ARBITRASE
29 September 2014
1.
Keterkaitan
antara klausula/perjanjian arbitrase dengan gugatan PMH dan/atau Wanprestasi?
Jawab
:
Adanya
klausula/perjanjian arbitrase seharusnya terang membuat sesuatu sengketa/beda
pendapat sebagaimana diperjanjikan tersebut, diselesaikan melalui lembaga
arbitrase saja. Namun demikian, dalam praktek, masih saja terjadi penyelesaian
sengketa tersebut melalui gugatan PMH dan/atau Wanprestasi di Pengadilan
Negeri. Hal ini seolah mengenyampingkan kompetensi absolut dari badan
arbitrase. Bagaimana selanjutnya keterkaitan antara klausula/perjanjian
arbitrase dengan gugatan PMH dan/atau Wanprestasi?
Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
mengatur bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 11 ayat (2)
menegaskan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan
di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan
pencantuman klausul arbitrase dalam perjanjian antara bank dan nasabahnya,
antara lain dalam perjanjian kredit, maka bank dan nasabahnya terikat untuk
tidak dapat menyerahkan penyelesaian sengketa kepada pengadilan umum tetapi
hanya kepada lembaga arbitrase.
Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, landasan hukum yang
menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa antara
para pihak yang telah bersepakat bila dalam perjanjian terdapat klausul
arbitrase dirasakan oleh masyarakat tidak tegas, tidak pasti, dan tidak kuat.
Selalu saja Pengadilan Negeri menyatakan berwenang mengadili perkara-perkara
yang timbul dari perjanjian sekalipun di dalam perjanjian itu telah secara
tegas dimuat klausul arbitrase, bahkan masih
ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah
menjatuhkan putusannya [1].
Hal ini sebagaimana kasus Bankers Trust
Company dan Bankers Trust International PLC (BT) v. T Mayora Indah Tbk (Mayora)
:
PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan
Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan
No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN
Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto
02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi
pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran
ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara
tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.[2]
Hal
ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan apakah ada alasan-alasan yang dapat
membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan
klausul arbitrase? Berikut dijelaskan pada jurisprudensi Arrest Artist de Labourer :
“Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, (Arrest
“Artis de Laboureur”)
(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah
mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu
penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan
oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita
penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan
Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa
mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan
Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut
kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar
ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan.
Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat
membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili
perkara ini.
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l.
telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa
perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi
harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu
penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar
pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad
baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai
sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.
Hof Amsterdam
dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para
pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada
Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang
diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang
dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan,
namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena
telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata
bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya
adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan
dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan
mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah
masuk dalam kewenangan Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah
mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad
baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam
keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan
tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian
rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan
bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan
keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof
menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan
karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik
kasasi.
Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk
menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar
itikad baik
Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata
adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan
itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan,
subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif -
suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi,
sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan
Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan
menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai
ukuran itikad baik yang obyektif
Pada
Arrest Artist de Labourer tersebut, dinyatakan bahwa pengadilan berwenang
memeriksa sengketa demikian dikarenakan
hal yang diperiksa bukan merupakan pokok perkara, tetapi cara pengambilan keputusannya, yakni apakah
Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik sesuai asas
kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu
itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai
bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai. Adapun yang dimaksud dengan
itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa
tindakannya bertentangan dengan itikad baik; sementara itikad baik objektif
adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah
bertentangan dengan itikad baik.
Selanjutnya,
merujuk pada kasus Mayora tersebut diatas, maka ketertiban umum dijadikan dalih
untuk menolak permohonan arbitrase. UU Arbitrase dan APS, pada bagian
penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Hal ini
mengakibatkan, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu
pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk
mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum,
namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :[3]
-
putusan arbitrase
melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara,
misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat
tidak dilaksanakan ;
-
putusan arbitrase tidak memuat
alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut
mewajibkannya; atau
-
jika salah satu pihak
tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan
arbitrase dijatuhkan.
Demikianlah
fakta yang terjadi pada peradilan tingkat pertama dan banding (Pengadilan
Nigeria dan Pengadilan Tinggi) di Indonesia yang masih saja memeriksa dan
memutus sengketa yang jelas merupakan kewenangan lembaga arbitrase. Di sisi
lain, Mahkamah Agung sudah menyatakan suatu yurisprudensi yang menegaskan
ketentuan pasal 3 dan pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS, yakni dengan
menolak perkara demikian.
Mahkamah Agung berpendirian tegas bahwa pengadilan tidak berwenang
mengadili perkara-perkara yang telah disepakati oleh para pihak bahwa sengketa yang
timbul di antara mereka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase apakah di
dalam perjanjian di antara mereka dicantumkan suatu klausul arbitrase. Sikap
Mahkamah Agung yang demikian itu terlihat dari
beberapa putusan Mahkamah Agung sebagaimana digambarkan di bawah ini:
-
Mahkamah Agung RI dalam
putusannya No. 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983 menegaskan pendiriannya
bahwa klausul arbitrase bagi pihak‑pihak, mempunyai kekuatan sebagai
undang-undang yang harus ditaati. Pendirian tersebut telah pula dianut dalam
putusan Mahkamah Agung RI No. 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dan No.
455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983. Dengan kata lain asas “pacta sunt
servanda”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dihormati oleh Mahkamah
Agung RI. Bahkan dalam putusan yang lain, yaitu putusannya No. 3992 K/Pdt/1984
tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI yang menguatkan putusan pengadilan
tingkat banding yang berpendirian bahwa kewenangan memeriksa sengketa yang
timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi
arbitrase.
-
Selanjutnya pula di dalam
putusannya No. 3179 L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI
berpendirian bahwa apabila di dalam perjanjian dimuat klausul arbitrase, maka
Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan, baik dalam
konvensi maupun rekonvensi.
Putusan-putusan
Mahkamah Agung tersebut menunjukkan sikap yang konsisten dari Mahkamah Agung,
yang semakin mempertegas pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30
Tahun 1999 ditentukan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka diharapkan
pengadilan umum akan dengan tegas menolak dan tidak akan campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah terikat dengan klausul arbitrase.
Oleh
sebab itu, pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase
tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah
dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali
apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa
menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal
pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
Pengadilan
tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan
pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan
arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga
arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase
masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan
eksekuator ke pengadilan negeri. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase
sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam
eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
2.
Persoalan
hukum praktis apakah yang hendak diselesaikan dengan menerapkan autonomy principle dan kompetenz-kompetenz?
Autonomy principle dan
kompetenz-kompetenz merupakan
prinsip-prinsip suatu perjanjian arbitrase. Autonomy principle (pasal 10 UU Arbitrase
dan APS) menyatakan bahwa walaupun
klausula arbitrase ada di dalam main
contract namun bila terjadi dispute,
klausul arbitrase tidak batal. Sementara itu kompetenz- kompetenz merupakan suatu prinsip arbitrase sebagaimana
dimaksud pasal 3 dan 11 UU Arbitrase dan APS yakni mengenai kompetensi absolut
dari lembaga arbitrase untuk menangani sengketa/beda pendapat yang
memperjanjikan untuk menyelesaikan permasalahannya tersebut melalui lembaga
arbitrase. Pengadilan (Pengadilan Negeri) tidak berwenang mengadili sengketa
jika dalam perjanjian terdapat perjanjian arbitrase. Berdasarkan prinsip ini,
maka arbitrator memiliki kewenangan untuk memutuskan mengenai kewenangannya
(absolut) untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Adanya
kedua prinsip perjanjian arbitrase
tersebut dalam praktek berguna untuk menyelesaikan permasalahan kewenangan
mengadili antara lembaga penyelesaian sengketa litigasi (peradilan) dan
non-litigasi lainnya (selain arbitrase) dengan lembaga arbitrase. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan terlaksananya efektivitas proses arbitrase.
3.
Apa
perbedaan kedua konsepsi tersebut?
Ø Autonomy principle merupakan
sifat otonom (autonomy) dari klausul arbitrase. Istilah yang juga
digunakan adalah doktrin separabilitas (doctrine of separability atau severability)
dari klausul arbitrase. Pengakuan terhadap doktrin ini masih relatif baru. Menurut
doktrin ini, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu klausul dalam suatu
kontrak (dagang), karakteristik dari klausul arbitrase tidaklah merupakan
bagian atau tambahan (asesor) dari kontrak. Karena itu, batal atau
berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan atau mengakhiri klausul
arbitrase.
Huleatt-James dan Gould berpendapat bahwa doktrin
separabilitas mengakui kesepakatan para pihak yang menghendaki sengketanya
diselesaikan oleh badan arbitrase meskipun kontraknya tidak lagi berlaku. Karakteristik
ini penting mengingat masih cukup banyak suara bahkan di tanah air, masih
berpendapat bahwa klausul arbitrase adalah perjanjian tambahan (assesoir). Konsekuensinya, berakhir atau
batalnya suatu kontrak atau perjanjian pokok serta merta mengakhiri atau
membatalkan klausul arbitrase (yang terdapat dalam kontrak tersebut).
Kalau bukan bersifat assesoir dan sudah pasti bukan perjanjian pokok, lalu apa namanya
untuk klausul arbitrase dengan sifat otonom seperti ini? Melihat karakteristiknya,
lebih tepat apabila klausul ini disebut dengan klausul sui-generis.
Artinya, karakteristik separabilitas dari klausul arbitrase mempunyai sifat
khusus. Karena sifatnya yang sui-generis ini dapat dinyatakan di sini
bahwa dalam kontrak yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya, sebenarnya
terdapat 2 (dua) kontrak yang terpisah. Pertama, kontrak yang memuat hak
dan kewajiban para pihak di bidang perdagangan. Kedua, kontrak yang
memuat kewajiban para pihak untuk menyelesaikan sengketanya yang timbul dari
pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dari kontrak.[4]
Kontrak pertama bersifat otomatis berlaku sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak. Sedangkan kontrak kedua
hanya akan berlaku atau berfungsi manakala timbul sengketa di antara para pihak
sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak yang mereka sepakati.
Pertanyaan mendasar sehubungan dengan karakteristik
klausul arbitrase ini adalah apa yang menjadi tujuan dari adanya pengakuan
terhadap doktrin separabilitas ini? Ada beberapa jawaban terhadap pertanyaan
ini. Pertama, adalah pendapat Gilis Wetter. Beliau tampaknya menggunakan
pendekatan efektivitas dari proses arbitrase. Menurut beliau, karakteristik
independensi dari klausul arbitrase dibutuhkan untuk efektif-nya suatu proses
arbitrase. Kedua, jawaban dapat tampak dari trafaux preparatoire sewaktu
Model Law Arbitration UNCITRAL dibahas. Waktu itu para perancang Model
Law sepakat bahwa karakteristik independensi klausul arbitrase ini
diperlukan semata-mata untuk memberi dasar hukum bagi badan arbitrase untuk
menentukan sendiri status kewenangannya terhadap suatu sengketa.
Dalam perundingan UNCITRAL Model Law terkait agenda
klausul arbitrase, terumuskan pada pasal 16 (1) UNCITRAL Model Law yang
berbunyi sebagai berikut:
“The arbitral tribunal may rule on its own
jurisdiction, including any objections with respect to the existence or
validity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration clause
which forms part of a contract shall be treated as an agreement independent of
the other terms of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the
contract is null and void shall not entail ipso jure the invalidity of the
arbitration clause.”[5]
Masalah lainnya adalah, apakah karakteristik (doktrin)
separabilitas dari klausul arbitrase masih berlaku manakala kontrak
(dagang)-nya sendiri ternyata gagal disepakati? Masalah ini dapat muncul karena
acap kali para pihak dalam proses penandatanganan kontrak dimulai dengan
negosiasi kontrak. Masalah doktrin separabilitas lahir manakala para pihak
telah sepakat mengenai sebagian besar klausul kontrak, termasuk klausul
arbitrase. Sedangkan untuk beberapa hal lainnya, para pihak ternyata tidak atau
masih belum sepakat.
Sebagian
sarjana, seperti Rubino-Sammartano atau Huleatt-James dan Gould berpendapat
bahwa klausul arbitrase atau doktrin separabilitas dalam fakta sekarang ini
tidak berlaku. Dengan demikian adalah logis dengan tidak berlakunya klausul
arbitrase tersebut, maka tidak ada pula kewenangan badan arbitrase untuk memeriksa
atau menangani sengketanya. Argumentasi Huleatt- James dan Gould berbunyi
sebagai berikat:
“Where
the parties have failed to do what is necessary to conclude a contract, it is
difficult, though not impossible ... to see why they might have intended that
an arbitration agreement should come into existence. In such a case, the
tribunal is unlikely to have any jurisdiction.”
Tulisan
ini berpendapat bahwa untuk lahirnya doktrin separabilitas untuk klausul
arbitrase, syarat tertulis untuk klausul arbitrase ini harus terlebih dahulu
terpenuhi. Dalam uraian mengenai syarat tertulis untuk klausul atau perjanjian
arbitrase, syarat tertulis juga diikuti dengan syarat tanda-tangan. Karena itu,
syarat atau faktor tertulis dan adanya tanda tangan inilah faktor-faktor yang
harus terlebih dahulu harus ada agar doktrin separabilitas dapat berlaku atas
klausul arbitrase.
Seperti
telah disinggung di atas, doktrin ini masih relatif baru. Namun demikian
Pengakuan terhadap doktrin separabilitas dapat ditemui dalam berbagai instrumen
hukum, baik hukum nasional, hukum internasional, maupun putusan pengadilan.
Dalam hukum nasional Indonesia misalnya, doktrin separabilitas terdapat dalam
pasal 10 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pasal ini menyatakan antara lain sebagai berikut:
“Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di
bawah ini:
a.
...
Dalam
instrumen hukum internasional, doktrin separabilitas terdapat antara lain dalam
UNCITRAL Arbitration Rules. Pasal 21 ayat 2 Rules UNCITRAL antara lain
menyatakan:
“...
an arbitration clause which forms part of a contact and which provides for
arbitration under the Rules shall be treated as an agreement independent of the
other terms of the contract.”
Sedangkan
dalam putusan pengadilan, Hakim ternama Inggris Lord Diplock dalam sengketa
Bremer Vulkan Schiffbau und Machienenfabrik v. South India Shipping Corporation
Ltd. (1981), mengemukakan sifat independensi klausul arbitrase dari kontrak
(dagang atau kontrak pokok, dalam hal ini kontrak pembangunan kapal) dengan
argumentasi sebagai berikut:
“...
the ship-building agreement, apart from the arbitration clause, had ceased to
be executor; the time for performance of the parties’ primary obligations under
it was past. The arbitration clause on the other hand would continue to remain
executor as long as there were outstanding any disputes between the parties as
to the existence or extent of their secondary obligations under the other
clauses of the ship-building agreement.”[7]
Ø Selanjutnya,
kompetenze-kompetenze merupakan suatu
doktrin terkait dengan kompetensi dari arbiter/ majelis arbitrase untuk
memutuskan kewenangannya (yurisdiksinya) sendiri. Doktrin ini sangat erat kaitannya dengan
doktrin separability (keterpisahan) perjanjian arbitrase. Beberapa pengadilan
Inggris telah mengenal doktrin ini, namun beberapa masih berpendirian bahwa
arbitrase tidak seharusnya memiliki kewenangan ini. Doktrin ini cukup
kontroversial dan sangat bervariasi penerapannya pada satu negara dengan negara
yang lain. Pengadilan Singapura belum menerapkan hal ini, putusan-putusan
terdahulu lebih berpendirian bahwa arbiter/ majelis arbitrase tidak memiliki
kompetensi untuk memutuskan kewenangannya sendiri. Dengan tidak adanya
undang-undang yang mengatur tentang hal itu, ketidakpastian pengaturan mengenai
hal ini hanya dapat diputuskan dengan menerapkan peraturan prosedural yang
menjamin kompetensi tersebut pada arbitrer/ majelis arbitrase.
Keuntungan dengan
memberikan arbiter/ majelis arbitrase kompetensi untuk memutus isu terkait
dengan kewenangannya akan dapat menghindarkan penundaan pemeriksaan perkara dan
pembiayaan yang lebih ringan. Apabila hanya pengadilan saja yang dapat memutus
isu tersebut, maka hal ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak untuk
dengan sengaja menunda pemeriksaan di arbitrase dengan memasukkan permohonan
untuk membatalkan proses pemeriksaan arbitrase yang sedang berjalan.
Di Indonesia,
doktrin ini belum diadopsi. Sehingga belum ada kepastian apakah arbiter/
majelis arbitrase memiliki kompetensi untuk menilai dan memutuskan
kewenangannya sendiri. Dalam praktik sejauh ini, pihak Termohon dalam
jawabannya bisa mengajukan eksepsi kompetensi pada arbiter/ majelis arbitrase,
dan atas adanya eksepsi ini arbiter/ majelis arbitrase akan memutus apakah
dirinya berwenang ataukah tidak, dengan demikian pada dasarnya arbitrase telah
menerapkan doktrin kompetenz-kompetenz meskipun tidak diatur dalam
undang-undang. Sangat jarang pihak Termohon melawan (challenge) yurisdiksi
arbitrase di pengadilan pada awal pemeriksaan perkara di arbitrase. Kebanyakan
pihak yang dikalahkan baru melawannya di pengadilan setelah jatuh putusan
arbitrase melalui upaya pembatalan putusan arbitrase.
Dalam praktik
arbitrase internasional (ICSID, ICC, Permanent Court of Arbitration), dalam
setiap putusan arbitrase meskipun tidak ada perlawanan terhadap yurisdiksi
arbitrase (eksepsi), arbiter wajib mencantumkan pertimbangan mengenai
kewenangannya dalam memeriksa perkara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. “Syarat
Tertulis dan Independensi Klausul Arbitrase”, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, (Number 6/2009).
Soemartono, Gatot. “Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
[1]Gatot
Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hal.70-71.
[2]Ibid.,
hal 73.
[3]
Ibid., hal.76-66.
[4]Huala
Adolf, “Syarat Tertulis dan Independensi Klausul
Arbitrase”, Indonesia Arbitration
Quarterly Newsletter, (Number
6/2009), hal.29.
[5] Ibid.,
hal.30.
[6]Ibid.,
hal.31.
[7] Ibid.,
hal.32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar