Seputar Hukum Pajak
22 Oktober 2013
1.
Margareta Engge Kharismawati, Pajak Tagih Penilap PPh 21, Kontan Jumat
4 Oktober 2013, hal 2
Issue
: Kantor pajak menemukan sekitar 200 perusahaan
yang tidak patuh pada pembayaran PPh 21. Ditjen Pajak sudah mengeluarkan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) kepada perusahaan
tersebut. Namun tidak semua perusahaan dikirimi SKP. SKP hanya diberikan
kepada perusahaan yang dalam penyelidikan terbukti menilap pajak karyawan mereka. Beberapa modus menilap PPh 21 dengan cara
melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari realitas yang dibayarkan oleh
perusahaan. Alhasil beban pajak yang dilaporkan oleh perusahaan ke kantor pajak
juga menjadi lebih rendah. Diperkirakan nilai penyelewengan PPh 21 sebesar
Rp200 miliaran. Pada artikel ini akan dianalisis mengenai status hukum
perusahaan, PPh 21, dasar dikeluarkannya SKP, dan penilapan pajak karyawan oleh
perusahaan.
Rules:
-
UU No.28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
-
UU No.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Analysis
:
‘Perusahaan’
yang dimaksud adalah subjek pajak yang dalam artikel tidak dijelaskan apakah
termasuk subjek pajak dalam negeri atau luar negeri, namun diasumsikan saja
termasuk dalam subjek pajak dalam negeri. Selanjutnya dapat dikatan
“perusahaan” tersebut adalah wajib pajak.
Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No.28 tahun 2007, adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.”Perusahaan” dalam hal ini adalah suatu badan,
yang mana memotong penghasilan karyawannya dan membayarkannya kepada Negara
(kantor pajak).
Penghasilan
kena pajak yang dipermasalahkan disini adalah PPh 21. Terlebih dahulu perlu
diketahui bahwa PPh merupakan pajak langsung (direct tax), artinya pembebanannya langsung dipikul oleh wajib
pajak yang bersangkutan atas objek pajak yang merupakan penghasilan dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain. PPh juga merupakan pajak pusat artinya
dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Ditjen Pajak,
Berdasarkan
pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.36 tahun 2008, PPh 21 yang dimaksud adalah
pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai”, dalam hal ini
dilakukan oleh Perusahaan sebagai pemberi kerja.
Dalam
hal pembayaran PPh 21, “perusahaan” telah menilap pajak karyawan. dengan cara
melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari realitas yang dibayarkan Sehingga
beban pajak yang dilaporkan oleh perusahaan ke kantor pajak menjadi lebih
rendah. Bentuk penilapan perusahaan tersebut merupakan suatu bentuk perlawanan
pajak yang bersifat aktif-illegal yang disebut tax evasion (menyelundupkan pajak).
Adanya
tindakan “perusahaan” yang demikian menimbulkan kerugian bagi kas Negara.
Oleh
sebab itu, Ditjen Pajak sebagai aparatur fiskus disini berkewajiban untuk
menanganinya. Sebagai bentuk kewajibannya, Sebagai bagian dari kewajibannya
dalam hal pemberian sanksi administrasi perpajakan, Ditjen Pajak telah
mengeluarkan SKP untuk beberapa “perusahaan” tersebut. Berdasarkan pasal 1 angka 15 UU No. 36 tahun
2008 , Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Dalam hal
ini adalah SKP Kurang Bayar, yakni surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar (pasal 1 angka 16 UU No.36 tahun 2008). Adanya SKP Kurang Bayar yang
mana menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan (pasal 9 ayat (3)
UU No.36 tahun 2008)
Conclusion:
“Perusahaan” tersebut yang mana merupakan subyek
hukum dalam negeri dan sebagai wajib pajak serta sebagai pemberi kerja harus
melaporkan PPh 21 dengan sebenar-benarnya, dalam hal telah melakukan perlawanan
pajak aktif yang illegal dan telah mendapatkan SKP maka ia harus segera
membayar kekurangan pajaknya.
2.
(Pudyo Saptono, Daerah Minta Otonomi Pajak Pribadi, Suara Karya, Jumat 22 Maret
2013, hal.6)
Issue
: Pemkab Semarang menginginkan adanya kewenangan otonomi pengenaan pajak pribadi
untuk memaksimalkan sektor bagi hasil
pajak penghasilan yang saat ini belum
maksimal. Bagi hasil pajak
penghasilan menjadi kurang optimal salah satunya karena banyak perusahaan di
wilayah ini yang berkantor pusat di
luar kabupaten Semarang, akibatnya perusahaan bersangkutan belum tentu
berkontribusi bagi pendapatan daerah melalui sector penerimaan bagi hasil pajak
penghasilan. Ada banyak juga tenaga
kerja dari luar kabupaten Semarang yang terserap namun keberadaan mereka
sama sekali tidak memberikan kontribusi pajak bagi daerah ini. Sebab
berdasarkan ketentuan pembayaran pajak pribadi harus dibayarkan sesuai domisili
wajib pajak.Pemkab Semarang mengusulkan
supaya kedepan dibuatkan semacam peraturan otonomi mengenai pajak pribadi.
Dalam artikel ini juga dibahas mengenai keberhasilan Pemkab Semarang terkait
kepatuhan wajib pajak yang dihasilkan melalui himbauan Pemkab. Pada artikel ini
akan dianalisis mengenai pajak daerah.
Rules
: - UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
-
UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
-
UU No.36 tahun 2008 Perubahan Keempat atas UU
No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Analysis
:
Pasal
1 angka 2 UU No 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada angka 3 lebih lanjut dijelaskan bahwa pemerintah
daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini pun senada dengan ketentuan
pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 28 tahun 2009. Pemerintah Kabupaten Semarang
memenuhi ketentuan tersebut. Dalam hal ini Pemkab Semarang sebagai suatu daerah
otonom memilik hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (otonomi daerah). Dalam mengurusi daerahnya sendiri, pemerintah
daerah membutuhkan dana. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah
yang tergolong Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pasal
2 angka 2 UU No. 28 tahun 2009 telah menyebutkan mengenai jenis pajak
kabupaten/kota yakni pajak hotel,pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame,
pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak mineral bukan
logam dan batuan, paja sarang burung wallet, PBB Perdesaan dan perkotaan, dan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Selanjutnya berdasarkan ketentuan
pasal 3 UU No. 28 tahun 2009 maka daerah dilarang memungut pajak selain jenis
pajak yang telah disebutkan tersebut. Ini merupakan pembatasan terhadap pajak
daerah.
Berdasarkan
artikel, Pemkab Semarang ingin memiliki kewenangan otonomi pengenaan pajak
pribadi. Pajak pribadi yang dimaksud dalam artikel ini tampaknya adalah pajak
pajak penghasilan (PPh).
Pasal
31C ayat (1) UU No.36 tahun 2008 menyatakan bahwa penerimaan negara dari Pajak
Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat
dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar Ketentuan ini
memperluas pajak daerah. Artinya Pemkab Semarang dapat memiliki pendapatan
berupa PPh. Namun demikian, permasalahan
yang terjadi adalah terkait perusahaan yang berkantor di luar Kab. Semarang dan
tenaga kerja yang berdomisili di luar Kabupaten Semarang, sehingga tidak
terdaftar sebagai wajib pajak di Kabupaten Semarang. Hal ini menyebabkan PPh
tersebut tidak dapat diambil oleh Pemkab Semarang, oleh sebab itu Pemkab
Semarang meminta kewenangan otonomi pengenaan pajak pribadi.
Permintaan
ini pada prinsipnya dapat saja dikabulkan, mengingat bahwa perusahaan dan
tenaga kerja tersebut beroperasi dan bekerja di Kab. Semarang dalam suatu rentang
waktu tertentu. Adanya kriteria keberadaan dan waktu tersebut dapat menjadi
landasan untuk menetapkan wajib pajak terhadap subjek pajak tersebut di Kab.
Semarang.
Conclusion: Meskipun
terdapat pembatasan terhadap pajak kabupaten (pemerintah daerah) dalam UU No.28
tahun 2009 namun UU No.36 tahun 2008 memperluas pajak daerah tersebut, yang
mana PPh termasuk pajak daerah. Terkait
dengan kriteria subjek pajak maka kewenangan otonomi PPh di Kab.Semarang ini
dapat dikabulkan.
3.
Nina Dwiantika dan Adhitya Himawan, Pajak Rumah Mewah Bisa Tekan Spekulan, Kontan,
Jumat 4 Oktober 2013, hal 22
Issue
: Adanya langkah BI untuk memperketat KPR rumah
pertama dan kedua dinilai Ekonom Bank
Danamon sudah tepat, namun hal ini dinilai belum efektif karena harga properti
masih tinggi dan akan terus naik. Agar beleid itu efektif maka pemerintah perlu
menerapkan Pajak Barang Mewah Properti,
khususnya properti mahal. Bila
dihitung rasio pajak bisa sekitar 15%-20% dari harga rumah. Kewajiban pajak
yang besar untuk rumah mahal ini akan menurunkan pertumbuhan property secara
perlahan. Hal ini diyakini akan segera direalisaski Kemenkeu tapi belum
diketahui kapan penerapannya. Namun demikian dalam hal ini perlu dilihat
mengenai dampak aturan uang muka KPR dan larangan inden untuk kredit rumah
kedua. Harus juga memikirkan pengembang,
jangan sampai memberatkan pengembang. Sebab, ekspansi dan laba pengembang besar
akan menurun. Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacob menjelaskan
beberapa Negara di Asia sudah menerapkan pajak tinggi untuk property (rumah dan
apartemen) mewah agar dapat menekan spekulan
properti. BI sebagai pengawas perbankan ini rutin berkoordinasi dengan
Kemenkeu dan Dirjen Pajak untuk pembahasan pemberian pajak besar bagi rumah
mewah. Dirjen Pajak menyambut baik usulan menaikkan pajak penjualan atas barang
mewah PPnBM, dalam hal ini properti. Tapi ia tidak memiliki wewenang mengenai
tarif pajak. Berdasarkan artikel ini akan dibahas mengenai penerapan PPnBM
untuk properti mahal terkait fungsi pajak, asas-asas pemungutan pajak dan
justifikasi pemungutan pajak, serta penggolangan pajak.
Rules :
UU No.42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Analysis
:
Pasal 8 UU No.42 tahun 2009 menyebutkan bahwa :
ayat (1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ayat (2) Ekspor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen). Ayat (3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Ketentuan
mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa mengenai jenis barang mewah dan tarif nya adalah kewenangan
Kementerian Keuangan, yang mana merupakan bagian dari pemerintah.
Fungsi pajak ada 2 (dua) yakni fungsi budgeter
dan fungsi regulerent. Terkait PPnBm untuk properti mahal ini dapat digolongkan
dalam fungsi pajak regulerent. Pemerintah bermaksud untuk mengatur agar
spekulan properti mampu ditekan melalui pajak ini, yang mana dapat dilihat
dimungkin cukup besar, yakni diatas 15%.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut,
pemerintah harus pula memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Salah satu asas pemungutan pajak adalah asas ekonomis,
artinya pemungutan pajak jangan sampai mengambat perekonomian rakyat. Dalam hal
ini adanya PPnBm property mahal secara langsung tampaknya memberatkan para
pengembang. Ekspansi dan laba pengembang besar akan menurun akibat PPnBm
property mahal ini. Meskipun “pengembang” hanya sebagian dari jumlah rakyat
Indonesia, namun pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
hukum perpajakan telah menyebutkan mengenai kedudukan yang sama bagi setiap
orang di dalam hukum dan pemerintahan dan setiap orang wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan tersebut tanpa kecuali.
Hal ini berarti Pemerintah dalam menerapkan PPnBM pada property mahal
ini juga harus mempertimbangkan keberdaan para pengembang, jangan sampai hal
ini justru membuat para pengembang mengalami kesulitan ekonomi apalagi hingga
bangkrut. Dalam hal ini justifikasi pemungutan pajak menjadi hal yang sangat
penting. Teori perjanjian sosial dapat menjadi suatu pembenaran pemerintah.
PPnBm dapat digolongkan sebagai : pajak tidak
langsung, pajak pusat, dan pajak tidak tertulis.
Conclusion:
PPnBm terhadap property barang mewah ini dapat
diterapkan oleh pemerintah dengan harus memenuhi asas pemungutan pajak, jangan
sampai melanggar landasan konstitusional dan harus memiliki suatu pembenaran
(justifikasi) yang berujung pada kepastian hukum sehingga dapat diterapkan
secara efektif nantinya.
- Asep
Munazat Zatnika dan Emma Ratna Fury, Industri
Rokok Minta Tarif Cukai 2014 Tidak Naik, Kontan, Jumat 11 Oktober
2013, hal 20
Issue
: Pengusaha rokok berupaya melobi pemerintah
(Kemenkeu) dan DPR (Komisi XI DPR) agar
tidak mengerek tarif cukai di tahun 2014, sebab perekonomian Indonesia sedang
lesu, tingkat konsumsi masyarakat pun
ikut turun. Alasan lain, karena tahun depan pengusaha rokok mulai
berhadapan dengan pajak rokok yang mana dipungut oleh pemerintah pusat, tapi
alokasinya diberikan kepada pemerintah daerah. Pajak rokok ini akan dikenai
bersamaan dengan cukai rokok oleh Kantor Bea dan Cukai. Selain itu, sesuai UU No.28 tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah, jika pajak rokok naik maka sudah dimasukkan
dalam kenaikan tarif cukai rokokk tahun tersebut. Pengusaha juga mengklaim bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.131 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap
Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Yang Memiliki Hubungan Keterkaitan menyebabkan pabrik rokok kecil yang
merupakan afiliasi dari pabrik besar bisa gulung tikar. Sebab mereka harus membayar cukai rokok dengan tarif yang
sama besarnya dengan pabrik induk. Hingga kini belum ada kepastian soal tarif
cukai rokok tahun depan.Sejak pemerintah gencar menaikkan tarif cukai rokok di
tahun 2009 ribuan perusahaan rokok sudah gulung tikar, akibatnya dalam 5 tahun
terakhir sekitar 195.000 buruh pabrik rokok kehilangan pekerjaannya. Direktur
Penerimaan dan Peraturan Kepabeaan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai menyatakan
pihaknya akan mempertimbangkan usulan pengusaha rokok. Sedangkan DPR setuju
target penerimaan cukai rokok ditambah tahun depan, tapi jangan melanggar undang-undang.
Berdasarkan artikel ini akan dibahas mengenai Pajak Rokok dan keterkaitannya
dengan cukai rokok.
Rules
: - UU
No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Analysis :
Pasal 1 angka 19 UU No. 28 tahun 2009 menyebutkan bahwa Pajak Rokok adalah
pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Lebih lanjut
pengaturan pajak rokok terdapat pada pasal 26 – 31 UU No. 28 tahun 2009. Objek
pajak ini adalah konsumsi rokok, meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun,
dengan pengecualian adalah rokok yang tidak dikenai cukai. Subjek Pajak Rokok
adalah konsumen rokok, sementara wajib Pajak Rokok salah satunya adalah
pengusaha pabrik rokok/produsen. Terkait artikel, maka Pengusaha rokok berupaya
melobi pemerintah (Kemenkeu) dan DPR
(Komisi XI DPR) agar tidak mengenakan tarif cukai terkait dengan mulai
diberlakukannya pajak rokok pada 1 Januari 2014 (pasal 181). Sebab Pajak Rokok
tersebut nantinya dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Adanya
pajak rokok dan ketentuan cukai rokok yang hendak dinaikan tersebut merupakan
penjelmaan fungsi budgeter dan regulerent pajak, yakni sebagai mengisi/menambah
kas Negara agar dapat digunakan salah satunya untuk mendanai sarana dan
prasarana unit layanan kesehatan, penyediaan smoking area, atau kegiatan sosialisasi bahaya rokok; dan mengatur
agar konsumsi rokok menjadi menurun demi peningkatan kesehatan masyarakat,
terutama generasi muda (perokok pemula). Turunnya jumlah konsumen rokok ini
justru dianggap oleh para pengusaha sebagai pelanggaran atas asas pemungutan
pajak yakni asas ekonomi. Adanya cukai rokok yang dinaikan dan pajak rokok
tersebut telah menghambat perekonomian para pengusaha bahkan menyebabkan banyak
pengusaha yang gulung tikar.
Hal
pelanggaran menurut pengusaha ini bila dipandang dari sudut lain maka pada
hakikatnya beban pajak rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di
bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri
rokok mengikuti pertumbuhan alamiah industry itu. Sehingga sebenarnya para pengusaha
tidak akan membayar cukai rokok dengan tarif yang sama besarnya dengan pabrik
induk. Alhasil pelanggaran terhadap asas ekonomi pemungutan pajak tersebut
sebenarnya tidak terjadi.
Penerimaan
Pajak Rokok ini pada hakikatnya baik bagi pemerintah daerah, sebab sebesar 70%
(tujuh puluh persen) hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada
kabupaten/kota.
Adanya
pajak rokok ini di satu sisi merupakan suatu bentuk perlawanan pajak yang
bersifat pasif. Namun disisi lain adalah menambah kas Negara dan berguna bagi
pembangunan.
Conclusion:
Pajak rokok dan cukai rokok pada hakikatnya
bertujuan sangat baik untuk perekonomian maupun social masyarakat. Para
pengusaha disini harus melihat bahwa sebenarnya mereka tidak terlalu dirugikan
dengan adanya pajak rokok ataupun penaikan cukai rokok nanti, sebab apa yang
dibayarkanya tersebut akan kembali dalam bentuk pembangunan yang lebih baik
demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara.
- Anna
Suci Perwitasari dan Asep Munazat Zatnika,Target Setoran Pajak Naik hingga 11% Tahun Depan, Kontan Jumat
27 September 2013, hal 2
Issue
: Pemerintah dan DPR sepakat menggerek
penerimaan pajak sebesar 11,5% dari 2013 menjadi Rp1,208,4 T di tahun 2014.,
yang mana sebenarnya angka ini lebih kecil dari yang tertuang dalam RAPBN 2014.
Sebab pemerintah dan DPR sepakat mengubah beberapa asumsi makro ekonomi seperti
pertumbuhan ekonomi yang semula ditargetkan 6,4% menjadi hanya 6%. Penambahan
penerimaan akan ditargetkan pada PPh non migas sebesar 5 T, dan sisanya dari
penerimaan cukai.
Menanggapi tambahan setoran yang begitu besar
tersebut, Dirjen Pajak menyatakan harusnya target yang harus disetorkan oleh
kantor pajak turun hingga 40 T lagi. Hal ini dikarenakan sektor-sektor usaha
yang memiliki potensi pembayaran pajak terbesar belum pulih dari krisis, sebut
saja sektor pertambangan dan perkebunan. Selain itu, jumlah pegawai pajak yang
masih kurang. Ditjen Pajak memprediksi penerimaan pajak PPN masih bisa tumbuh
tinggi hingga 16,5 % sementara PPh cenderung flat dan untuk PPB cenderung turun
karena makin banyak perintah daerah yang mengambil fungsi Ditjen Pajak.
Pesimisme ini masuk akal, mengingat hingga 24 September realisasi setoran pajak
baru 61,9%, masih kurang banyak sampai setoran akhir tahun 2013.
Berbeda dengan Ditjen Pajak Ditjen Bea cukai
optimis target dalam APBN-P 2013 dapat dilampaui, khususnya cukai yang sudah
72,89% dari target. Peningkatan terbesar ini dipengaruhi oleh penerimaan cukai
hasil tembakau. Maklum volume produksi rokok tahun ini diperkirakan sangat
tinggi, lebih dari 340 miliar batang.Tapi peneriman dari perdagangan
internasional diprediksi lesu. Maklum, aktivitas ekspor dan impor mulai
terlihat lambat tahun ini. Dalam hal artikel ini akan dianalisis mengenai
kekuatan politik dari masing-masing lembaga pemerintahan terkair fungsi pajak
dan asas pemungutan pajak.
Analysis
:
Kebijakan Pemerintah dan DPR tersebut tampaknya
tidak selaras dengan kemampuan Dirjen Pajak sebagai pelaksana teknis kebijakan tersebut. Penaikan
penerimaan pajak sebesar 11,5% dari 2013 menjadi Rp1,208,4 T di tahun 2014,
tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Seharusnnya target setoran
dikurangkan hingga 40 T pada tahun 2014 nanti. Dirjen Pajak bahkan mengatakan
untuk memenuhi target setoran tahun ini saja kantor pajak mengaku kesulitan.
Adanya hubungan antara kebijakan Pemerintah dan
DPR tersebut dengan kemampuan Dirjen Pajak merupakan contoh dari hubungan antara hukum pajak dengan bidang
hukum administrasi. Hukum pajak merupakan serangkaian peraturan mengenai
perpajakan, termasuk mengenai penaikan target setoran pajak tersebut. Di satu
sisi hukum pajak mengharuskan pemungutan pajak yang lebih besar sementara dalam
hukum adminsitrasi nya yang dijalankan oleh Dirjen Pajak tampaklah bahwa
setoran kas negara yang diharapkan tersebut tidak dapat dipenuhi. Hal ini
menunjukan adanya ketidakselarasan internal di dalam pemerintahan. Fungsi pajak terkait harmonization of political wants and economy dalam hal ini tidak tercapai. Kondisi ini sebenarnya tidak dapat
dipersalahkan kepada lembaga-lembaga terkait tersebut. Sebab ini menyangkut
mengenai kondisi ekonomi dan sosial suatu Negara secara keseluruhan (pemerintah
dan rakyat), yang mana selalu berkembang.
Adanya sektor-sektor usaha yang memiliki
potensi pembayaran pajak terbesar namun belum pulih dari krisis serta jumlah
pegawai pajak yang masih kurang menyebabkan political
wants dari pemerintah dan DPR tampak tidak realistis, pun tidak harmonis
dengan kemampuan Dirjen Pajak. Namun demikian pendapatan yang lebih dari sisi
cukai dapat dikatakan menstabilkan perekonomian, sehingga secara tidak langsung
fungsi pajak berupa stabilization of
economy pun dapat tercapai.
Adanya target pajak tahun ini yang dimungkinkan
tidak dapat terpenuhi dapat dikaitkan dengan asas finansial dari pemungutan
pajak. Pengenaan pajak saat ini dapat dikatakan tidak tepat, para wajib pajak
tersebut sedang dalam kondisi krisis. Hal ini diharapkan tidak terjadi lagi di
tahun 2014 nanti. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri bahwa
semuanya tergantung pada situasi perekonomian dan sosial serta hukum tahun 2014
nanti. Oleh sebab itu diharapkan bagi setiap pihak, pemerintah maupun wajib
pajak dapat saling bekerjasama saling memahami hak dan kewajiban masing-masing,
begitupun antara lembaga pemerintah dapat menciptakan suatu keharmonisan dan
solusi bersama dalam mengatasi kesulitan setoran pajak pada kas Negara
tersebut. Semuanya demi pemungutan pajak yang efektif dan efisien serta
tercapainya pembangunan yang diharapkan. Semua kembali pada tujuan utama demi menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tindakan pemerintah terkait pemungutan
pajak ini dapat dijustifikasi dengan teori pembangunan yakni pemerintah
membutuhkan dana untuk melakukan pembangunan. Sekali lagi diperlukan kerjasama
dan keharmonisan semua pihak agar target setoran pajak maupun cukai tersebut
dapat tercapai .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar