Kamis, 02 Mei 2019

Catatan: Lembaga Arbitrase


ARBITRASE

29 September 2014
1.      Keterkaitan antara klausula/perjanjian arbitrase dengan gugatan PMH dan/atau Wanprestasi?
Jawab :
Adanya klausula/perjanjian arbitrase seharusnya terang membuat sesuatu sengketa/beda pendapat sebagaimana diperjanjikan tersebut, diselesaikan melalui lembaga arbitrase saja. Namun demikian, dalam praktek, masih saja terjadi penyelesaian sengketa tersebut melalui gugatan PMH dan/atau Wanprestasi di Pengadilan Negeri. Hal ini seolah mengenyampingkan kompetensi absolut dari badan arbitrase. Bagaimana selanjutnya keterkaitan antara klausula/perjanjian arbitrase dengan gugatan PMH dan/atau Wanprestasi?
Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS mengatur bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 11 ayat (2) menegaskan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan pencantuman klausul arbitrase dalam perjanjian antara bank dan nasabahnya, antara lain dalam perjanjian kredit, maka bank dan nasabahnya terikat untuk tidak dapat menyerahkan penyelesaian sengketa kepada pengadilan umum tetapi hanya kepada lembaga arbitrase.
Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, landasan hukum yang menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa antara para pihak yang telah bersepakat bila dalam perjanjian terdapat klausul arbitrase dirasakan oleh masyarakat tidak tegas, tidak pasti, dan tidak kuat. Selalu saja Pengadilan Negeri menyatakan berwenang mengadili perkara-perkara yang timbul dari perjanjian sekalipun di dalam perjanjian itu telah secara tegas dimuat klausul arbitrase, bahkan masih ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya [1]. Hal ini sebagaimana kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) v. T Mayora Indah Tbk (Mayora) :
PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.[2]
Hal ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Berikut dijelaskan pada jurisprudensi Arrest Artist de Labourer :
“Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, (Arrest “Artis de Laboureur”)
(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini.
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.
Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.
Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik
Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif
Pada Arrest Artist de Labourer tersebut, dinyatakan bahwa pengadilan berwenang memeriksa sengketa demikian dikarenakan hal yang diperiksa bukan merupakan pokok perkara, tetapi  cara pengambilan keputusannya, yakni apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik sesuai asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai. Adapun yang dimaksud dengan itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik; sementara itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.
Selanjutnya, merujuk pada kasus Mayora tersebut diatas, maka ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. UU Arbitrase dan APS, pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Hal ini mengakibatkan, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :[3]
-          putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
-          putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
-          jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.
Demikianlah fakta yang terjadi pada peradilan tingkat pertama dan banding (Pengadilan Nigeria dan Pengadilan Tinggi) di Indonesia yang masih saja memeriksa dan memutus sengketa yang jelas merupakan kewenangan lembaga arbitrase. Di sisi lain, Mahkamah Agung sudah menyatakan suatu yurisprudensi yang menegaskan ketentuan pasal 3 dan pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS, yakni dengan menolak perkara demikian.
Mahkamah Agung berpendirian tegas bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara-perkara yang telah disepakati oleh para pihak bahwa sengketa yang timbul di antara mereka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase apakah di dalam perjanjian di antara mereka dicantumkan suatu klausul arbitrase. Sikap Mahkamah Agung yang demikian itu terlihat dari beberapa putusan Mahkamah Agung sebagaimana digambarkan di bawah ini:
-          Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983 menegaskan pendiriannya bahwa klausul arbitrase bagi pihakpihak, mempunyai kekuatan sebagai undang-undang yang harus ditaati. Pendirian tersebut telah pula dianut dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dan No. 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983. Dengan kata lain asas “pacta sunt servanda”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dihormati oleh Mahkamah Agung RI. Bahkan dalam putusan yang lain, yaitu putusannya No. 3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI yang menguatkan putusan pengadilan tingkat banding yang berpendirian bahwa kewenangan memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi arbitrase.
-          Selanjutnya pula di dalam putusannya No. 3179 L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa apabila di dalam perjanjian dimuat klausul arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi.
Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut menunjukkan sikap yang konsisten dari Mahkamah Agung, yang semakin mempertegas pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ditentukan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka diharapkan pengadilan umum akan dengan tegas menolak dan tidak akan campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah terikat dengan klausul arbitrase.
Oleh sebab itu, pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.

2.      Persoalan hukum praktis apakah yang hendak diselesaikan dengan menerapkan autonomy principle dan kompetenz-kompetenz?
Autonomy principle dan kompetenz-kompetenz merupakan prinsip-prinsip suatu perjanjian arbitrase.  Autonomy principle (pasal 10 UU Arbitrase dan APS)  menyatakan bahwa walaupun klausula arbitrase ada di dalam main contract namun bila terjadi dispute, klausul arbitrase tidak batal. Sementara itu kompetenz- kompetenz merupakan suatu prinsip arbitrase sebagaimana dimaksud pasal 3 dan 11 UU Arbitrase dan APS yakni mengenai kompetensi absolut dari lembaga arbitrase untuk menangani sengketa/beda pendapat yang memperjanjikan untuk menyelesaikan permasalahannya tersebut melalui lembaga arbitrase. Pengadilan (Pengadilan Negeri) tidak berwenang mengadili sengketa jika dalam perjanjian terdapat perjanjian arbitrase. Berdasarkan prinsip ini, maka arbitrator memiliki kewenangan untuk memutuskan mengenai kewenangannya (absolut) untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Adanya kedua prinsip  perjanjian arbitrase tersebut dalam praktek berguna untuk menyelesaikan permasalahan kewenangan mengadili antara lembaga penyelesaian sengketa litigasi (peradilan) dan non-litigasi lainnya (selain arbitrase) dengan lembaga arbitrase. Hal ini sangat berkaitan erat dengan terlaksananya efektivitas proses arbitrase. 
3.      Apa perbedaan kedua konsepsi tersebut?
Ø  Autonomy principle merupakan sifat otonom (autonomy) dari klausul arbitrase. Istilah yang juga digunakan adalah doktrin separabilitas (doctrine of separability atau severability) dari klausul arbitrase. Pengakuan terhadap doktrin ini masih relatif baru. Menurut doktrin ini, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu klausul dalam suatu kontrak (dagang), karakteristik dari klausul arbitrase tidaklah merupakan bagian atau tambahan (asesor) dari kontrak. Karena itu, batal atau berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan atau mengakhiri klausul arbitrase.
Huleatt-James dan Gould berpendapat bahwa doktrin separabilitas mengakui kesepakatan para pihak yang menghendaki sengketanya diselesaikan oleh badan arbitrase meskipun kontraknya tidak lagi berlaku. Karakteristik ini penting mengingat masih cukup banyak suara bahkan di tanah air, masih berpendapat bahwa klausul arbitrase adalah perjanjian tambahan (assesoir). Konsekuensinya, berakhir atau batalnya suatu kontrak atau perjanjian pokok serta merta mengakhiri atau membatalkan klausul arbitrase (yang terdapat dalam kontrak tersebut).
Kalau bukan bersifat assesoir dan sudah pasti bukan perjanjian pokok, lalu apa namanya untuk klausul arbitrase dengan sifat otonom seperti ini? Melihat karakteristiknya, lebih tepat apabila klausul ini disebut dengan klausul sui-generis. Artinya, karakteristik separabilitas dari klausul arbitrase mempunyai sifat khusus. Karena sifatnya yang sui-generis ini dapat dinyatakan di sini bahwa dalam kontrak yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya, sebenarnya terdapat 2 (dua) kontrak yang terpisah. Pertama, kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak di bidang perdagangan. Kedua, kontrak yang memuat kewajiban para pihak untuk menyelesaikan sengketanya yang timbul dari pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dari kontrak.[4]
Kontrak pertama bersifat otomatis berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak. Sedangkan kontrak kedua hanya akan berlaku atau berfungsi manakala timbul sengketa di antara para pihak sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak yang mereka sepakati.
Pertanyaan mendasar sehubungan dengan karakteristik klausul arbitrase ini adalah apa yang menjadi tujuan dari adanya pengakuan terhadap doktrin separabilitas ini? Ada beberapa jawaban terhadap pertanyaan ini. Pertama, adalah pendapat Gilis Wetter. Beliau tampaknya menggunakan pendekatan efektivitas dari proses arbitrase. Menurut beliau, karakteristik independensi dari klausul arbitrase dibutuhkan untuk efektif-nya suatu proses arbitrase. Kedua, jawaban dapat tampak dari trafaux preparatoire sewaktu Model Law Arbitration UNCITRAL dibahas. Waktu itu para perancang Model Law sepakat bahwa karakteristik independensi klausul arbitrase ini diperlukan semata-mata untuk memberi dasar hukum bagi badan arbitrase untuk menentukan sendiri status kewenangannya terhadap suatu sengketa.
Dalam perundingan UNCITRAL Model Law terkait agenda klausul arbitrase, terumuskan pada pasal 16 (1) UNCITRAL Model Law yang berbunyi sebagai berikut:
“The arbitral tribunal may rule on its own jurisdiction, including any objections with respect to the existence or validity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration clause which forms part of a contract shall be treated as an agreement independent of the other terms of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the contract is null and void shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration clause.”[5]
Masalah lainnya adalah, apakah karakteristik (doktrin) separabilitas dari klausul arbitrase masih berlaku manakala kontrak (dagang)-nya sendiri ternyata gagal disepakati? Masalah ini dapat muncul karena acap kali para pihak dalam proses penandatanganan kontrak dimulai dengan negosiasi kontrak. Masalah doktrin separabilitas lahir manakala para pihak telah sepakat mengenai sebagian besar klausul kontrak, termasuk klausul arbitrase. Sedangkan untuk beberapa hal lainnya, para pihak ternyata tidak atau masih belum sepakat.
Sebagian sarjana, seperti Rubino-Sammartano atau Huleatt-James dan Gould berpendapat bahwa klausul arbitrase atau doktrin separabilitas dalam fakta sekarang ini tidak berlaku. Dengan demikian adalah logis dengan tidak berlakunya klausul arbitrase tersebut, maka tidak ada pula kewenangan badan arbitrase untuk memeriksa atau menangani sengketanya. Argumentasi Huleatt- James dan Gould berbunyi sebagai berikat:
Where the parties have failed to do what is necessary to conclude a contract, it is difficult, though not impossible ... to see why they might have intended that an arbitration agreement should come into existence. In such a case, the tribunal is unlikely to have any jurisdiction.”
Tulisan ini berpendapat bahwa untuk lahirnya doktrin separabilitas untuk klausul arbitrase, syarat tertulis untuk klausul arbitrase ini harus terlebih dahulu terpenuhi. Dalam uraian mengenai syarat tertulis untuk klausul atau perjanjian arbitrase, syarat tertulis juga diikuti dengan syarat tanda-tangan. Karena itu, syarat atau faktor tertulis dan adanya tanda tangan inilah faktor-faktor yang harus terlebih dahulu harus ada agar doktrin separabilitas dapat berlaku atas klausul arbitrase.
Seperti telah disinggung di atas, doktrin ini masih relatif baru. Namun demikian Pengakuan terhadap doktrin separabilitas dapat ditemui dalam berbagai instrumen hukum, baik hukum nasional, hukum internasional, maupun putusan pengadilan. Dalam hukum nasional Indonesia misalnya, doktrin separabilitas terdapat dalam pasal 10 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal ini menyatakan antara lain sebagai berikut:
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:
a. ...
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”[6]
Dalam instrumen hukum internasional, doktrin separabilitas terdapat antara lain dalam UNCITRAL Arbitration Rules. Pasal 21 ayat 2 Rules UNCITRAL antara lain menyatakan:
“... an arbitration clause which forms part of a contact and which provides for arbitration under the Rules shall be treated as an agreement independent of the other terms of the contract.”
Sedangkan dalam putusan pengadilan, Hakim ternama Inggris Lord Diplock dalam sengketa Bremer Vulkan Schiffbau und Machienenfabrik v. South India Shipping Corporation Ltd. (1981), mengemukakan sifat independensi klausul arbitrase dari kontrak (dagang atau kontrak pokok, dalam hal ini kontrak pembangunan kapal) dengan argumentasi sebagai berikut:
“... the ship-building agreement, apart from the arbitration clause, had ceased to be executor; the time for performance of the parties’ primary obligations under it was past. The arbitration clause on the other hand would continue to remain executor as long as there were outstanding any disputes between the parties as to the existence or extent of their secondary obligations under the other clauses of the ship-building agreement.”[7]

Ø  Selanjutnya, kompetenze-kompetenze merupakan suatu doktrin terkait dengan kompetensi dari arbiter/ majelis arbitrase untuk memutuskan kewenangannya (yurisdiksinya) sendiri.  Doktrin ini sangat erat kaitannya dengan doktrin separability (keterpisahan) perjanjian arbitrase. Beberapa pengadilan Inggris telah mengenal doktrin ini, namun beberapa masih berpendirian bahwa arbitrase tidak seharusnya memiliki kewenangan ini. Doktrin ini cukup kontroversial dan sangat bervariasi penerapannya pada satu negara dengan negara yang lain. Pengadilan Singapura belum menerapkan hal ini, putusan-putusan terdahulu lebih berpendirian bahwa arbiter/ majelis arbitrase tidak memiliki kompetensi untuk memutuskan kewenangannya sendiri. Dengan tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang hal itu, ketidakpastian pengaturan mengenai hal ini hanya dapat diputuskan dengan menerapkan peraturan prosedural yang menjamin kompetensi tersebut pada arbitrer/ majelis arbitrase.
Keuntungan dengan memberikan arbiter/ majelis arbitrase kompetensi untuk memutus isu terkait dengan kewenangannya akan dapat menghindarkan penundaan pemeriksaan perkara dan pembiayaan yang lebih ringan. Apabila hanya pengadilan saja yang dapat memutus isu tersebut, maka hal ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak untuk dengan sengaja menunda pemeriksaan di arbitrase dengan memasukkan permohonan untuk membatalkan proses pemeriksaan arbitrase yang sedang berjalan.
Di Indonesia, doktrin ini belum diadopsi. Sehingga belum ada kepastian apakah arbiter/ majelis arbitrase memiliki kompetensi untuk menilai dan memutuskan kewenangannya sendiri. Dalam praktik sejauh ini, pihak Termohon dalam jawabannya bisa mengajukan eksepsi kompetensi pada arbiter/ majelis arbitrase, dan atas adanya eksepsi ini arbiter/ majelis arbitrase akan memutus apakah dirinya berwenang ataukah tidak, dengan demikian pada dasarnya arbitrase telah menerapkan doktrin kompetenz-kompetenz meskipun tidak diatur dalam undang-undang. Sangat jarang pihak Termohon melawan (challenge) yurisdiksi arbitrase di pengadilan pada awal pemeriksaan perkara di arbitrase. Kebanyakan pihak yang dikalahkan baru melawannya di pengadilan setelah jatuh putusan arbitrase melalui upaya pembatalan putusan arbitrase.
Dalam praktik arbitrase internasional (ICSID, ICC, Permanent Court of Arbitration), dalam setiap putusan arbitrase meskipun tidak ada perlawanan terhadap yurisdiksi arbitrase (eksepsi), arbiter wajib mencantumkan pertimbangan mengenai kewenangannya dalam memeriksa perkara tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala.  “Syarat Tertulis dan Independensi Klausul Arbitrase”, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, (Number 6/2009).
Soemartono, Gatot. “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.


[1]Gatot Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.70-71.
[2]Ibid., hal  73.
[3] Ibid.,  hal.76-66.

[4]Huala Adolf,  “Syarat Tertulis dan Independensi Klausul Arbitrase”, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, (Number 6/2009), hal.29.
[5] Ibid., hal.30.
[6]Ibid., hal.31.
[7] Ibid., hal.32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar