Kamis, 02 Mei 2019

Catatan Tradisi Hukum: Sosialis dan Religius


Tradisi Hukum Sosialis dan Religius

26 Maret 2014
1.      Tradisi Hukum Sosialis
Tradisi hukum sosialis merupakan tradisi hukum yang paling muda, yakni lahir sejak Revolusi Bolshevik di Rusia pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1917.[1] Adanya New Economic Policy (1921) di Rusia merupakan cikal diproklamirkan berlakunya sistem hukum Sosialis di Rusia.[2] Selanjtunya, dalam terminologi, konsep dan struktur the Soviet codes and statutes, seperti czarist law sebelum 1917 dapat diketahui terdapat keterkaitan antara Negara sosialis-komunis tersebut dengan sistem hukum Romano Germanio/Eropa Kontinetal (civil law).Pada dasarnya  tradisi hukum sosialis memanglah tradisi hukum Eropa Kontinental dan hukum adat di Negara-negara tertentu, yang kemudian dipengaruhi oleh ideologi komunis sehingga terciptalah suatu tradisi hukum tersendiri, dengan sasaran utama adalah menghilangkan sifat borjuis dalam suatu sistem hukum, yakni dengan menghilangkan ketidakadilan ekonomi dan sosial dalam hukum. Adanya Revolusi Bolshevik Rusia maka sistem hukum Rusia berkembang dengan ciri-ciri yang sama dan menyimpang dari sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut dulunya. Apabila sistem Hukum Sosialis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental maupun dari Anglo Saxon, maka sistem hukum sosialis jelas masih sangat muda, belum berkembang, dan belum terorganisasi. Tradisi hukum sosialis ini popularitasnya dan daya berlakunya semakin surut seiring dengan semakin surutnya pengaruh ideologi komunis di dunia di Negara-negara yang menganut sistem komunis tersebut.[3]
Keluarga hukum Sosialis mendasarkan sistem hukumnya pada ajaran Komunisme yang dijiwai oleh ajaran Marxisme-Leninisme sebagaimana dianut oleh para Sarjana Hukum di Uni Soviet yang sekarang sudah terpecah dalam beberapa Negara. Yang termasuk dalam keluarga hukum ini adalah Negara-negara berhaluan komuis atau sosialis seperti Rusia, Negara pecahan Uni Soviet, Kuba, Cina/RRC, Korea Utara dan Vietnam Utara dulu.[4]
Keluarga hukum Sosialis dikembangkan sejak tahun 1917 saat terjadinya Revolusi Oktober yang mengakhiri pemerintahan Kerajaan Rusia. Selanjutnya berkembang dan menyebar ke Negara-negara lain yang menganut sistem politik ekonomi yang sama yaitu yang disebut Negara demokrasi rakyat baik di Eropa maupun di Asia. Hanya saja Negara-negara sosialis di Eropa lebih banyak memperlihatkan corak hukum Romawi-Jerman seperti, norma-norma dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur secara umum tingkah laku manusia dalam masyarakat, pembagian-pembagian hukum, istilah-istilah hukum dan sebagainya. Negara-negara Sosialis di Asia memperlihatkan corak hukum yang berlainan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[5]
Hukum di Negara-negara Sosialis terutama dimaksudkan untuk membangun suatu tatanan masyarakat baru, menunjang terciptanya suatu struktur masyarakat baru sesuai dengan ajaran Marxisme yang fundamental berlainan dengan keadaan masyarakat sebelumnya. Hal ini berarti masalah ekonomi merupakan faktor utama serta penentu dalam kehidupan bangsa dan Negara dalam arti segala sesuatunya harus tunduk kepada kehendak penguasa yang memimpin bangsa dalam proses transformasi dari susunan masyarakat lama menuju terciptanya masyarakat baru yang dijiwain ajaran Marxisme yang mengutamakan prinsip kolektivisme dalam bentuknya yang mutlak. Akibatnya ialah bahwa segala alat produksi berada di tangan Negara dan masyarakt secara keseluruhan, sehingga hubungan antar individu menjadi sangat berkurang semuanya diatur oleh Hukum Publik yang mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan Negara, sebaliknya hubungan hukum di bidang hukum perdata menjadi tidak berkembang.[6]
Berikutnya apabila dirangkum, maka inti dari sistem hukum sosialis adalah sebagai berikut:[7]
a.       Merupakan ajaran komunis yang bersumber dari ajaran Karl Marx, Frederick Engels, dan Vladimir Lenin;
b.      Terdapat Sistem Hukum Eropa Kontinental yang berlaku sebelum era komunis;
c.       Berdasarkan hukum Romawi;
d.      Terdapat pengaruh hukum Anglo Saxon, meskipun tidak terlalu substansial;
e.       Menggunakan prinsip-prinsip hukum alam seperti pacra sunt sevanda (Grotius), doktrin kontrak sosial (Thomas Hobbes), konsep aequum et bonum/ prinsip equity sebagaimana terdapat dalam hukum tentang restitusi dalam sistem hukum sosialis, dan kewajiban melakukan ganti kerugian bagi yang bersalah dan merugikan orang lain;
f.        Keadilan universal;
g.      Adanya keberlakuan Hukum adat di masing-masing Negara sebelum berlakunya sistem hukum komunis;
h.      Hukum di kawasan tertentu;
i.        Hukum global karena pengaruh globalisasi
j.        Hukum dari perjanjian internasional atau organisasi internasional, seperti WTO, UNIDROIT, PBB, dan lainnya.
Selanjutnya, adapun perkembangan sistem hukum sosialis dapat dibagi dalam 4 fase yakni : (1)  Fase berlakunya sistem Eropa Kontinental prakomunis, (2) Fase Transisi; saat dimana setelah terjadinya revolusi di Rusia maka hukum lama tidak ditegakkan sementara hukum baru belum dibuat, sehingga berlakulah hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law) (3) Fase Kodifikasi komunis; sifat dari kodifikasi ini tidaklah seperti kodifikasi di Prancis. Kodifikasi di Rusia setelah tahun 1920 bersifat dinamis, terus berubah sesuai perkembangan revolusi. Dengan adanya kodifikasi ini maka hakim tidak diperbolehkan lagi membuat hukum, bahkan juga tidak dapat menafsirkan undang-undang, karena kewenangan menafsirkan undang-undang berada pada legislatif, (4) Fase setelah komunis tumbang, dalam hal ini terkait dengan situasi setelah Perang Dingin (Amerika – Uni Soviet), maka tidak semua Negara di Uni Soviet yang  menganut sistem hukum Eropa Kontinental berpindah menjadi negara komunis. Ada yang tetap anti komunis.
Dilihat dari segi eksistensi dan independensinya, para ahli perbandingan hukum menilai sistem hukum sosialis dalam 2 pandangan berbeda:[8]
-          Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum sosialis hanya merupakan variant dari sistem hukum Eropa Kontinental, bukan merupakan suatu sistem hukum yang berdiri sendiri.
-          Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum sosialis sudah dapat dikatakan sistem hukum yang tersendiri dikarenakan pertumbuhan internalnya dipengaruhi oleh paham komunis. Hal ini terpisah atau dapat disejajarkan dengan sistem hukum yang berdiri sendiri lainnya, seperti sistem hukum Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon.
Sistem hukum Sosialis memiliki karakter yang sangat fundamental yakni lebih melindungi kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu, dan lebih melindungi kepentingan buruh daripada kepentingan pengusaha, sehingga organisasi buruh memegang peranan yang penting. Dalam hal ini hukum merupakan subordinat kondisi politik, sosial, dan ekonomi serta tidak dapat dilepaskan pula dari adanya sosiologi dan filosofis Negara penganutnya.[9]
Meskipun sistem hukum sosialis berinduk pada sistem hukum Uni Soviet, namun persebarannya relatif cepat ke berbagai belahan dunia, khususnya ke Negara-negara yang berhaluan komunis atau yang pernah diperintah di bawah rezim komunis.
Sistem pengadilan yang berlaku di berlaku di bekas Negara Uni Soviet dapat dijadikan pedoman umum bagi sistem pengadilan di Negara dengan sistem hukum Sosialis lainnya. Adapun sistem pengadilannya sebagai berikut :
(1) Pengadilan Reguler, mengadili perkara sehari-hari yang terkait kasus perdata maupun pudanna. Hakim pada tingkat pengadilan rendah merupakan hakim-hakim generalis, bukan hakim spesialis. Jabatan hakim merupakan birokrat bukan jabatan professional;
(2) Pengadilan Tata Usaha Negara, mengadili sengketa berkaitan dengan administrasi Negara dan pemerintahan. Putusannya dapat disbanding ke pengadilan umum. Kehadiran advokat tidak diperkenankan, masing-masing pihak harus membawa kasusnya sendiri ke pengadilan administrasi Negara tanpa boleh diwakili oleh Advokat;
(3) Pengadilan Ekonomi, menangani khusus masalah-masalah ekonomi. Pengadilan Ekonomi terpisha dengan pengadilan umum. Bahkan memiliki Mahkamah Agung sendiri yakni Mahkamah Agung Eknomi;
(4) Pengadilan Perburuhan, merupakan pengadilan khusus terkait persengketaan perburuhan. Seringkali Pengadilan Perburuhan tidak disebut “pengadilan”, melainkan sebagai “Komisi” saja dan umumnya bernaung di bawah organisasi buruh. Putusan Pengadilan Perburuhan tersebut dapat disbanding ke Pengadilan Umum;
(5) Pengadilan Teman Sejawat (comrades),pengadilan ini mirip dengan pengadilan kasus kecil (small claim cour) di berbagai negara baik di Negara Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon. Kasus kecil tersebut bukan perkara pidana, dan umumnya didesain untuk menjadi organisasi sosial,serta menjadi pelaksana secara resmi ajaran-ajaran komunis. Prosedurnya sangat sederhana, cepat, murah, dan para hakim bukanlah orang-orang professional melainkan orang-orang biasa saja yang umumnya terdiri dari orang-orang dalam komunitas yang bersangkuta. Pengadilan ini memiliki cabang di berbagai tempat, seperti di pasar, pabrik, apartemen, perkantoran, komunitas tertentu, universitas, perkampungan dan sebagainya.



2.      Tradisi Hukum Religius
Tradisi hukum civil law, common law dan sosialis bersifat sekuler : norma yang tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal sakral. Hal ini berbeda dengan tradisi hukum religus yang bersifat non-sekuler.[10]  Terdapat unsur-unsur keagamaan di dalam tradisi hukum religius.
Tradisi Hukum Religius disebut juga tradisi hukum agama/kepercayaan. Tradisi hukum ini memiliki spesifikasi tersendiri karena mempunyai ciri-ciri khas tertentu antara lain, sistem hukumnya mengatur hubungan antar manusia atas dasar ajaran agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga hukum religius adalah keluarga hukum yang khusus. Sistem-sistem hukum agama yang ada satu sama lainnya tidak mempunyai hubungan; maisng-maisng sistem hukum berdiri sendiri. Hukum Islam, Hukum Kristen, Hukum Yahudi, Hukum Hindu, Hukum Budha, dan lainnya; memperlihatkan kemandirian artinya tidak berhubungan satu sama lain.[11]
Hukum agama yang sumber dan konsepsi hukumnya berdasarkan ajaran agama antara lain mengatur kewajuban-kewajiban manusia berbuat baik berbudi luhur dalam hubungannya sesama manusia dan bertakwa kepada Tuhan dalam hubungan dengan penciptanya. Oleh karena itu tidak mengutamakan pengaturan masyarakat, misalnya dalam kaitan apa yang menjadi hak seseirang terhadap orang lain atau terhadap alam sekelilingnya.
Diantara hukum-hukum agama tersebut, yang paling agresif dan luas pengaruhnya di dunia adalah hukum Islam. Hukum Islam disebut juga Hukum Muslim (Muslem Law) atau Syariah (di Arab) .  Kaidah-kaidahnya berdasarkan kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad/Hadis serta Ijma (hasil piker ulama). Adapun sifatnya universal artinya hukum Islam tidak mempersoalkan dimana seseorang berada, jadi dapat diterapkan dimana saja. Oleh karena itu pada hakekatnya Hukum Islam bukan merupakan hukum dari suatu Negara Islam tertentu melainkan merupakan hukum yang diperlukan dalam masyarakat para penganutnya dalam hubungan satu sama lainnya seperti halnya dengan hukum-hukum agama lainnya. Dengan demikian Hukum Agama juga konsepsi serta sumber hukumnya mempunyai hubungan erat dan bersumber pada ajaran agama yang bersangkutan.Adapun bagi orang Muslim terdapat anggapan bahwa agama dan hukum adalah satu.
Di Negara-negara yang menganut sistem Hukum Romawi Jerman / Common Law, beberapa bidang hukum tertentu pengaturannya diserahkan kepada Hukum Islam, misalnya hukum perorangan, hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris, sedangkan di Negara-negara yang mempunyai kebudayaan yang didasarkan atas ajaran Islam. Asas-asa Hukum Islam mempengaruhi cara penafsiran dan praktek hukum dan ilmu pengetahuan hukum yang datang dari luar,[12]
Hubungan antara Negara dan syariah sangat bervariasi diantara Negara=Negara yang menurut tradisinya dianggap sebagai Negara Muslim. Beberapa Negara ini hampir seluruhnya tersekularisasi dan Negara menganggap Islam sebagai satu agama diantara sekian banyak, seperti di Turki. Sementara itu di Arab Saudi dan Iran, Negara dipahami tunduk sepenuhnya kepada hukum agama dan hanya sekedar alat bagi pelaksanaan agama. Alhasil aturan syariah otomatis diberlakukan oleh Negara.
Contoh hukum agama lain adalah hukum Hindu yang umumnya berlaku di India, Bali, dan sebagainya dan hukum Geraja (Canon Law), terutama yang berlaku di Eropa pada abad pertengahan. Hukum Hindu bukanlah Hukum India atau hukum Negara yang bersangkutan tetapi suatu hal yang mengatur hubungan antar manusia yang sama-sama menganut agama Hindu dengan tidak mempersoalkan dimana mereka berada.
Selanjutnya adalah hukum agama Yahudi. Agama Yahudi juga memiliki kaidah-kaidah hukum tertentu. Bahkan, baik pada masa Yunani maupun Romawi, banyak kaidah hukum berisikan ajaran-ajaran agama yang berlaku saat itu meskipun enforcement-nya tetap memakai hukum sekular. Demikian juga yang terjadi di masyarakat-masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Hindu dan lain-lain. Hukum agama Yahudi mengatur hubungan antara manusia di antara penganut agama tersebut, akan tetapi tidak begitu berpengaruh karena jumlah penganutnya tidak begitu besar.
Pada tradisi hukum religius, dapat diketahui bahwa agama mengarahkan perkembangan hukum tersebut sehingga daya berlakunya cukup terjamin terkait urusan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, para penganut hukum agama/religius cenderung tidak berani meninggalkan hukum seperti ini.


DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata, cet.1. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2005.
Fuady, Munir. Perbandingan Ilmu Hukum. Bandung: PT.Refika Aditama,2007.     
Henry Walter Ehrmann. Comparative Legal Cultures.  New Jersey : Prentice-Hall,Inc.,1976.
Hazard, John N. “Marxian Socialist Law and The Law Review”, Journal of International Law and Policy, (Volume 2, Number 2, Chapter 7), http://djilp.org/wp-content/uploads/2011/09/Volume-2-Number-2-Chapter-7-Marxian-Socialist-Law-and-the-Law-Reviews.pdf. Diakses pada 20 Maret 2014.
Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah. Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, cet.2. Jakarta : Ind-Hill-Co, 2003.


       [1]Munir Fuady, “Perbandingan Hukum Perdata”, cet.1, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2005), hal.6.
       [2]Henry Walter Ehrmann, “Comparative Legal Cultures, (New Jersey : Prentice-Hall,Inc.,1976), hal.16.
[3] Munir Fuady, Op. Cit., hal.7.
       [4]Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah, “Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata”, cet.2, (Jakarta : Ind-Hill-Co, 2003), hal.51.
[5]Ibid., hal.52.
[6]Ibid., hal.53.
       [7]Munir Fuady, “Perbandingan Ilmu Hukum”, (Bandung: PT.Refika Aditama,2007), hal.130.
[8]Ibid., hal.123.
       [9]John N Hazard, “Marxian Socialist Law and The Law Review”, Journal of International Law and Policy, (Volume 2, Number 2, Chapter 7), http://djilp.org/wp-content/uploads/2011/09/Volume-2-Number-2-Chapter-7-Marxian-Socialist-Law-and-the-Law-Reviews.pdf, diakses pada 20 Maret 2014.
[10]Henry Walter Ehrmann, loc.cit., hal.17.
[11]Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah, loc.cit., hal.53
[12] Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah, Op.Cit., hal.54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar