30
April 2014
1.
Apakah Advokat boleh
beracara di BPSK?
Di dalam UU Perlindungan Konsumen, BPSK menganut
prinsip sebagai penyelesaian sengketa yang murah. Adanya advokat justru
menyebabkan prinsip tersebut tidak tercapai. Tentu saja advokat Pelaku Usaha
berpotensi lebih mahal dan lebih cerdas dibandingkan dengan advokat Konsumen,
alhasil kedudukan Pelaku Usaha dan Konsumen menjadi tidak seimbang. Namun
demikian, KEPMENPERINDANG No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang BPSK yakni pasal 15 ayat (3) mengatur bahwa
“Permohonan
penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan oleh ahli waris atau kuasanya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan apabila konsumen :
a. meninggal dunia;
b.
sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan
sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat
keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. belum dewasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yangberlaku; atau
d. orang asing (Warga Negara Asing).
Adanya
kata “…atau kuasanya” menujukkan adanya kebolehan advokat beracara di BPSK.
Namun demikian hal ini hanya diperuntukkan untuk advokat dari Konsumen.
Bagaimana dengan Pelaku Usaha apakah boleh menggunakan jasa advokat untuk
beracara di BPSK? Hal ini tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan
terkait. Pada intinya, advokat boleh beracara di BPSK, dalam hal ini hanya
diatur advokat Konsumen.
2.
Apakah putusan BPSK final and binding?
Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen dan pasal 3
KEPMENPERINDANG No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
BPSK mengatur bahwa BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase.
Selanjutnya, pasal 54 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen mengatur bahwa “Putusan majelis
final dan mengikat”. Penjelasan ayat tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian
sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Selanjutnya, Pasal 56
ayat (2) mengatur mengenai adanya keberatan yang dapat diajukan terhadap
putusan BPSK tersebut kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas)
hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
Adapun pasal 42 ayat (1) KEPMENPERINDANG
No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK juga
mengatur bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Lebih lanjutnya terhadap putusan BPSK sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada
Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Berikutnya pasal 2 PERMA 1 tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK mengatur bahwa Keberatan hanya
dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK. Lebih
lanjut pasal 3 PERMA mengatur bahwa keberatan
diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum konsumen
atau dalam hal konsumen tidak memiliki tempat kedudukan hukum di Indonesia
harus mengajukan keberatan di PN dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan
putusan. Dalam hal diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak. Adapun
syarat mengenai pembatasan keberatan Arbitrase diatur pada pasal 6 ayat (3)
PERMA dan sama dengan ketentuan pasal 70 UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut tidak terdapat
kejelasan apakah putusan BPSK benar-benar bersifat final dan binding atau tidak. Sebab bila dipahami secara umum, maka
pengertian final adalah tidak ada
upaya hukum biasa yang dapat diajukan lagi, termasuk keberatan. Namun ketetuan
umum dapat dikesampikan apabila diatur secara khusus. Dalam hal ini UU
Perlindungan Konsumen memberikan penjelasan apa yang dimaksud final dan binding, yang mana final
berarti tidak mencakup adanya keberatan, sehingga keberatan boleh diajukan dan
putusan BPSK tetap dianggap final dan
binding. Adapun putusan yang dimaksud adalah hasil
arbitrase di BPSK.Sementara mediasi dan konsiliasi tidak dapat diajukan
keberatan, sebab hasil akhirnya bukan putusan namun kesepakatan para pihak.
3.
Apakah BPSK termasuk small claims court (SCC)? Apa Perbedaan
BPSK dan SCC ? Apa itu SCC ?
Black Law Dictionary
mengartikan Small Claim Court sebagai “a court that informally and expeditiously adjudicates claims that
seek damages below a specified monetary amount, usu. claims to collect small
accounts or debts – also termed small-debts court; conciliation court.” (Gardner 2004). Berdasarkan definisi
tersebut dapat memahami bahwa Small Claim Court memiliki beberapa sifat diantaranya:
(a) Informal yang dapat berarti merupakan mekanisme di luar mekanisme peradilan
pada umumnya; (b) dilakukan dengan cepat dan efisien (expeditiously); dan (c) tuntutan ganti rugi dengan
hitungan yang spesifik (specific monetary amount).
Small
Claims Court (SCC)
atau Small Claim Tribunal atau Small Claim Procedure lebih banyak berkembang di negara
sistem common law. SCC lebih banyak digunakan untuk perkara
perdata berskala kecil yang dapat diselesaikan dengan cara sederhana,
cepat dan biaya murah. SCC juga dianggap sebagai jalan tengah yang menjembatani
antara mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution)
yang simpel dan fleksibel dengan sebuah lembaga yang memiliki otoritas sebagai
pengadilan.
Perkara
keperdataan yang dapat ditangani sebuah SCC antara lain utang piutang, biaya
jasa pelayanan, kerusakan barang, jual beli barang, dan gugatan konsumen.
Perkara yang dapat ditanganinya digolongkan pula sebagai perkara kelas ‘teri’
yang dapat diselesaikan dalam batas waktu tertentu satu minggu sampai satu
bulan dengan hakim tunggal. Kebanyakan perkara yang diselesaikan melalui SCC
diajukan langsung oleh masyarakat tanpa didampingi oleh pengacara. Di Negara
Bagian Arizona di Amerika Serikat dibedakan perkara yang bisa dan perkara yang
tidak bisa ditangani melalui SCC sebagai berikut: (1) Perkara yang dapat
diajukan melalui SCC adalah money debts, personal injury, property damage,
cancellation of a contract; (2) Perkara yang tidak dapat diajukan melalui SCC
adalah libel or slander, injunctive relief, class actions, criminal matters,
forcible entry or detainer, actions
against the state of Arizona, prejudgment remedies, specific performance,
traffic violations, claims greater than $2,500.
Perbedaan
BPSK dan small claim court sebagai
berikut:
-
BPSK merupakan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Tuntutan tidak dibatasi. Adapun pasal 40 ayat (3)
huruf b KEPMENPERINDANG No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang BPSK mengatur adanya sanksi admnistratif berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp 200.000.000,-. Hal ini harus dipahami bukan merupakan
pembatasan terhadap tuntutan. Sanksi administratif merupakan suatu tambahan
sanksi diluar tuntutan yang diminta. Sehingga tetap saja besaran tuntutan utama
yakni ganti rugi itu sendiri tidak dibatasi. Sementara itu SCC merupakan penyelesaian sengketa di
bawah peradilan. Tuntutannya dibatasi, dan jumlahnya kecil sesuai dengan
ketentuan negara yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar