ILPER 29 April 2013
BAB
VI
Lembaga
Negara dan Perundang-Undangan (Sebelum Perubahan UUD 1945)
A.
Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia
Menurut
UUD 1945, Indonesia adalah suatu negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) dengan pengertian bahwa pola
yang diambIl tidak menyimpang dari negara berdasarkan atas hukum pada umumnya (genus begrip), namun disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia, dengan menggunakan ukuran padangan hidup maupun pandangan
bernegara bangsa Indonesia.
Dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 dirumuskan pokok-pokok sistem pemerintahan negara di
Indonesia adalah:
I.
Negara
Indonesia adalah yang berdasar atas hukum (Rechstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)
II. Pemerintahan berdasar atas
sistem konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak
terbatas)
III. Kekuasaan Negara yang
tertinggi di tangan MPR . Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan bernama
MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini berwenang :
-
menetapkan
UUD dan menetapkan GBHN
-
mengangkat
Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Presiden
dalam hal ini harus menjalankan haluan negara menurut GBHN yang telah
ditetapkan oleh Majelis. Presiden juga
wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Kedudukan Presiden adalah di bawah
“Untergeordnet” kepada Majelis
IV. Presiden adalah
penyelanggara pemerintahan yang tertinggi di bawah Majelis
Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan tertinggi dan tanggungjawab adalah
di tangan Presidan
V. Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR
Disamping
Presiden adalah DPR. Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk UU
dan untuk menetapkan APBN. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama
dengan Dewan, akan tetapi tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya
kedudukan Presiden tdak tergantung kepada Dewan.
VI. Menteri Negara ialah
Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada DPR.
Presiden
yang mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Kedudukan para
menteri tergantung pada Presiden, bukan DPR.
VII. Kekuasaan Kepala Negara
tidak terbatas
Meskipun
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan diktator, artinya
diberi kekuasaan yang tidak terbatas.
Presiden
bertanggungjawab kepada MPR.Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh
suara DPR. Kedudukan DPR adalah kuat, ia tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Anggota DPR juga merangkap sebagai anggota MPR.Sehingga DPR juga dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Apabila Dewan menganggap bahwa
Presiden sungguh melanggar hukum negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau
oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa
minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri
negara bukan pegawai biasa, mereka adalah yang terutama menjalankan kekuasaan
Pemerintah dalam praktek. Untuk menetapkan politik Pemerintahan Negara, para
Menteri bekerja bersama satu sama lain di bawah pimpinan Presiden.
Dapat disimpulkan bahwa di
Negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif
(pemegang kekuasaan pemerintahan) dan juga legislatif dengan persetujuan DPR
(membentuk Undang-Undang).
Dalam kehidupan kenegaraan
yang berlaku dan sesuai ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, Indonesia tidak
menganut ajaran Trias Politica (Montesquieu) dengan
adanya pemisahan kekuasaan (separation of
powers).
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 dan Penjelasannya, pemegang ketga kekuasaan
negara di Indonesia dilakukan oleh :
-
Kekuasaan
eksekutif dipegang oleh Presiden
-
Kekuasaan
legislatif dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR
-
Kekuasaan
yudikatif dipegang oleh MA dan Badan-Badan Peradilan lainnya
Oleh karena itu Indonesia
sebenarnya menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of powers)
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
B.
Presiden sebagai Penyelenggara
tertinnggi Pemerintahan Negara
Di
dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan) dirumuskan sebagai berikut
:
“Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”
Artinya
Presiden adalah Kepala Pemerintahan di Negara Republik Indonesia. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan pemerintahan
disini?
-
Menurut
Jellinek, pemerintahan mengandung 2 arti, yanki arti formal dan arti material.
Pemerintahan dalam arti formal
mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan memutus, sedangkan dalam arti
material berisi unsur memerintah dan unsur melaksanakan. Berdasarkan hal
tersebut dari ketentuan pasal 4 ayat 1 UUD 1945 dapat ditarik kesimpulan bahwa
kekuasaan pemerintahan mengandung juga kekuasaan pengaturan dalam arti
membentuk peraturan. Hal ini sesuai dengan pendapat yan Wijk dan W.Koninjnenbelt
yang menyatakan bahwa pelaksanaan (uitveoring) dapat berarti pengeluaran
penetapan-penetapan atau berupa perbuatan-perbuatan nyata lainnya ataupun
berupa pengeluaran peraturan-peraturan lebih lanjut.
-
Menurut
Van Vollen Hoven, pengertan pemerintahan (regering)
bisa berarti sebagai lembaga (overhead)
dapat pula berarti sebagai suatu fungsi. Pemerintah dalam arti luas terdiri
dari 4 fungsi : bestuur
(ketataprajaan), regeling
(pengaturan), politie
(keamanana/kepolisian), dan rechtspraak
(peradilan).
Pemerintah
dalam arti lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan UUD 1945
adalah Presiden. Presiden RI adalah Penyelenggara tertinggi Pemerintahan
Negara, yang menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti luas bang
menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan.
C.
Presiden sebagai Penyelenggara
Pemerintahan dan Perudang-undangan
Sebagaimana
pendapat Van Vollen Hoven diatas, maka sebagai penyelenggara pemerintahan,
Presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, olleh
sebab itu Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di negara
Republik Indonesia.
Fungsi
pengaturan ini terlihat dalam :
-
pembentukan
Undang-undang dengan persetujuan
DPR, sesuai pasal 5 ayat (1) UUD 1945
-
pembentukan Peraturan Pemerintah (PP),
berdasarkan pasal 5 ayat (2) UUD 1945
-
pembentukan Peraturan Pemerintah PenggantI
Undang-Undang (PERPU), berdasarkan pasal 22 ayat (1) UUD 1945
-
pembentukan Keputusan Presiden (KEPRES) , berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
D.
Presiden sebagai Pemegang
Kekuasaan membentuk Undang-undang dengan Persetujuan DPR
Dalam
pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan) disebutkan bahwa, “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Sedangkan
dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, “Kecuali executie power, Presiden bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat menjalankan legislatiye
power dalam negara”
Perumusan
pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan membentuk
undang-undang ada di tangan Presiden, sedangkan DPR mempunyai fungsi memberikan
persetujuan, yakni menerima atau menolak RUU yang diajukan oleh Presiden.
Sementara
itu bila dihubungkan dengan perkataan “bersama-sama” dalam Penjelasan pasal
tersebut maka A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa sesuai dengan KBBI perkataan
“bersama-sama” artnya adalah “berbarengan dengan atau serentak”, dimana dapat
disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan Undang-Undang (UU) tetap pada Presiden
dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada DPR. Agar UU tersebut dapat
terbentuk kedua kewenangan tersebut dilaksanalan bersama-sama, berbarengan,
serentak.
E.
DPR Memberi Persetujuan Setiap
Rancangan Undang-Undang
Dari
rumusan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka selanjutnya akan dibahas mengenai apa yang
dimaksud “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Dalam
KBBI, kata “persetujuan” diartikan dengan “pernyataan setuju” sedangkan kata
“setuju berarti “sepakat”, selain itu kata menyetuji juga berarti “membenarkan”
atau “mengiyaka”.
Kalimat
“dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945
bila dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan
“Dewan ini harus memberikan persetujuannya
kepada tiap-tiap rancangan undang-undang dari pemerintah”, tidak berati
bahwa DPR harus selalu setuju terhadap semua RUU dari Pemerintah. Setiap RUU
pemerintah itu tidak boleh dikesampingkan, tetapi DPR haruslah memberikan suatu
“consen” atau “kesepakatan” dalam arti menolak atau menerima RUU tersebut.
Dengan demikian perkataan dengan persetujuan DPR itu seharusnya diartikan
dengan kesepakatan/dengan persesuaian DPR.
F.
Hakikat Undang-undang
menurut Rousseau (kebenaraan mutlak)
Menurut
Rousseau, tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari
para warganegaranya, dalam batas-batas
perundang-undangan. Dalam hal ini, pembentukan undang-undang adalah menjadi hak
rakyat sendiri untuk membentuknya sehingga undang-undang itu merupakan penjelmaan
dari kemauan/kehendak rakyat.
Menurut
Rousseau, undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum, dimana dalam hal
ini seluruh rakyat secara langsung mengambil bagian dalam pembentukan aturan
masyarakat tanpa perantara wakil-wakil. Rakyat yang dimaksud disini bukanlah
penjumlahan dari indiyidu-indiyidu, tetapi kesatuan yang dibentuk oleh indiyidu-indiyidu
itu melalui suatu perjanjian masyarakat. Kehendaknya ini disebut sebagai
“kehendak umum” yang dianggap mencerminkan kemauan/ kehendak umum.
Dapat
disimpulkan bahwa “rakyat itu harus tunduk dan mematuhi setiap undang-undang”
dikarenakan itu merupakan kehendak umum dari masyarakat yang telah dilimpahkan
kepada wakil-wakil rakyat.
Di
Indonesia, kemauan (kedaulatan) rakyat ini diserahkan rakyat kepada Lembaga tertinggi
yakni MPR, selanjutnya MPR menyerahkan pelaksanaan kedaulatan ini kepada
Presiden sebagai mandatarisnya. Selanjutnya Presiden membentuk peraturan
perundang-undangan, yang salah satunya adalah membentuk UU dengan persetujuan
DPR.
G.
Cita Negara dan Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum (rechstaat)
dan rumusan ini dilandasi oleh suatu Cita Negara Integralistik sebagaimana
disebutkan oleh Soepomo dalam rapat BPUPKI 31 Mei 1945. Cita negara merupakan
dasar pembentukan negara (dalam hal ini harus dibedakan antara pengertian
“dasar pembentukan” dan “dasar negara”). Dasar negara kita adalah Pancasila,
sementara cita negara berperan dalam menentukan susunan negara dan proses
kehidupan negara. Cita negara ini terkait pula dengan riwayat hukum dan lembaga
sosial suatu negara.
Politik
Pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan “social structuur”
masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang dan harus disesuaikan dengan
panggilan zaman. Cita Negara Indonesia oleh Soepomo diberi nama Cita “Negara
Persatuan”, yang kemudian dituangkan dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD
1945.
Menurut
A.Hamid.S.Attamimi, sebaiknya untuk selanjutnya tidak digunakan istilah “cita
negara integralistik” atau cita negara totaliter” yang mana dapat mengundang
kesalahpahaman, lebih baik menggunakan istilah “cita negara kekeluargaan” atau
“cita negara persatuan”.
H.
Lembaga-Lembaga Negara
Lainnya
Selain
lembaga-lembaga negara tersebut diatas , dalam UUD 1945 dikenal 4 lembaga
negara lainnya,yakni : MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA.
Menurut
Prayudi Atmosudirdjo, Susunan Penguasa Negara adalah sebagai berikut :
i.
Penguasa
Kostitutif : MPR
ii.
Penguasa
Legislatif : Presiden dan DPR
iii.
Penguasa
Eksekutif = Pemerintah = Presiden (dengan dibant pejabat-pejabat pemerintah)
iv.
Penguasa
Adminsitratif = Administrato Negara = Presiden (dengan mengepalai Administrasi
Negara)
v.
Penguasa
Militer = Presiden (dengan membawahi Angkatan Perang)
vi.
Penguasa
yudikatif = MA (dengan membawahi Aparatur Peradila/ Korsa Hakim)
vii.
Penguasa
Konsultatif : DPA
viii.
Penguasa
Inspektif : BPK
Berdasarkan uraian diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa dengan sistem pemerintahan Negera Indonesia
sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, maka Lembaga-Lembaga Negara dalam perundang-undangan adalah Presiden
dengan persetujuan DPR. Selanjutnya mengenai tunduknya setaip warga
negara terhadap suatu Undang-Undang dilandasi suatu pemahaman bahwa
Undang-undang itu merupakan hasil dari lembaga legislatif (Presiden) dengan
persetujuan wakil-wakil rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar