Kamis, 02 Mei 2019

Analisis Isu Hukum : Hukum Pajak


Seputar Hukum Pajak

22 Oktober 2013

1.        Margareta Engge Kharismawati, Pajak Tagih Penilap PPh 21, Kontan Jumat 4 Oktober 2013, hal 2
Issue : Kantor pajak menemukan sekitar 200 perusahaan yang tidak patuh pada pembayaran PPh 21. Ditjen Pajak sudah mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada perusahaan  tersebut. Namun tidak semua perusahaan dikirimi SKP. SKP hanya diberikan kepada perusahaan yang dalam penyelidikan terbukti menilap pajak karyawan mereka.  Beberapa modus menilap PPh 21 dengan cara melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari realitas yang dibayarkan oleh perusahaan. Alhasil beban pajak yang dilaporkan oleh perusahaan ke kantor pajak juga menjadi lebih rendah. Diperkirakan nilai penyelewengan PPh 21 sebesar Rp200 miliaran. Pada artikel ini akan dianalisis mengenai status hukum perusahaan, PPh 21, dasar dikeluarkannya SKP, dan penilapan pajak karyawan oleh perusahaan.

Rules:
-          UU No.28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
-          UU No.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Analysis :
‘Perusahaan’ yang dimaksud adalah subjek pajak yang dalam artikel tidak dijelaskan apakah termasuk subjek pajak dalam negeri atau luar negeri, namun diasumsikan saja termasuk dalam subjek pajak dalam negeri. Selanjutnya dapat dikatan “perusahaan” tersebut adalah wajib pajak.  Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No.28 tahun 2007,  adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”Perusahaan” dalam hal ini adalah suatu badan, yang mana memotong penghasilan karyawannya dan membayarkannya kepada Negara (kantor pajak).
Penghasilan kena pajak yang dipermasalahkan disini adalah PPh 21. Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa PPh merupakan pajak langsung (direct tax), artinya pembebanannya langsung dipikul oleh wajib pajak yang bersangkutan atas objek pajak yang merupakan penghasilan dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. PPh juga merupakan pajak pusat artinya dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Ditjen Pajak,
Berdasarkan pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.36 tahun 2008, PPh 21 yang dimaksud adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai”, dalam hal ini dilakukan oleh Perusahaan sebagai pemberi kerja.
Dalam hal pembayaran PPh 21, “perusahaan” telah menilap pajak karyawan. dengan cara melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari realitas yang dibayarkan Sehingga beban pajak yang dilaporkan oleh perusahaan ke kantor pajak menjadi lebih rendah. Bentuk penilapan perusahaan tersebut merupakan suatu bentuk perlawanan pajak yang bersifat aktif-illegal yang disebut tax evasion (menyelundupkan pajak).
Adanya tindakan “perusahaan” yang demikian menimbulkan kerugian bagi kas Negara.
Oleh sebab itu, Ditjen Pajak sebagai aparatur fiskus disini berkewajiban untuk menanganinya. Sebagai bentuk kewajibannya, Sebagai bagian dari kewajibannya dalam hal pemberian sanksi administrasi perpajakan, Ditjen Pajak telah mengeluarkan SKP untuk beberapa “perusahaan” tersebut.  Berdasarkan pasal 1 angka 15 UU No. 36 tahun 2008 , Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Dalam hal ini adalah SKP Kurang Bayar, yakni surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar (pasal 1 angka 16 UU No.36 tahun 2008). Adanya SKP Kurang Bayar yang mana menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan (pasal 9 ayat (3) UU No.36 tahun 2008)

Conclusion: “Perusahaan” tersebut yang mana merupakan subyek hukum dalam negeri dan sebagai wajib pajak serta sebagai pemberi kerja harus melaporkan PPh 21 dengan sebenar-benarnya, dalam hal telah melakukan perlawanan pajak aktif yang illegal dan telah mendapatkan SKP maka ia harus segera membayar kekurangan pajaknya.

2.       (Pudyo Saptono, Daerah Minta Otonomi Pajak Pribadi, Suara Karya, Jumat 22 Maret 2013, hal.6)
Issue : Pemkab Semarang menginginkan adanya kewenangan otonomi pengenaan pajak pribadi untuk memaksimalkan sektor bagi hasil pajak penghasilan yang saat ini belum  maksimal.  Bagi hasil pajak penghasilan menjadi kurang optimal salah satunya karena banyak perusahaan di wilayah ini yang berkantor pusat di luar kabupaten Semarang, akibatnya perusahaan bersangkutan belum tentu berkontribusi bagi pendapatan daerah melalui sector penerimaan bagi hasil pajak penghasilan. Ada banyak juga tenaga kerja dari luar kabupaten Semarang yang terserap namun keberadaan mereka sama sekali tidak memberikan kontribusi pajak bagi daerah ini. Sebab berdasarkan ketentuan pembayaran pajak pribadi harus dibayarkan sesuai domisili wajib pajak.Pemkab Semarang mengusulkan supaya kedepan dibuatkan semacam peraturan otonomi mengenai pajak pribadi. Dalam artikel ini juga dibahas mengenai keberhasilan Pemkab Semarang terkait kepatuhan wajib pajak yang dihasilkan melalui himbauan Pemkab. Pada artikel ini akan dianalisis mengenai pajak daerah.

Rules :  - UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
-          UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
-          UU No.36 tahun 2008 Perubahan Keempat atas UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
           
Analysis :
Pasal 1 angka 2 UU No 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada angka  3 lebih lanjut dijelaskan bahwa pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini pun senada dengan ketentuan pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 28 tahun 2009. Pemerintah Kabupaten Semarang memenuhi ketentuan tersebut. Dalam hal ini Pemkab Semarang sebagai suatu daerah otonom memilik hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (otonomi daerah).  Dalam mengurusi daerahnya sendiri, pemerintah daerah membutuhkan dana. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang tergolong Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pasal 2 angka 2 UU No. 28 tahun 2009 telah menyebutkan mengenai jenis pajak kabupaten/kota yakni pajak hotel,pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak mineral bukan logam dan batuan, paja sarang burung wallet, PBB Perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 28 tahun 2009 maka daerah dilarang memungut pajak selain jenis pajak yang telah disebutkan tersebut. Ini merupakan pembatasan terhadap pajak daerah.
Berdasarkan artikel, Pemkab Semarang ingin memiliki kewenangan otonomi pengenaan pajak pribadi. Pajak pribadi yang dimaksud dalam artikel ini tampaknya adalah pajak pajak penghasilan (PPh).
Pasal 31C ayat (1) UU No.36 tahun 2008 menyatakan bahwa penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar Ketentuan ini memperluas pajak daerah. Artinya Pemkab Semarang dapat memiliki pendapatan berupa  PPh. Namun demikian, permasalahan yang terjadi adalah terkait perusahaan yang berkantor di luar Kab. Semarang dan tenaga kerja yang berdomisili di luar Kabupaten Semarang, sehingga tidak terdaftar sebagai wajib pajak di Kabupaten Semarang. Hal ini menyebabkan PPh tersebut tidak dapat diambil oleh Pemkab Semarang, oleh sebab itu Pemkab Semarang meminta kewenangan otonomi pengenaan pajak pribadi.
Permintaan ini pada prinsipnya dapat saja dikabulkan, mengingat bahwa perusahaan dan tenaga kerja tersebut beroperasi dan bekerja di Kab. Semarang dalam suatu rentang waktu tertentu. Adanya kriteria keberadaan dan waktu tersebut dapat menjadi landasan untuk menetapkan wajib pajak terhadap subjek pajak tersebut di Kab. Semarang. 

Conclusion: Meskipun terdapat pembatasan terhadap pajak kabupaten (pemerintah daerah) dalam UU No.28 tahun 2009 namun UU No.36 tahun 2008 memperluas pajak daerah tersebut, yang mana PPh termasuk pajak daerah.  Terkait dengan kriteria subjek pajak maka kewenangan otonomi PPh di Kab.Semarang ini dapat dikabulkan.

3.       Nina Dwiantika dan Adhitya Himawan, Pajak Rumah Mewah Bisa Tekan Spekulan, Kontan, Jumat 4 Oktober 2013, hal 22
Issue : Adanya langkah BI untuk memperketat KPR rumah pertama dan kedua dinilai  Ekonom Bank Danamon sudah tepat, namun hal ini dinilai belum efektif karena harga properti masih tinggi dan akan terus naik. Agar beleid itu efektif maka pemerintah perlu menerapkan Pajak Barang Mewah Properti, khususnya properti mahal. Bila dihitung rasio pajak bisa sekitar 15%-20% dari harga rumah. Kewajiban pajak yang besar untuk rumah mahal ini akan menurunkan pertumbuhan property secara perlahan. Hal ini diyakini akan segera direalisaski Kemenkeu tapi belum diketahui kapan penerapannya. Namun demikian dalam hal ini perlu dilihat mengenai dampak aturan uang muka KPR dan larangan inden untuk kredit rumah kedua.  Harus juga memikirkan pengembang, jangan sampai memberatkan pengembang. Sebab, ekspansi dan laba pengembang besar akan menurun. Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacob menjelaskan beberapa Negara di Asia sudah menerapkan pajak tinggi untuk property (rumah dan apartemen) mewah agar dapat menekan spekulan properti. BI sebagai pengawas perbankan ini rutin berkoordinasi dengan Kemenkeu dan Dirjen Pajak untuk pembahasan pemberian pajak besar bagi rumah mewah. Dirjen Pajak menyambut baik usulan menaikkan pajak penjualan atas barang mewah PPnBM, dalam hal ini properti. Tapi ia tidak memiliki wewenang mengenai tarif pajak. Berdasarkan artikel ini akan dibahas mengenai penerapan PPnBM untuk properti mahal terkait fungsi pajak, asas-asas pemungutan pajak dan justifikasi pemungutan pajak, serta penggolangan pajak.

Rules : UU No.42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Analysis :
Pasal 8 UU No.42 tahun 2009 menyebutkan bahwa : ayat (1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ayat (2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). Ayat (3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa mengenai jenis barang mewah dan tarif nya adalah kewenangan Kementerian Keuangan, yang mana merupakan bagian dari pemerintah.
Fungsi pajak ada 2 (dua) yakni fungsi budgeter dan fungsi regulerent. Terkait PPnBm untuk properti mahal ini dapat digolongkan dalam fungsi pajak regulerent. Pemerintah bermaksud untuk mengatur agar spekulan properti mampu ditekan melalui pajak ini, yang mana dapat dilihat dimungkin cukup besar, yakni diatas 15%.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, pemerintah harus pula memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Salah satu  asas pemungutan pajak adalah asas ekonomis, artinya pemungutan pajak jangan sampai mengambat perekonomian rakyat. Dalam hal ini adanya PPnBm property mahal secara langsung tampaknya memberatkan para pengembang. Ekspansi dan laba pengembang besar akan menurun akibat PPnBm property mahal ini. Meskipun “pengembang” hanya sebagian dari jumlah rakyat Indonesia, namun pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional hukum perpajakan telah menyebutkan mengenai kedudukan yang sama bagi setiap orang di dalam hukum dan pemerintahan dan setiap orang wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut tanpa kecuali.  Hal ini berarti Pemerintah dalam menerapkan PPnBM pada property mahal ini juga harus mempertimbangkan keberdaan para pengembang, jangan sampai hal ini justru membuat para pengembang mengalami kesulitan ekonomi apalagi hingga bangkrut. Dalam hal ini justifikasi pemungutan pajak menjadi hal yang sangat penting. Teori perjanjian sosial dapat menjadi suatu pembenaran pemerintah.
PPnBm dapat digolongkan sebagai : pajak tidak langsung, pajak pusat, dan pajak tidak tertulis.

Conclusion:
PPnBm terhadap property barang mewah ini dapat diterapkan oleh pemerintah dengan harus memenuhi asas pemungutan pajak, jangan sampai melanggar landasan konstitusional dan harus memiliki suatu pembenaran (justifikasi) yang berujung pada kepastian hukum sehingga dapat diterapkan secara efektif nantinya.
  1. Asep Munazat Zatnika dan Emma Ratna Fury, Industri Rokok Minta Tarif Cukai 2014 Tidak Naik, Kontan, Jumat 11 Oktober 2013, hal 20
Issue : Pengusaha rokok berupaya melobi pemerintah (Kemenkeu) dan DPR  (Komisi XI DPR) agar tidak mengerek tarif cukai di tahun 2014, sebab perekonomian Indonesia sedang lesu, tingkat konsumsi masyarakat pun ikut turun. Alasan lain, karena tahun depan pengusaha rokok mulai berhadapan dengan pajak rokok yang mana dipungut oleh pemerintah pusat, tapi alokasinya diberikan kepada pemerintah daerah. Pajak rokok ini akan dikenai bersamaan dengan cukai rokok oleh Kantor Bea dan Cukai.  Selain itu, sesuai UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, jika pajak rokok naik maka sudah dimasukkan dalam kenaikan tarif cukai rokokk tahun tersebut. Pengusaha juga mengklaim bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.131 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Yang Memiliki Hubungan Keterkaitan menyebabkan pabrik rokok kecil yang merupakan afiliasi dari pabrik besar bisa gulung tikar. Sebab mereka harus membayar cukai rokok dengan tarif yang sama besarnya dengan pabrik induk.  Hingga kini belum ada kepastian soal tarif cukai rokok tahun depan.Sejak pemerintah gencar menaikkan tarif cukai rokok di tahun 2009 ribuan perusahaan rokok sudah gulung tikar, akibatnya dalam 5 tahun terakhir sekitar 195.000 buruh pabrik rokok kehilangan pekerjaannya. Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeaan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai menyatakan pihaknya akan mempertimbangkan usulan pengusaha rokok. Sedangkan DPR setuju target penerimaan cukai rokok ditambah tahun depan, tapi jangan melanggar undang-undang. Berdasarkan artikel ini akan dibahas mengenai Pajak Rokok dan keterkaitannya dengan cukai rokok.

Rules :  - UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analysis : Pasal 1 angka 19 UU No. 28 tahun 2009 menyebutkan bahwa Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Lebih lanjut pengaturan pajak rokok terdapat pada pasal 26 – 31 UU No. 28 tahun 2009. Objek pajak ini adalah konsumsi rokok, meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun, dengan pengecualian adalah rokok yang tidak dikenai cukai. Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok, sementara wajib Pajak Rokok salah satunya adalah pengusaha pabrik rokok/produsen. Terkait artikel, maka Pengusaha rokok berupaya melobi pemerintah (Kemenkeu) dan DPR  (Komisi XI DPR) agar tidak mengenakan tarif cukai terkait dengan mulai diberlakukannya pajak rokok pada 1 Januari 2014 (pasal 181). Sebab Pajak Rokok tersebut nantinya dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Adanya pajak rokok dan ketentuan cukai rokok yang hendak dinaikan tersebut merupakan penjelmaan fungsi budgeter dan regulerent pajak, yakni sebagai mengisi/menambah kas Negara agar dapat digunakan salah satunya untuk mendanai sarana dan prasarana unit layanan kesehatan, penyediaan smoking area, atau kegiatan sosialisasi bahaya rokok; dan mengatur agar konsumsi rokok menjadi menurun demi peningkatan kesehatan masyarakat, terutama generasi muda (perokok pemula). Turunnya jumlah konsumen rokok ini justru dianggap oleh para pengusaha sebagai pelanggaran atas asas pemungutan pajak yakni asas ekonomi. Adanya cukai rokok yang dinaikan dan pajak rokok tersebut telah menghambat perekonomian para pengusaha bahkan menyebabkan banyak pengusaha yang gulung tikar. 
Hal pelanggaran menurut pengusaha ini bila dipandang dari sudut lain maka pada hakikatnya beban pajak rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti pertumbuhan alamiah industry itu. Sehingga sebenarnya para pengusaha tidak akan membayar cukai rokok dengan tarif yang sama besarnya dengan pabrik induk. Alhasil pelanggaran terhadap asas ekonomi pemungutan pajak tersebut sebenarnya tidak terjadi. 
Penerimaan Pajak Rokok ini pada hakikatnya baik bagi pemerintah daerah, sebab sebesar 70% (tujuh puluh persen) hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kota.
Adanya pajak rokok ini di satu sisi merupakan suatu bentuk perlawanan pajak yang bersifat pasif. Namun disisi lain adalah menambah kas Negara dan berguna bagi pembangunan.

Conclusion:
Pajak rokok dan cukai rokok pada hakikatnya bertujuan sangat baik untuk perekonomian maupun social masyarakat. Para pengusaha disini harus melihat bahwa sebenarnya mereka tidak terlalu dirugikan dengan adanya pajak rokok ataupun penaikan cukai rokok nanti, sebab apa yang dibayarkanya tersebut akan kembali dalam bentuk pembangunan yang lebih baik demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara.

  1. Anna Suci Perwitasari dan Asep Munazat Zatnika,Target Setoran Pajak Naik hingga 11% Tahun Depan, Kontan Jumat 27 September 2013, hal 2
Issue : Pemerintah dan DPR sepakat menggerek penerimaan pajak sebesar 11,5% dari 2013 menjadi Rp1,208,4 T di tahun 2014., yang mana sebenarnya angka ini lebih kecil dari yang tertuang dalam RAPBN 2014. Sebab pemerintah dan DPR sepakat mengubah beberapa asumsi makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang semula ditargetkan 6,4% menjadi hanya 6%. Penambahan penerimaan akan ditargetkan pada PPh non migas sebesar 5 T, dan sisanya dari penerimaan cukai.  
Menanggapi tambahan setoran yang begitu besar tersebut, Dirjen Pajak menyatakan harusnya target yang harus disetorkan oleh kantor pajak turun hingga 40 T lagi. Hal ini dikarenakan sektor-sektor usaha yang memiliki potensi pembayaran pajak terbesar belum pulih dari krisis, sebut saja sektor pertambangan dan perkebunan. Selain itu, jumlah pegawai pajak yang masih kurang. Ditjen Pajak memprediksi penerimaan pajak PPN masih bisa tumbuh tinggi hingga 16,5 % sementara PPh cenderung flat dan untuk PPB cenderung turun karena makin banyak perintah daerah yang mengambil fungsi Ditjen Pajak. Pesimisme ini masuk akal, mengingat hingga 24 September realisasi setoran pajak baru 61,9%, masih kurang banyak sampai setoran akhir tahun 2013.
Berbeda dengan Ditjen Pajak Ditjen Bea cukai optimis target dalam APBN-P 2013 dapat dilampaui, khususnya cukai yang sudah 72,89% dari target. Peningkatan terbesar ini dipengaruhi oleh penerimaan cukai hasil tembakau. Maklum volume produksi rokok tahun ini diperkirakan sangat tinggi, lebih dari 340 miliar batang.Tapi peneriman dari perdagangan internasional diprediksi lesu. Maklum, aktivitas ekspor dan impor mulai terlihat lambat tahun ini. Dalam hal artikel ini akan dianalisis mengenai kekuatan politik dari masing-masing lembaga pemerintahan terkair fungsi pajak dan asas pemungutan pajak.

Analysis :
Kebijakan Pemerintah dan DPR tersebut tampaknya tidak selaras dengan kemampuan Dirjen Pajak sebagai pelaksana  teknis kebijakan tersebut. Penaikan penerimaan pajak sebesar 11,5% dari 2013 menjadi Rp1,208,4 T di tahun 2014, tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Seharusnnya target setoran dikurangkan hingga 40 T pada tahun 2014 nanti. Dirjen Pajak bahkan mengatakan untuk memenuhi target setoran tahun ini saja kantor pajak mengaku kesulitan. 
Adanya hubungan antara kebijakan Pemerintah dan DPR tersebut dengan kemampuan Dirjen Pajak merupakan contoh dari  hubungan antara hukum pajak dengan bidang hukum administrasi. Hukum pajak merupakan serangkaian peraturan mengenai perpajakan, termasuk mengenai penaikan target setoran pajak tersebut. Di satu sisi hukum pajak mengharuskan pemungutan pajak yang lebih besar sementara dalam hukum adminsitrasi nya yang dijalankan oleh Dirjen Pajak tampaklah bahwa setoran kas negara yang diharapkan tersebut tidak dapat dipenuhi. Hal ini menunjukan adanya ketidakselarasan internal di dalam pemerintahan.  Fungsi pajak terkait harmonization of political wants and economy  dalam hal ini tidak tercapai.  Kondisi ini sebenarnya tidak dapat dipersalahkan kepada lembaga-lembaga terkait tersebut. Sebab ini menyangkut mengenai kondisi ekonomi dan sosial suatu Negara secara keseluruhan (pemerintah dan rakyat), yang mana selalu berkembang.
Adanya sektor-sektor usaha yang memiliki potensi pembayaran pajak terbesar namun belum pulih dari krisis serta jumlah pegawai pajak yang masih kurang menyebabkan political wants dari pemerintah dan DPR tampak tidak realistis, pun tidak harmonis dengan kemampuan Dirjen Pajak. Namun demikian pendapatan yang lebih dari sisi cukai dapat dikatakan menstabilkan perekonomian, sehingga secara tidak langsung fungsi pajak berupa stabilization of economy pun dapat tercapai.
Adanya target pajak tahun ini yang dimungkinkan tidak dapat terpenuhi dapat dikaitkan dengan asas finansial dari pemungutan pajak. Pengenaan pajak saat ini dapat dikatakan tidak tepat, para wajib pajak tersebut sedang dalam kondisi krisis. Hal ini diharapkan tidak terjadi lagi di tahun 2014 nanti. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya tergantung pada situasi perekonomian dan sosial serta hukum tahun 2014 nanti. Oleh sebab itu diharapkan bagi setiap pihak, pemerintah maupun wajib pajak dapat saling bekerjasama saling memahami hak dan kewajiban masing-masing, begitupun antara lembaga pemerintah dapat menciptakan suatu keharmonisan dan solusi bersama dalam mengatasi kesulitan setoran pajak pada kas Negara tersebut. Semuanya demi pemungutan pajak yang efektif dan efisien serta tercapainya pembangunan yang diharapkan. Semua kembali pada tujuan utama demi menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tindakan pemerintah terkait pemungutan pajak ini dapat dijustifikasi dengan teori pembangunan yakni pemerintah membutuhkan dana untuk melakukan pembangunan. Sekali lagi diperlukan kerjasama dan keharmonisan semua pihak agar target setoran pajak maupun cukai tersebut dapat tercapai .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar