Kamis, 02 Mei 2019

Hak Gugat: Sengketa Lingkungan Hidup


HAK GUGAT

25 November 2013
                Dalam penyelesaian sengketa lingkungan, Undang-Undang memberikan 2 alternatif, yaitu penyelesaian sengketa di dalam dan diluar pengadilan (Pasal 84 UU 32/2009). Penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dapat berupa gugatan perdata, gugatan PTUN, dan  tuntutan pidana. Setiap orang dapat mengajukan gugatan/tuntutan terhadap sengketa lingkungan. Namun, terdapat beberapa ketentuan dan kriteria yang harus dipenuhi. Undnag-Undang No. 32 Tahun 2009 sendiri memberikan hak gugat kepada 5 golongan, yakni individual, perwakilan kelompok, organisasi, pemerintah dan citizen law suit.
                Dalam kasus Transegenik yang terjadi di Sulawesi Selatan, pihak penggugat merupakan Organisasi yang berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat/ Non government Organization yang menggugat Menteri Pertanian RI atas Surat Keputusan No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama NuCOTN 35B (BOLLGARD) tertanggal 7 Februari 2001.
                Ketentuan mengenai hak gugat LSM diatur dalam Pasal 92 UU 32/2009, yang mana UU tersebut memberikan hak gugat kepada LSM dalam rangka tanggungjawab pelestarian lingkungan. Namun UU sendiri memberikan batasan terhadap hak gugat LSM dengan tidak diperkenankannya mengajukan gugatan ganti kerugian. Hal ini dikarenakan pada dasarnya LSM tidak secara langsung mengalami kerugian akibat dikeluarkan suatu SK. Disini LSM mengajukan gugatan karena ada atau akan adanya suatu kerugian universal yang timbul akibat adanya suatu SK. Dan dalam kasus ini, para penggugat hanya menuntut dilakukannya pembatalan SK yang telah dikeluarkan oleh Menteri Pertanian pada Tahun 2001.
                Terdapat ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh LSM untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (3) UU No. 32/2009 yakni :
1.       berbentuk badan hukum;
2.       menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3.       telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

            Dalam kasus ini, para penggugat telah memenuhi kriteria tersebut sebagaimana dikemukakan oleh penggugat dalam dalil gugatan mengenai kedudukan dan kepentingan hukum para penggugat dalam kaitan model gugatan  “NGO’s Legal Standing”. Sehingga dalam kasus ini, para penggugat memliki hak gugat atas SK yang diterbitkan oleh Menteri Pertanian RI.

PRECAUTIONARY PRINCIPLE DAN KAITANNYA DENGAN ENVIRONMENTAL RISK ASSESMENT
                Precautionary principle merupakan salah satu prinsip yang digunakan dalam sustainable development. Precautionary Principle ini pada dasarnya merupakan sebuah prinsip yang tidak jauh berbeda dengan prinsip pencegahan. Karena precautionay principle menegaskan pentingnya untuk tetap bersikap hati-hati dalam pengambialn setiap keputusan terkait dengan lingkungan hidup, agar tidak menimbulkan dampak besar bagi kehidupan masyarakat.
                Pelaksanaan precautionary principle ini tercermin melalui environmental risk assesment. Environmental Risk Assesment (ERA) menyatakan pentingnya untuk melakukan kajian resiko lingkungan terkait dengan makhluk hidup transgenik. Hal ini dikarenakan banyaknya dampak buruk yang timbul dalam lingkungan karena pengembangan makhluk hidup transgenik. Environmental Risk Assesment diatur dalam Protokol Cartagena yang disusun dengan tujuan untuk mengatur pergerakan lintas batas, penanganan dan pemanfaatan Organisme Hasil Modifikasi Genetik (OHMG) sebagai produk dari bioteknologi modern.
                Dalam Protokol Cartagena, Kajian Resiko lingkungan merupakan penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan untuk mengambil keputusan masuknya OHMG yang diintroduksi ke lingkungan. Pentingnya dilakukan kajian resiko lingkungan berkaitan erat dengan pencegahan yang kemungkinan akan muncul akibat masuknya OHMG. Pencegahan ini merupakan suatu upaya untuk melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan agar peroduk transgenik tersebut benar-benar aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
                Dalam putusan kasus kapas transgenik yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah diakui adanya environmental risk assesment oleh pihak pengugat maupun pihak tergugat. Hal ini terlihat dalam dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam poin mengenai “tergugat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain (Pasal 53 ayat (2) huruf b) atau tindakan terugat mengandung unsur penyalahgunaan wewenang”. Namun terjadi perbedaan penafsiran antara penggugat dan tergugat mengenai precautionary principle dan kaitannya dengan environmental risk assesment. Yang mana pihak tergugat merasa bahwa mereka telah mengikuti environmental risk assesment dengan melakukan uji laboratorium di BALITBIO Bogor, sehingga pihak tergugat merasa tidak wajib amdal karena telah memiliki hasil uji laboratorium yang telah menunjukkan bahwa tanaman kapas tersebut aman transgenik. Sementara pihak penggugat menyatakan setiap kegiatan dengan dampak besar merupakan kegiatan yang wajib amdal. Dan kegiatan pelepasan kapas transgenik merupakan kegiatan dengan dampak besar sebagaimana diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f.
                Pada awal diratifikasinya Protocol Cartagena, ERA hanya untuk menganalisis resiko kesehatan dan hal tersebut tidak menyatakan bahwwa kegiatan yang telah memiliki ERA meniadakan AMDAL.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar