sebagaimana mekanisme pasal 1061
KUHPerdata dan pasal 1128 KUHPerdata. Pasal 1061 mengatur bahwa Kreditur dapat
meminta dikuasakan oleh Hakim sebagai pengganti Ahli Waris yang menolak warisan
tersebut, sehingga Kreditur mendapatkan harta waris guna pelunasan hutangnya.
Hal ini menunjukkan adanya unsur
permohonan dikuasakan sebagai Ahli Waris. Sementara itu, pasal 1128
mengatur mengenai pengajuan tuntutan Kreditur.
Adapun baik terhadap permohonan maupun tuntutan Kreditur, yang berkewajiban
untuk menjadi wakil/penghadap atas Pewaris yang Harta Waris nya Tidak Diurus
tersebut adalah Balai Harta Peninggalan sebagai yang melakukan pengurusan atas
harta waris tersebut. Hal ini sebagaimana diatur pasal 1128 ayat (3) KUHPerdata
:
“Balai
harus menghadap di muka Hakim dalam
tuntutan hukum yang telah dimulai terhadap harta peninggalan, menjalankan atau
meneruskan segala hak yang dimiliki si meninggal, dan memberikan perhitungan tentang pengurusannya, kepada siapa yang berhak.”
Dalam hal ternyata
hutang
ternyata lebih besar daripada aset (pasiva lebih besar daripada aktiva),
maka BHP tidak bertanggungjawab atas kekurangan pelunasan hutang tersebut. Hal
ini sebagaimana diatur pada pasal 1127 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“Balai
Harta Peninggalan demi hukum
ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus, tak peduli apakah harta peninggalan mencukupi maupun tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang si meninggal…”
Hal ini merupakan bentuk pelepasan
tanggungjawab BHP sebagai pengampu atas harta waris tidak diurus tersebut.
Lantas bagaimana nasib piutang Kreditur yang kurang bayar tersebut? KUHPerdata
tidak memberikan perlindungan terhadap kekurangan pelunasan piutang Kreditur
dalam hal harta tidak terurus. Pelunasan terhadap Kreditur dalam situasi
demikian adalah sejumlah apa yang dimiliki Pewaris saja. BHP sebagai tidak
berkewajiban untuk membayarkan utang Pewaris yang kurang terhadap Kreditur.
2.2
Pengurusan
Pelunasan Hutang “Harta Waris Yang Tidak Diurus” di Belanda
2.2.1
Hukum
Waris di Belanda
Belanda merupakan
negara dengan sistem hukum civil law,
yang mana membedakan pembidangan hukum atas hukum privat dan publik. Hukum
privat di Belanda diatur, salah satunya, pada Dutch Civil Code (DCC) yang mana
terdiri dari 10 Buku. Salah satu yang diatur dalam DCC adalah mengenai
kewarisan (succession/inheritance).
Di Belanda, tidak terdapat pluralisme hukum waris sebagaimana di Indonesia.
Hal Waris di
Belanda menjadi perhatian yang cukup serius, mengingat hukum orang dan
keluarganya yang unik, khususnya mengenai pengaturan lembaga perkawinan. Hukum
Waris di Belanda diatur dalam Book 4 Dutch Civil Code (DCC) tentang Law of Succession/inheritance (Hukum
Waris). Buku 4 tersebut berlaku efektif di Belanda sejak 1 Januri 2003 yang
mana terdiri dari 233 Arts. Adapun buku 4 terdiri atas 6 Title yakni : Title 4.1 General Provisions (Articles 1-8) Ketentuan Umum ; Title 4.2 Intestate succession (Articles 9-12) suksesi wasiat ; Title 4.3 Intestate succession
in the relation between the spouse and the children of the deceased (Articles 13-41) suksesi wasiat dalam hubungan antara
pasangan dan anak-anak dari almarhum ; Title
4.4 The last will of the deceased (Articles
42-114) wasiat terakhir dari almarhum ; Title 4.5 Last wills of various
types (Articles 115-181) wasiat terakhir dari berbagai jenis; Title 4.6 Consequences of a succession (Articles 182-233) Konsekuensi suksesi. Adapun di
Belanda, surat wasiat merupakan hal yang sangat penting bagi pembagian warisan.
[10]Namun
demikian tetap saja dimungkinkan kondisi tidak adanya wasiat.
Pengertian hukum
waris di Belanda adalah lebih kurang sama dengan pengertian hukum waris di
Indonesia, yakni hukum harta kekayaan
dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati (si Pewaris) dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Pun, subjek dalam hukum waris
adalah Pewaris, Ahli Waris, dan Pihak Ketiga Yang Tersangkut dalam Warisan.
Adapun Ahli Waris disini termasuk unmarried
partner[11]. terhadap
warisan tersebut, Ahli Waris memiliki hak untuk menentukan sikap untuk (1)
Menerima secara penuh, tanpa syarat ( zuivere aanvaarding ), (2) menerima dengan reverse/syarat
( beneficiaire aanvaarding ),ataupun (3) menolak warisan.
Selanjutnya, obyek Hukum Waris adalah harta kekayaan yang dipindahtangankan
dari Pewaris kepada Ahli Waris. Harta Kekayaan tersebut berupa (1) aktiva dan
(2) pasiva Adapun harta kekayaan tersebut akan berpindah kepada Ahli Waris,
seketika Pewaris meninggal dunia. Hal ini diistilahkan dengan “warisan
terbuka”.
2.2.2
Penolakan
Harta Waris, Harta Waris Yang Tidak Diurus, dan Pengurusan Harta Waris Yang
Tidak Diurus
Seketika seseorang meninggal dunia, maka
Ahli Warisnya demi hukum memiliki hak dan kewajiban Pewaris, termasuk juga
menjadi debitur atau pun kreditur atas harta waris (pasiva dan aktiva). Hal ini
sebagaimana diatur Article 4:182 DCC:
“ Acquisition of rights and debts of
the deceased
1.
When a person dies, his heirs acquire by
operation of law his rights as far as these can be passed over to someone else
and they will obtain as well, in the same capacity as the deceased, all what
the deceased possessed or kept. The first sentence does not apply when the
estate of the deceased is apportioned (divided) pursuant to Article 4:13; in
that case his spouse obtain by operation of law, in the same capacity as the
deceased, all what the deceased possessed or kept.
2.
By operation of law the heirs turn into
the debtors of the deceased’s obligations and other legal duties that have not
ceased to exist as a result of the deceased’s death. Where a performance of an
obligation is divisible, each of the heirs is responsible (liable) for it in
proportion to his share in the deceased's estate, unless the heirs are joint
and several responsible (liable)
Dalam
banyak kasus di Belanda, tidak segera jelas siapa yang akan mewarisi (Ahli
Waris) dari orang yang meninggal (Pewaris). Kadang-kadang ditetapkan bahwa
tidak ada wasiat dan bahwa tidak ada
individu yang dapat mewarisi dengan hak mewarisi tanpa wasiat. Berkaitan
dengan hal ini, Pasal 4:189 BW (DCC) menjelaskan bahwa setelah kematian
seseorang yang tidak memiliki Ahli Waris, aset-aset harta peninggalan orang itu
akan jatuh ke Negara sebagai hak umum. Begitupun halnya bila seluruh Ahli Waris
menolak harta waris (Harta Waris Tidak Diurus). maka harta waris menjadi hak
umum negara.
Penolakan Ahli Waris terhadap harta waris
diatur pada Title 4.6 Title 4.6 Consequences of a succession (Art. 182-233), khususnya Section 4.6.2 Acceptance and rejection of an
inheritance or bequest (Art.190-201). Adapun Art. 4:190 Choice whether or not to accept an inheritance mengatur sebagai
berikut :
1.
An heir may accept or reject an
inheritance. An acceptance may be done unconditionally or under the privilege
that first an inventory of the estate of the deceased has to be made in order
to assess whether the value of the assets of the estate exceed the debts of the
estate.
2.
The deceased cannot impose restrains on
the heirs’ right to choose. Prior to the devolvement of the deceased’s estate
an heir cannot decide if he accepts or rejects the inheritance.
3.
A choice as meant in the previous
paragraphs can only be made unconditionally and without a time determination.
It cannot concern a part of a share in the deceased's estate. However, when an
heir, who already has accepted his inheritance, has acquired something out of
the estate on the fulfilment of a condition added by the deceased to his
appointment of heirs, then this may still be accepted or rejected separately by
that heir.
4. Once a
choice has been made, it is irrevocable and it has retroactive effect up to the
moment on which the deceased’s estate devolved. An acceptance or rejection
cannot be nullified on the basis of a mistake (‘dwaling’), nor by one or more
creditors on the basis of fraudulent conveyance (‘schuldeisersbenadeling’).”
Pilihan menolak
harta warisan merupakan bentuk pelepasan hak waris Ahli Waris. Adanya penolakan
menyebabkan harta waris menjadi tidak bertuan/ tidak memiliki Pemilik. Hal
penolakan demikian juga memunculkan hak
umum negara.
Adapun
cara penolakan harta waris di Belanda lebih kurang sama dengan yang dilakukan
di Indonesia, yakni diatur sebagai
berikut :
“Article 4:191 Registration of the
choice made
1.
The choice referred to in the previous
Article is made by a statement indicating if the inheritance is accepted or
rejected at the Registry of the court in whose territory the deceased had his
last residence. This statement is registered in the Estate Register.
2. As long
as the deceased’s estate has not been accepted by all heirs, the Subdistrict
Court may order measures it considers necessary for the preservation of the
assets of the estate.”
Pada intinya, pilihan penerimaan ataupun penolakan harus didaftarkan pada
Pengadilan yang wilayah hukumnya berada pada tempat tinggal terakhir Pewaris.
Mengenai
pengurus “harta waris yang tidak diurus” tersebut pasca penolakan seluruh Ahli
Waris, tidak diatur secara tegas dan jelas dalam DCC. Namun demikian, secara
implisit dapat diketahui bahwa guna mengurus “harta waris yang tidak diurus”
maka diangkatlah Kurator/Likuidator. Kurator diangkat berdasarkan permintaan
pihak yang berkepentingan atau atas usul Kejaksaan, oleh Pengadilan yang ada
dalam wilayah rumah kematian (Pewaris). Pengadilan dapat bebas menentukan siapa
yang akan menjadi Kurator, apabila tidak diwasiatkan. Dalam hal “harta waris
yang tidak diurus” artinya tidak ada wasiat dan seluruh Ahli Waris menolak maka
Kurator ditentukan secara bebas oleh Pengadilan.
Tugas
Kurator adalah mengurus, dan bila perlu dengan syarat-syarat tertentu, juga
menguasai harta waris sepenuhnya.[12]
Lebih rincinya, maka Kurator bertugas melakukan penyegelan terhadap harta
peningalan, dan meminta seorang notaris untuk membuat inventaris. Kurator
berkewajiban untuk (1) mencari Ahli Waris melalui panggilan dalam surat kabar
atau dengan alat-alat lain yang sesuai, (2) mewakili di depan pengadilan,
terhadap tuntutan hukum yang diajukan mengenai harta peninggalan, (3)
menjalankan segala hak yang termasuk harta peninggalan dan meneruskannya, (4)
jika perlu maka Kurator dapat mengajukan gugatan dan memberikan jawaban atas
gugatan yang diajukan terhadap harta peninggalan sesudah Pewaris mati, (5)
menyetor ke kas konsinyasi uang tunai yang ada dalam harta peningggalan dan juga hasil penjualan
benda bergerak dan tidak bergerak, agar dapat disimpan untuk yang
berkepentingan. Intinya, tugas Kurator adalah “apa yang dalam keadaan lain,
biasa dilakukan oeh Ahli Waris atau Ahli Waris bersama-sama dengan pelaksana
wasiat”, seperti mengurus dan menyelesaikan, membayar hutang dan membayarkan
hibah wasiat, dan menagih piutang.
Dalam
hal penunjukan Kurator/Likuidator tersebut, maka Pengadilan Negeri juga dapat
menunjuk salah satu anggotanya sebagai Hakim Pengawas sebagaimana diatur
Art.4:208 berikut :
“Article 4:208 Appointment of a
supervisory judge
1.
At the occasion of the appointment of a
liquidator or by way of in a later court order the District Court may appoint
one of its members as supervisory judge.
2. If
a supervisory judge has been appointed, then:
a.
the duties and powers that, according to
the present Section, are assigned to the Subdistrict Court shall be exercised
by the supervisory judge, unless the law provides otherwise;
b. the
documents referred to in Article 4:211 paragraph 3, 4:214 paragraph 5 and 4:218
paragraph 1 shall, to the extent that there is no estate notary, be lodged with
the Registry of the District Court”
2.2.3
Pelunasan
Hutang Harta Waris Yang Tidak Diurus
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, pengangkatan Kurator dapat dilakukan atas
permintan pihak yang berkepentingan. Adapun pihak berkepentingan yang
diutamakan adalah Kreditur dan legataris. Kreditur dalam hal ini membawa
kepentingan pelunasan hutangnya.
Pada
“harta waris yang tidak diurus”, pelunasan hutang Kreditur menjadi
tanggungjawab Kurator/Likuidator, yakni membayar hutang Pewaris. Adapun
tuntutan pelunasan hutang Kreditur tersebut dilakukan secara resmi pada lembaga
pengadilan.[13]
Hal ini sebagaimana diatur pada Section 4.6.3, Liquidation (winding up) of the estate of the deceased (202-226). Adapun Art. 4:205 mengatur mengenai
Liquidation (winding up) in the interest of the creditor of an heir sebagai
berikut :
“When
an heir has rejected his inheritance and this has obviously harmed the
possibilities of recourse for one of his creditors, the District Court may,
upon the request of this creditor, order that the deceased’s estate shall be
liquidated (wind up) also in the interest of the creditors of the person who
has rejected the inheritance and it may, if necessary, appoint a liquidator to
this end”
Ketika ahli waris menolak warisannya dan ini jelas
merugikan kemungkinan jalan untuk salah satu krediturnya, maka Pengadilan
Negeri , atas permintaan Kreditur, memerintahkan agar itu harta kekayaan
almarhum akan dilikuidasi, juga bunga dari para kreditur dari orang yang telah
menolak warisan dan mungkin, jika perlu , menunjuk likuidator untuk tujuan ini
.
Selanjutnya,
mengenai pelunasan hutang tersebut oleh Kurator, maka jumlah uang yang
dibayarkan Kurator/Likuidator kepada Kreditur adalah sejumlah perhitungan aktiva
dan pasiva Pewaris saja. Dalam hal ini maka setelah nantinya diinventaris,
kemudian muncul tuntutan pelunasan hutang maka dilakukanlah realisasi aset
Pewaris sebagaimana diatur pada Art.4:215 berikut:
“Article 4:215 Realisation of the
assets of the deceased’s estate
1.
The liquidator shall sell off and realise
the assets of the deceased’s estate as far as this is necessary to comply with
the debts of the estate. Assets that are claimed by a creditor of the estate,
will be sold off last as much as possible.
2.
The liquidator shall consult the heirs as
much as possible on the choice of the assets that are to be sold and of the way
how to realize them. Where the intended realisation of the assets meets with
objections of an heir or of a creditor who claims one of these assets, the
liquidator shall give him the opportunity to call in the decision of the
Subdistrict Court
3.
What in the previous paragraph is laid
down with respect to heirs shall apply also with regard to persons to whom the
deceased has left a usufruct of his estate or of a share in it.
4. Article
3:68 of the Civil Code applies accordingly to a liquidator.
5.
With respect to capital sums insurance
policies taken out by the deceased without an irrevocable appointment of a
third party as being the beneficiary, Article 22a of the Insolvency Act shall
apply accordingly, on the understanding that the next terms are to be
understood in the following way:
a.
the curator: the liquidator;
b.
the supervisory judge: the Subdistrict
Court;
c.
the policyholder: the heirs or, if the
deceased’s estate has been apportioned (divided) in accordance with Section
4.3.1, the spouse of the deceased.
Setelah nantinya besaran aktiva dan pasiva dihitung
maka dilakukan suatu skema distribusi bagi Kreditur sebagaimana diatur
Art.4:218 berikut :
“Article 4:218 Rendering account and
scheme for distribution
1.
Within six months after the expiration of
the time period set for presenting debt-claims, a liquidator must deposit both,
a document in which he renders account and a scheme for distribution, at the
office of the estate notary or, where such a notary is absent, at the Registry
of the District Court so that everyone is able to inspect these files there.
The Subdistrict Court may extend this period.
2.
The liquidator publicly announces that he
has deposited the before mentioned documents for inspection in the same way as
the possibility for presenting debt-claims has to be announced; by letter the
heirs, the legatees and all creditors who have presented a debt-claim have to
be notified individually of this.
3.
Within one month after this public
announcement has been made, each interested person may oppose against the
rendered account or the scheme of distribution at the Subdistrict Court or, if
a supervisory judge has been appointed, at the District Court.
4.
Obligations to transfer an asset of the
deceased’s estate or to establish a limited property right on such an asset are
converted into a money debt as far as a shortage makes this necessary. Other obligations
to carry out a performance other than the payment of a sum of money and
obligations under a condition precedent shall only be admitted to the scheme of
distribution upon the request of the involved creditor; in that case these
obligations are also converted into a money debt. The debt-claim of a forced
heir will not be admitted to the scheme of distribution if it is not yet due
and demandable pursuant to Article 4:81 paragraph 2 or because of a condition
as meant in Article 4:82 or a testamentary disposition as meant in Article
4:83.
5.
Other than that, the provisions of the
Insolvency Act shall apply as much as possible for the purpose of calculating
everybody’s debt-claim, the drawing up of a scheme of distribution and the
right to oppose against these operations.”
Bila
ternyata, pasiva lebih besar dari aktiva, dan terjadi kekurangan pelunasan
hutang seperti hutang tidak sepenuhnya
lunas atau bahkan jutsru tidak dapat dibayarkan sama sekali, maka
Kurator/Likudator tidak berkewajiban untuk memenuhi atau membantu melunasi.
Sama halnya dengan di Indonesia, maka nasib piutang Kreditur yang kurang bayar
tersebut tidak dilindungi dalam hal “harta waris tidak terurus”.
2.3 Persamaan dan Perbedaan
Pelunasan Hutang Harta Warisan Yang Tidak Diurus (HWYTD) Akibat Penolakan Harta
Waris oleh Seluruh Ahli Waris di Indonesia dan di Belanda
2.3.1
Persamaan
-
Indonesia dan Belanda
sama-sama negara dengan sistem hukum civil law yang mana membedakan antara
bidang hukum publik dan privat. Adapun hukum waris sama-sama dimasukan dalam
kategori hukum privat;
-
Ada mekanisme penolakan
harta waris yang menyebabkan adanya kondisi harta waris tidak bertuan (tidak
terurus/diurus);
-
Dalam hal pelunasan
hutang Kreditur atas “harta waris tidak diurus”, maka baik Indonesia maupun Belanda
sama-sama mengatur mengenai mekanisme penyelesaian melalui pengurusan oleh hak
umum Negara.
-
Tidak terdapat jaminan
maupun perlindungan bagi Kreditur terkait pelunasan penuh hutang Pewaris dalam
hal “Harta Waris Tidak Diurus”.
2.3.2
Perbedaan
Indonesia
:
1. Hukum
Waris diatur secara digabung dengan Hukum Kebendaan sebagaimana terdapat pada
Buku II KUHPerdata tentang Benda
2. Hal
mengenai “Harta Waris Tidak Diurus”
(termasuk dalam kategori “Harta Waris Tak Terurus)
diatur secara tegas pada Bab ke-18 tentang Harta Peninggalan Yang Tak Terurus;
3. Pengurusan “Harta Waris Tidak Diurus” dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan
berkoordinasi dan bekerjsama dalam beberapa hal dengan Kejaksaaan Negeri dan
Pengadilan Nigeria
4. BHP
berkedudukan dibawah Kementerian Hukum dan HAM
5. Pengaturan
mengenai pelunasan hutang Kreditur “Harta Waris Tidak Diurus” sangat sedikit dan tidak rinci.
Belanda:
1. Hukum
Waris diatur secara terpisah di dalam Buku 4 Dutch Civil Code yakni dengan
titel “Law of Succession”
2. Hal
mengenai “Harta Waris Tidak Diurus”
(termasuk dalam kategori “Harta Waris Tak Terurus)
tidak diatur secara tegas dan jelas;
3. Pengurusan “Harta Waris Tidak Diurus” dilakukan oleh Kurator (disebut di dalam DCC sebagai
Likuidator), dengan berkoordinasi dan bekerjasama dalam beberapa hal dengan
Hakim Pengawas dan Kejaksaaan Negeri.
4. Kurator/Likuidator
ditunjuk oleh Pengadilan dan dapat merupakan
5. Pengaturan
mengenai pelunasan hutang Kreditur cukup rinci, meskipun tidak begitu jelas
dijabarkan mengenai pelunasan khusu pada “Harta Waris Tidak Diurus”.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Indonesia dan Belanda merupakan negara
yang sama-sama memiliki sistem hukum civil
law, yang mana membedakan bidang hukum publik dan privat. Adapun hukum
waris sama-sama dimasukan dalam kategori hukum privat.
Pengaturan hukum waris di Indonesia
terdapat pada Buku II KUHPerdata tentang kebendaan. Sementara di Belanda hal
waris tersebut diatur pada Buku 4 Dutch Code Civil. Adapun bila dilihat secara
keseluruhan, pengaturan hukum waris di Belanda lebih rinci dan jelas daripada
di Indonesia. Khusus mengenai Pengurusan Pelunasana “Harta Waris yang Tidak
Diurus” akibat Penolakan Harta Waris oleh Seluruh Ahli Waris, maka Indonesia
dan Belanda sama-sama memberikan mekanismenya. Mekanismenya lebih kurang adalah
sama, namun badan/lembaga yang menjalankannya berbeda. Di Indonesia, hal
pengurusan tersebut dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) yang mana
berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sementara di Belanda dilakukan oleh
Kurator/Likuidator yang berada dibawah perintah Pengadilan. Di Indonesia BHP
tersebut bekerjasama dan berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri dan Kejaksaan
Negeri. Adapun di Belanda,
Kurator/Likuidator tersebut bekerjasama juga dengan Kejaksaan Negeri dan dalam
hal likuidasi maka Kurator/Likuidator tersebut dapat diawasi oleh Hakim
Pengawas. Adapun terhadap pelunasan hutang yang kurang pada Harta Waris Tidak
Diurus tersebut, maka baik BHP atau Kurator/Likuidator tidak dapat dituntut
untuk memenuhinya dan tidak berkewajiban untuk melunasi/memenuhi hutang
tersebut bila memang kondisi pasiva Pewaris kurang daripada aktivanya.Hal ini
merupakan suatu kekosongan hukum yang sangat merugikan Kreditur.
3.2
Saran
Mengingat
pentingnya pelunasan hutang Kreditur harta waris yang tidak diurus akibat
penolakan oleh seluruh Ahli Waris, maka berikut saran saya:
-
Pemerintah Indonesia
segera melakukan unifikasi hukum waris. Dalam hal unifikasi nantinya pengaturan
waris sudah seharusnya dipisahkan dari ketentuan Buku II KUHPerdata. Hukum
Waris di Indonesia pun harus lebih dirinci lagi.
-
Baik Indonesia maupun
Belanda, segera melengkapi dan mengisi kekosongan hukum mengenai pengaturan
pelunasan hutang Kreditur harta waris yang tidak diurus akibat penolakan oleh
seluruh Ahli Waris.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Harta Peninggalan
Surabaya. Balai Harta Peninggalan Fungsi dan Tugas Pokoknya. Surabaya : BHP
Surabaya, 2013.
BHP Jakarta. “SOP Pengurusan
Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus”http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1. Diakses pada 24 Mei 2014.
BHP Jakarta. “Pengurusan
Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus” http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1. Diakses pada 24 Mei 2014.
Cahyono, Akhmad Budi dan
Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum
Perdata. Jakarta : Gita Jaya, 2008.
Oemarsalim. Dasar – dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara,1987.
Sjarif, Surini Ahlan dan
Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata
Barat, Pewarisan Menurut Undang-Undang. Jakarta: Kencana,2006.
Subekti dan
Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, cet.29. Jakarta : Pradnya Paramita, 1999.
Suparman,Erman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif
Islam, Adar dan BW, cet.2. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Wilbert D.Kolkman, et.al. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga,
dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Bali: Pustaka Larasan, 2012.
JURNAL
Ratno Lukito, The Enigma of National Law in Indonesia :
The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral Inheritance, Journal JLP
BHAM, http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/52/lukito-art.pdf, 2006,
hal.1. Diakses pada 25 Mei 2014.
Reinhartz.B.E. Recent
Changes in the Law of Succession in the Netherlands: On the Road towards a European
Law of Succession?,
Electronic Journal of Comparative Law, Vol 11.1 (May 2007) www.ejcl.org. Diakses 25 Mei 2014.
IBA Individual Tax and
Private Client Committee, “The Netherlands International Estate Plannng Guiede”
http://www.ibanet.org/Document/Default.aspx?
DocumentUid=26AA974D-601B-4712-B904-EB904C549AC2
hal.5. Diakses pada 25 Mei 2014.
[1] Ratno
Lukito, The Enigma of National Law in Indonesia
: The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral Inheritance, Journal JLP
BHAM, http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/52/lukito-art.pdf, 2006,
hal.1.
[6] BHP
Jakarta, “Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus” http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1,
diakses pada 1 Juni 2014.
[8] BHP
Jakarta, “SOP Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Teurus”http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=184&Itemid=142&showall=1,
diakses pada 1 Juni 2014.
[10]
IBA Individual Tax and Private Client Committee, “The Netherlands International
Estate Plannng Guiede” http://www.ibanet.org/Document/
Default.aspx?DocumentUid=26AA974D-601B-4712-B904-EB904C549AC2 hal.5,
diakses pada 25 Mei 2014.
[11] B.E. Reinhartz, Recent Changes in the Law of
Succession in the Netherlands: On the Road towards a European Law of
Succession?, Electronic
Journal of Comparative Law, Vol 11.1 (May 2007) www.ejcl.org, hal.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar