HAK GUGAT
25 November 2013
Dalam
penyelesaian sengketa lingkungan, Undang-Undang memberikan 2 alternatif, yaitu
penyelesaian sengketa di dalam dan diluar pengadilan (Pasal 84 UU 32/2009).
Penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dapat berupa gugatan perdata, gugatan
PTUN, dan tuntutan pidana. Setiap orang
dapat mengajukan gugatan/tuntutan terhadap sengketa lingkungan. Namun, terdapat
beberapa ketentuan dan kriteria yang harus dipenuhi. Undnag-Undang No. 32 Tahun
2009 sendiri memberikan hak gugat kepada 5 golongan, yakni individual,
perwakilan kelompok, organisasi, pemerintah dan citizen law suit.
Dalam
kasus Transegenik yang terjadi di Sulawesi Selatan, pihak penggugat merupakan
Organisasi yang berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat/ Non government Organization yang menggugat Menteri Pertanian RI
atas Surat Keputusan No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara
Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama
NuCOTN 35B (BOLLGARD) tertanggal 7 Februari 2001.
Ketentuan
mengenai hak gugat LSM diatur dalam Pasal 92 UU 32/2009, yang mana UU tersebut
memberikan hak gugat kepada LSM dalam rangka tanggungjawab pelestarian
lingkungan. Namun UU sendiri memberikan batasan terhadap hak gugat LSM dengan
tidak diperkenankannya mengajukan gugatan ganti kerugian. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya LSM tidak secara langsung mengalami kerugian akibat dikeluarkan
suatu SK. Disini LSM mengajukan gugatan karena ada atau akan adanya suatu
kerugian universal yang timbul akibat adanya suatu SK. Dan dalam kasus ini,
para penggugat hanya menuntut dilakukannya pembatalan SK yang telah dikeluarkan
oleh Menteri Pertanian pada Tahun 2001.
Terdapat
ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh LSM untuk mengajukan gugatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (3) UU No. 32/2009 yakni :
1.
berbentuk badan hukum;
2.
menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi
tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3.
telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Dalam kasus ini, para
penggugat telah memenuhi kriteria tersebut sebagaimana dikemukakan oleh penggugat
dalam dalil gugatan mengenai kedudukan dan kepentingan hukum para penggugat
dalam kaitan model gugatan “NGO’s Legal
Standing”. Sehingga dalam kasus ini, para penggugat memliki hak gugat atas SK
yang diterbitkan oleh Menteri Pertanian RI.
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DAN KAITANNYA DENGAN ENVIRONMENTAL RISK ASSESMENT
Precautionary principle merupakan salah satu prinsip yang digunakan
dalam sustainable development.
Precautionary Principle ini pada dasarnya merupakan sebuah prinsip yang tidak
jauh berbeda dengan prinsip pencegahan. Karena precautionay principle menegaskan pentingnya untuk tetap bersikap
hati-hati dalam pengambialn setiap keputusan terkait dengan lingkungan hidup,
agar tidak menimbulkan dampak besar bagi kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan precautionary principle ini tercermin melalui environmental risk assesment. Environmental
Risk Assesment (ERA) menyatakan pentingnya untuk melakukan kajian resiko
lingkungan terkait dengan makhluk hidup transgenik. Hal ini dikarenakan
banyaknya dampak buruk yang timbul dalam lingkungan karena pengembangan makhluk
hidup transgenik. Environmental Risk
Assesment diatur dalam Protokol Cartagena yang disusun dengan tujuan untuk
mengatur pergerakan lintas batas, penanganan dan pemanfaatan Organisme Hasil
Modifikasi Genetik (OHMG) sebagai produk dari bioteknologi modern.
Dalam Protokol Cartagena, Kajian
Resiko lingkungan merupakan penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan
untuk mengambil keputusan masuknya OHMG yang diintroduksi ke lingkungan.
Pentingnya dilakukan kajian resiko lingkungan berkaitan erat dengan pencegahan
yang kemungkinan akan muncul akibat masuknya OHMG. Pencegahan ini merupakan
suatu upaya untuk melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan agar peroduk
transgenik tersebut benar-benar aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Dalam putusan kasus kapas
transgenik yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah diakui adanya environmental
risk assesment oleh pihak pengugat maupun pihak tergugat. Hal ini terlihat
dalam dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam poin mengenai “tergugat
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain (Pasal 53 ayat (2) huruf b)
atau tindakan terugat mengandung unsur penyalahgunaan wewenang”. Namun
terjadi perbedaan penafsiran antara penggugat dan tergugat mengenai precautionary principle dan kaitannya
dengan environmental risk assesment.
Yang mana pihak tergugat merasa bahwa mereka telah mengikuti environmental risk assesment dengan
melakukan uji laboratorium di BALITBIO Bogor, sehingga pihak tergugat merasa
tidak wajib amdal karena telah memiliki hasil uji laboratorium yang telah
menunjukkan bahwa tanaman kapas tersebut aman transgenik. Sementara pihak
penggugat menyatakan setiap kegiatan dengan dampak besar merupakan kegiatan
yang wajib amdal. Dan kegiatan pelepasan kapas transgenik merupakan kegiatan
dengan dampak besar sebagaimana diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f.
Pada awal diratifikasinya
Protocol Cartagena, ERA hanya untuk menganalisis resiko kesehatan dan hal
tersebut tidak menyatakan bahwwa kegiatan yang telah memiliki ERA meniadakan
AMDAL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar