7
April 2014
1. Jelaskanlah bagaimana hukum
dipersepsikan dalam pandangan Antropologi Hukum. Kemudian, bandingkanlah dengan
definisi hukum dalam pandangan Ilmu hukum (nilai 0-15).
Jawaban :
Disiplin
hukum terdiri atas 3 bagian yakni ilmu hukum, politik hukum dan filsafat hukum.
Adapun Ilmu hukum merupakan kumpulan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan,
meliputi, antara lain : ilmu tentang kaedah, ilmu pengertian dan ilmu tentang
kenyataan. Ilmu tentang kenyataan menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau
sikap tindak. Adapun salah satu dari ilmu tentang kenyataan adalah antropologi
hukum. Menurut Ch Winick, antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada
masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses
modernisasi.[1]
Adapun
arti hukum, menurut P.Moedikdo, dapat ditujukan pada cara-cara untuk
merealisasikan hukum tersebut dan juga pada pengertian yang diberikan oleh
masyarakat. Menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian yang diberikan oleh
masyarakat dapat berupa, antara lain, hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau
sikap tindak yang teratur, hukum sebagai ilmu pengetahuan dan hukum sebagai
kaedah. [2]
Selanjutnya,
dalam pandangan antropologi hukum, hukum diartikan sebagai salah satu aspek
dari kebudayaan. Hal ini dikarenakan hukum dirumuskan, ditetapkan dan
diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat. Adapun yang dimaksud
dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah hasil budi daya manusia
(kesuluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia) untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang dijadikan miliknya sendiri dengan cara belajar[3]. Setiap
kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan serta merta artinya memiliki hukum
juga, meskipun bentuk dari hukum berbeda-beda yakni ada yang tertulis maupun
tidak tertulis.
·
Menurut T.O.Ihromi : Antropologi hukum
adalah studi ilmiah tentang hukum dengan pendekatan ilmu sosial. Hal ini
berbeda dengan ilmu hukum dogmatis. [4] Hukum
dalam pandangan antropologi hukum memiliki fungsi pedoman berlaku dan
pengendalian sosial (TOI). Dalam hal
Pedoman berlaku maka hukum sebagai perangkat peraturan yang memberikan pedoman
bagi anggota masyarakat untuk berperilaku. Hal ini dianut oleh Hoebel. Pedoman
bertingkah laku merupakan “blue print” berisi seperangkat nilai yang
diinternalisasikan terus menerus. Sementara dalam hal pengendalian sosial, maka
hukum terlebih dahulu melalui suatu proses pengajaran. Hal yang diajarakan
adalah nilai-nilai atau norma-norma sosial. Norma sosial tersebut
diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari keperibadian dan perilaku
anggota masyarakat sesuai dengan yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Dalam
proses tersebut, maka tidak semuanya berjalan lancar, terdapat pula
pengingkaran norma yang memiliki sanksi beragam tergantung dari berat atau
ringannya pengingkaran/pelanggaran norma. Hal ini dianut oleh Laura Nader.
Menurutnya, agar mendapatkan gambaran yang tepat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan proses pengendalian masyarakat maka harus dikenal terlebih
dahulu nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut. Adanya
antropologi hukum disini bertugas untuk melihat fungsi hukum dalam rangka
mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut dalam kehidupan bersama manusia
tersebut.
·
Menurut Radcliffe Brown, berdasarkan
pandangan etnosentrime melihat masyarakat di luar Negara Barat sebagai
masyarakat yang belum berbentuk Negara. Dengan belum berbentuk negara artinya
masyarakat tersebut juga belum memiliki hukum (stateless sama dengan lawless).
Adapun yang dimaksud Etnosentrisme merupakan pandangan yang melihat dan
mengkaji sistem hukum masyarakat non-Barat dengan menggunakan kerangka berpikir
sistem hukum barat. Meskipun di dalam masyarakat tersebut terdapat ketertiban,
namun hal tersebut dipandang tidak disebabkan karena adanya hukum, melainkan
dikarenakan adanya sikap taat adat yang spontan dan otomatis.
·
Sementara itu, menurut Adamson Hoebel
dengan melihat pada masyarakat Indian Amerika, maka yang dimaksud hukum adalah
norma sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan apabila
norma sosial tersebut dilanggar maka akan ditindak oleh otoritas sosialnya.
·
Menurut Bohanan (1989 : 59) hukum sebaiknya
dipandang sebagai perangkat kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak
oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain (reciprocity)
yang telah dilembagakan lagi dalam lembaga-lembaga hukum agar masyarat dapat
terus berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang
dipertahankan melalui cara demikian (double institutionalization). Hukum disini
harus dibedakan dari norma (aturan) dan kebiasaan (seperangkat norma yang
panjang). Hukum adalah sesuatu yang justiciable
yang diintepretasi dan dire-intepretasikan oleh lembaga hukum.
·
Selanjutnya menurut Franz van Benda-Beckmann
maka yang dimaksud dengan hukum terdiri atas hal normatif dan kognitif.
Normatif berarti ada hal yang dibolehkan dan dilarang, sementara kognitif
berarti adanya pengetahuan berdasarkan kepentingan.
·
Mempelajari hukum dalam konteks pandangan Antropologi
Hukum tidak cukup belajar substansinya saja, tetapi juga mempelajari
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari lengkap dengan latar belakang
kebudayaan masyarakatnya. Posipil membedakan antara hukum dan kebiasaan dengan
4 atribut atau sifat hukum yakni 1) otoritas, hukum adalah keputusan yang
dihasilkan oleh pihak yang berwenang untuk itu yakni otoritas sosial ; 2) universalitas, hukum keputusan yang
berlaku secara universal dan berlaku panjang;
3) obligatio, bukan obligation artinya hukum harus mengatur masalah hak
dan kewajiban dari anggota masyarakat secara timbal balik; 4) atribut berupa mekanisme pemaksa dalam
bentuk sanksi.
Hukum
bila dipandang sebagai kaedah berarti hukum adalah pedoman atau patokan untuk
berperikelakuan atau bersikap tindak dalam kehidupan. Adapun tata kaedah hukum
terbagi atas tata kaedah aspek hidup pribadi (yakni kaedah kepercayaan dan
kesusilaan) dan tata kaedah aspek hidup antar pribadi (yakni kaedah sopan
santun dan hukum). [5]
Kaedah hukum berbeda dengan kaedah sosial lainnya, namun demikian tidak dapat
dipisahkan, pelaksanaannya saling menguatkan satu sama lain. Kaedah hukum dapat
diartikan sebagai keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya sebagai suatu
sanksi.[6] Hukum
mengatur hubungan hukum, yakni ikatan antara individu dan masyarakat dan antara
individu itu sendiri. Ikatan itu tercermin pada hak dan kewajibannya. Sebagai
suatu kaedah maka hukum merupakan apa yang seharusnya seseorang bertingkah laku
(das sollen). Kaedah hukum tidak
berisikan kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit (das sein). Kaedah hukum bersifat memerintah, mengharuskan atau
prekriptif. Sifat dari kaedah hukum adalah pasif. Agar menjadi aktif maka
diperlukan suatu rangsangan, yakni peristiwa konkrit (das sein). Adapun peristiwa konkrit yang terjadi sesuai kaedah
hukum disebut peristiwa hukum.
Pada intinya, dalam persepsi antropologi
hukum, hukum lebih dipandang sebagai kenyataan yang terjadi di dalam
masyarakat. Sementara itu dalam pandangan
kaedah hukum maka hukum adalah sesuatu yang seharusnya terjadi di dalam
masyarakat.
2. Produk Hukum dan pelaksanaannya adalah
cerminan dari masyarakat tempat hukum itu berada. Setujukah Anda dengan
pernyataan tersebut? Bagaimanakah pendapat Mark D West dalam tulisannya
berkenaan dengan keterkaitan antara hukum dan budaya masyarakat? Bagaimana
dengan pendapat Anda sendiri? Berikanlah contoh kasus empirik dari artikel
surat kabar/media online yang mendukung jawaban Anda tersebut dan jangan lupa
lampirkan print out dari berita tersebut pada lembar jawaban Anda (nilai 0-15).
Jawaban :
Mark
D West dalam tulisannya berkenaan dengan keterkaitan antara hukum dan budaya
masyarakat berpendapat bahwa sistem hukum sangat berkaitan dengan perilaku
masyarakat dimana sistem hukum tersebut berada. Sebagaimana di dalam tulisannya
Losers : Recovering Lost Property in
Japan and the United States[7] Mark
D.West mencontohkan ketaatan terhadap produk hukum Negara berupa aturan bahwa
barang yang ditemukan yang bukan miliknya harus diserahkan kepada pihak yang
berwenang.
Dalam
tulisannya Mark D.West mencontohkan penemuan barang hilang di Jepang dan US,
misalnya antara lain dompet, handphone, dan payung. Pada faktanya ditemukan
bahwa masyarakat Jepang jauh lebih mematuhi hukum tersebut daripada masyarakat
di US., yakni jujur mengembalikan barang tersebut. Pada masyarakat Jepang
apabila ada yang menemukan barang hilang (yang bukan miliknya tersebut) maka
mereka akan memberikan barang tersebut kepada aparat terkait lost and found, hal ini terjadi
sebaliknya pada masyarakat di US. Peristiwa tersebut mencerminkan tingkat
kejujuran yang tinggi pada masyarakat Jepang.
Tingkat
kepatuhan dan kejujuran masyarakat Jepang dapat dilihat sebagai hasil dari
sejarah, norma kebiasaan, sarana, sistem hukum yang keseluruhannya saling
berkaitan. Keselurahan hal tersebut merupakan hasil daya cipta manusia
(kebudayaan) setempat. Pada masyarakat Jepang, sejak zaman dahulu, yakni pada
pemerintahan Meiji maka aturan sebagaimana pengembalian barang hilang telah
ada. Sejak pemerintahan Meiji tersebut hal ini dipatuhi oleh masyarakat Jepang
dan menjadi kebiasaan hingga saat ini. Pun ketika ada produk hukum tersebut
(lagi) saat ini maka hal tersebut cenderung dipatuhi karena sebelumnya telah
menjadi kebiasaan. Kepatuhan tersebut juga didukung oleh sarana yang disediakan
pemerintah yakni police box di
berbagai tempat. Sehingga memudahkan untuk melakukan pengembalian. Pun adanya
sistem hukum berupa penerapan reward
dan punishment yang efektif. Sebagai reward, orang yang mengembalikan barang
tersebut bisa mendapatkan keuntungan sebesar 15-20% ataupun bahkan dapat
memliki barang tersebut bila pemiliknya tidak mengambilnya, sedangkan sebagai punishment maka apabila orang yang
menemukan barang tersebut tidak mengembalikan barang tersebut dan menggunakan
barang yang bukan miliknya tersebut maka ia akan didenda sebesar 100.000 yen.
Adapun budaya malu pada masyarakat Jepang juga menjadi salah satu faktor. Malu
untuk mengambil barang milik orang lain. Pun terkait dengan lingkungan tempat
tinggal masyarakat Jepang yang cenderung hidup di tempat yang tidak luas,
sehingga sedikit ruang untuk menyimpan banyak barang dan terutama barang-barang
yang tidak berguna. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat US. Pada intinya Mark D West menjelaskan bahwa
suatu hukum bergantung dari budaya masyarakat setempat, baik terkait
pembentukan hukum (produk hukum) maupun pelaksanaan hukum tersebut.
Saya setuju dengan pendapat
bahwa produk Hukum dan pelaksanaannya adalah cerminan dari
masyarakat tempat hukum itu berada. Berikut alasan saya :
Manusia
merupakan zoon politicon, artinya
tidak dapat hidup sendiri, harus saling berinteraksi satu sama lain. Hal ini
dikarenakan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, misalnya
untuk memenuhi kebutuhan makan maka manusia membutuhkan nasi dan lauk pauk,
nasi berasal dari padi yang ditanam dan lauk pauk dapat berupa hasil ternak.
Manusia tidak dapat secara sendiri memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia konsumsi
tersebut membutuhkan manusia yang memproduksi beras dan lauk pauk tersebut.
Dalam
berinteraksi maka tercipatalah hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya. Dalam hal terdapat kesamaan nilai dan norma maka individu-individu
tersebut berkumpul membentuk suatu kelompok, yang apabila kecil dapat disebut
sebagai keluarga, dan apabila kelompok tersebut menjadi besar maka disebut
sebagai masyarakat. Adapun guna menjaga keharmonisan di dalam masyarakat,
mencegah dan menanggulangi konflik maupun sengketa, menciptakan ketertiban dan
keamanan di dalam suatu masyarakat maka dibuatlah serangkaian aturan yang
menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bersama tersebut. Adapun serangkain
aturan/pedoman tersebut disertai dengan adanya sanksi dari otoritas sosial di
dalam masyarakat sehingga terdapat suatu kekuatan dalam pelaksanaan aturan/pedoman
tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai produk hukum.
Adapun
produk hukum tersebut bersifat khas antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Hal ini dikarenakan setiap
masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang khas. Kekhasan tersebut
merupakan hasil dari daya cipta masyarakat yang ada pada tempat dimana
masyarakat tersebut berada. Kekhasan tersebut dapat disebabkan, antara lain,
karena kondisi alam, sejarah terbentuknya masyarakat tersebut, dan tradisi yang
dipertahankan secara turun temurun. Hal ini berarti dalam hal penciptaan produk
hukum suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda. Sebagai contoh adalah hukum perkawinan pada
masyarakat hukum adat sasak (Lombok,Nusa
Tenggara Barat).
Berasarkan
artikel pada LAMPIRAN I, diketahui bahwa
Wanita
Sasak dari kalangan bangsawan dibatasi hanya dapat menikah dengan sepupu mereka
atau seorang bangsawan dari kelas sosial yang sama. Apabila mereka menikah dengan rakyat biasa,
wanita Sasak tersebut akan kehilangan gelar mereka, berisiko diasingkan, serta
kehilangan hak warisnya. Mereka dilarang kembali ke desa asal mereka, kecuali
dalam keadaan luar biasa seperti kematian orang tua - dan itupun hanya untuk
memberikan penghormatan untuk hari itu saja. Ini merupakan suatu tradisi yang
turun temurun wajib dilaksanakan oleh wanita Sasak. Demikianlah nilai
perkawinan menurut masyarakat hukum adat Sasak. Hal ini menjadi suatu tradisi
yang diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat hukum adat Sasak dan
masih dipatuhi hingga saat ini. Tradisi
ini dimaksudkan untuk melestarikan kemurnian sistem kelas Sasak. Adapun sebagai
konsekuensi dari hukum adat Sasak tersebut maka tidak sedikit wanita sasak dari
kalangan bangsawan yang memilih untuk melajang hingga tua daripada harus
menikah dengan orang yang dicintainya dan kehilangan segalanya ataupun menikah
dengan orang yang tidak dicintainya dan tidak bahagia, seperti halnya Baiq.
Namun demikian ada pula wanita Sasak dari kalangan bangsawan yang memilih untuk
kehilangan kelas dan segalanya demi orang yang dicintainya, sebagaimana kasus
ibunya Pipit (seorang bangsawan Sasak) yang meninggalkan desa Sasaot di Lombok
Barat untuk belajar di Universitas Mataram dan
bertemu serta kemudian menikah dengan seorang Hindu non-Sasak. Hal ini
dikarenakan meningkatnya mobilitas
masyarakat modern, pendidikan dan kekuatan ekonomi secara perlahan melonggarkan
batasan hukum adat untuk beberapa orang Sasak. Islam.
Artikel tersebut menggambarkan bahwa suatu
kebudayaan yang selanjutnya menjadi norma hukum adat yang wajib dipatuhi oleh
masyarakat hukum adat tersebut merupakan contoh bahwa dalam pembentukan hukum
tersebut ditentukan oleh tradisi (kebudayaan) masyarakat setempat yang sudah
pasti berbeda dengan masyarakat lainnya, karena sifatnya khas.
Sebagai sesuatu yang khas maka produk hukum tersebut hanya bisa berjalan
efektif (dipatuhi) oleh masyarakat bersangkutan. Dalam artikel hukum perkawinan
demikian hanya berlaku bagi masyarakat hukum adat Sasak. Sehingga adapun dalam pelaksanaan produk hukum tersebut, maka hal
ini sangat bergantung pada masyarakat yang bersangkutan. Adanya kepatuhan
masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai cerminan
dari masyarakat tempat hukum tersebut berada. Kepatuhan Baiq maupun
penyimpangan yang dilakukan oleh ibunya Pipit adalah cermin dari pelaksanaan
hukum tersebut.
3. Jelaskan dan bandingkan antara kajian
pluralisme hukum klasik dengan kajian pluralisme hukum perspektif global.
Silakan pergunakan tulisan Eriksen, Snyder, Nader, Tamanaha, Benda-Beckmann yang telah dibahas dalam
diskusi di kelas sehingga dapat memperkuat penjelasan Anda. Penggunaan slide
kuliah saja untuk menjawab akan berpengaruh pada nilai yg tidak maksimal (nilai
0-20 point)
Jawaban :
Perkembangan
kajian pluralism hukum secara umum terbagi atas 2 yakni kajian pluralisme hukum
klasik (terdiri atas mapping/pemetaan, interaksi antar sistem hukum, dan
pilihan-pilihan hukum individu) dan kajian pluralisme hukum perspektif
global. Menurut Sulistyowati Irianto
(2000) Pemetaan dilakukan keberadaan seluruh sistem hukum yang hadir dalam
masyarata (hukum Negara. Hukum adat, hukum agama, bidang-bidang sosial semi
otonom, hukum internasional, hukum transnasional). Selanjutnya melakukan
analisis terhadap interaksi, kompetisi diantara sistem hukum yang ada.
Berikutnya melakukan analisis terhadap pilihan-pilihan hukum yang dilakukan
individu.Sementara pluralism hukum dalam perpektif global membahas mengenai
adanya interdependensi antara berbagai sistem hukum yang ada, kontestasi, difusi
antara sistem-sistem hukum yang ada, kajiannya bersifat multi spasial dan multi
situs, sifatnya borderless dan modern.
Thomas
Hylland Eriksen, dalam artikelnya Multiculturalism,
Individualism, and Human Rights: Romanticism, The Enlightenment, and Lessons
from Mauritus[8]
pada intinya menjelaskan mengenai bagaimana kencenderungan berbagai etnik untuk
saling bermusuhan/perang. Namun demikian hal ini tidak terjadi di Mauritius
(wilayah dengan keragaman ras,agama, suku bangsa, Bahasa, dan lainnya).
Multikulturalisme di Mauritius mampu berlangsung secara harmonis, dengan adanya
suatu interaksi yang saling menghargai, bertoleransi,dan manajemen kompetisi
yang baik Adanya variasi kebudayaan yang
beragam merupakan suatu tantangan politis. Keberadaan persamaan hak merupakan
suatu kontradiksi dari hak untuk berbeda.
Adanya keberagaman etnik di Mauritius adalah contoh keharmonisan
kehidupan masyarakat yang multikultural, yakni dengan terdapatnya Hindus, “Creoles” of African descent, Indian
muslims, Tamils and Telugus, orang-orang cina, dan prancis dan lainnya yang
hidup bersama di Indian Ocean. Kehidupan di Mauritus tersebut menjadi contoh
bagi sistem British Westminer. Sebagaimana banyak etnik dalam suatu masyarakat,
permasalah terkait sekolah, agama dan Bahasa adalah hal yang rumit dan
kontroversial di Mauritius. Namun demikian, terdapat kompromi atas 3 hal tersebut oleh masyarakat
di dalamnya. Kunci dalam menghadapi multikulturalisme ini adalah adanya
individualisme, yakni dihargainya hak-hak individu tersebut dengan bertoleransi
dengan hak-hak individu lainnya. Multikulturalisme yang baik merupakan
percampuran antara berbagai dalam perbedaan.
Dalam hal politik, pendidikan, pasar, segala sesuatunya harus
dilembagakan dalam suatu dialog bersama. Adanya dialog menyebabkan berbagai
suara dapat didengarkan dan segala permasalahan dapat disampaikan dan
dipecahkan secara bersama-sama. Keterbukaan dan komunikasi yang baik merupakan
solusi pada masyarakat yang multikultural.
Francis Snyder, dalam artikelnya Governing Economic Globalization : Global
Pluralism and European Union Law[9] memaparkan bahwa perkembangan ekonomi
yang semakin menjadi global (global economic networks) memerlukan dukungan
secara total dari berbagai sekor, termasuk hukum yang berlaku. Jaringan ekonomi
global membutuhkan totalitas strategi,
situasi yang tepat, dan hubungan dengan berbagai institusi, norma-norma,
dan berbagai proses di dunia. Perkembangan ekonomi global tersebut terkait
dengan perkembangan industry mainan yang sangat ditentukan oleh strategi
perusahaannya. Berbagai strategi
tersebut berkaitan erat dengan pembentukan norma dan hukum, dan
elaborasinya. Dalam ekonomi global hal
paling penting adalah adanya norma, institusi penegakkan norma dan cara
menyelesaikan perselisihan.
Global legal pluralism (pluralisme hukum
global) merupakan cara untuk mendeskripsikan struktur dari keseluruhan situs/
tempat yang adalah sistem ekonomi global. Hal ini selanjutnya dapat
diklasifikasikan dalam 2 pendekatan yakni pendekatan pasar (market-based) dan
pendekatan pemerintahan (polity-based). Pendekatan pasar dilakukan berdasarkan
aktor-aktor ekonomi yang berada dalam
proses ekonomi tersebut. Sementara pendekatan pemerintahan terkait dnegan
stuktur politik, konvensi, persetujuan antar pemerintah/Negara. Berikutnya, setiap tempat memiliki struktur
pembentukan keputusan yang berbeda, berdasarkan institusi, norma dan prosesnya.
Suatu Negara yang berada dalam global legal pluralism merupakan cerminan dari
struktur kekuasaan dan kekuatannya dalam rantai komoditas ekonomi global.
Dengan memahami global legal pluralism maa memudahkan kita untuk memahami
globalisasi ekonomi dan menjawab berabagai tantangan dan hambatan dalam
globalisasi ekonomi tersebut.
Berikutnya
Laura Nader, dalam artikelnya Civilization and its Negotiation[10]
menjelaskan negosiasis sebagai suatu metode penyelesaian sengketa yang sebaiknya digunakan dalam
sengketa internasional. Contoh yang digunakan adalah kasus sungai/danau. Untuk
mendapatkan negosiasi yang baik maka diperlukan negosiator yang handal.
Tamanaha, dalam artikelnya berjudul Understanding
Legal Pluralism Past to Present, Local to Global[11]
menjelaskan bahwa pluralisme hukum ada dimana-mana,
dari level lokal paling rendah hingga global. Dari desa hingga Negara, ada pula
hukum nasional, transnasional, dan internasional dengan berbagai tipe. Di
beberapa masyarakat terdapat hukum adat, hukum agama, dan lainnya. Pluralisme
ini menjadi penting karena terdapat beberapa aturan yang tidak terkoordinasi dengan baik,
berdampingan, tumpang tindih, akibat
keragaman diantara mereka. Terdapat banyak pandangan mengenai Pluralisme Hukum,
dari sisi Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Perbandingan Hukum, Hukum
Internasional, dan lainya. Masing-masing membahasnya dengan cara berbeda. Artikel ini memaparkan kerangka untuk
menolong kita menelaah dan memahami pluralistis dari hukum yang ada saat ini.
Tamanaha selanjutnya menjelaskan bahwa pendekatan
pluralisme hukum kontemporer yang menghindari masalah konseptual disebabkan oleh
kebanyakan pendekatan hari ini, membingkai ciri menonjol dari pluralism hukum. Dalam kajian pluralism hukum klasik maka hukum merupakan
hasil tawar menawar politis. Tamanaha, menjelaskan mengenai enam Sistem
Normatif di Arena Sosial yakni (1) sistem hukum resmi, (2) adat / sistem normatif budaya, (3) agama / sistem
normatif budaya, (4) ekonomi / sistem kapitalis normatif, (5) sistem normatif
fungsional, (6) masyarakat / sistem normatif budaya.
Benda-Beckmann memaparkan bahwa kajian pluralism hukum berintikan pada
bagaimana sistem-sistem hukum saling berinteraksi satu sama lain.Yang paling
penting bukan dapat ditunjukkannya legal
pluralism, tetapi apa yang terkandung dalam kemajukan tersebut.[12]
Bagaimana berbagai sistem hukum tersebut saling berinteraksi, bagaimana sistem
hukum secara bersama-sama bila berada dalam suatu lapangan kajian tertentu.
Hukum adalah proposisi yang mengandung konsepsi normatif dan
konsepsi kognitif. Pada masa sekarang konsep hukum yang mengacu pada konsepsi
normatif dan kognitif ini dapat digunakan untuk menguraikan kerumitan dalam
menjelaskan kerangka pikir pluralisme hukum ‘baru’. Hukum dipandang terdiri
atas komponen-komponen, bagian-bagian atau cluster, yaitu konsepsi normatif, konsepsi
kognitif dan para aktor. Pembahasan mengenai kompleksitas pluralisme hukum
dalam perspektif global, disebabkan oleh fakta mengenai konstelasi pluralism
hukum yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam karakter sistemik dari
tiap-tiap cluster. Seperti yang dikatakan oleh Keebet von Benda- Beckmann: ‘In fact, many constellations of legal pluralism are
characterized by great diversity in the systemic character of each of its
components’.
4. Jelaskan rencana penelitian kecil yang
akan dikerjakan oleh kelompok Anda untuk tugas akhir matakuliah ini (nilai 0-10
point)
Jawaban :
Salah satu rencana penelitian kecil kami adalah mengenai
penerapan syariah Islam pada masyarakat provinsi Banten (peraturan daerah).
Berdasarkan data[13]
diketahui terdapat 6 Perda Syariah di Provinsi Banten, yakni :
1. Banten Perda No. 4/2004 tentang Pengelolaan Zakat
2. Pandeglang SK Bupati Kab Pandeglang No. 09 Tahun 2004
tentang seragam
sekolah SD,SMP, SMU
3. Tanggerang Perda Tenggerang No. 7/2005 tentang mensual,
mengecer, dan
menyimpan minutan keras, mabuk-mabukan.
4. Tangerang Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 8 Tahun
2005
tentang Pelarangan Pelacuran
5. Serang Perda Kota SErawng No.1/2006 tentang Madrasah
diniyah Awwaliyah
6. Tanggerang Surat Edaran Walikota Tanggerang (Agustus 2008)
tentang
Penutupan Sementara Usaha Jasa Hiburan selama Bulan Suci
Ramadhan dan
Idul Fitri 1429 H
Adapun lebih spesifiknya, kami berencana untuk meneliti
bagaimana penerapan Perda Syariah di kota Tangerang, khususnya ketentuan Pasal
4 ayat (1) Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran[14] yang
mengatur bahwa
“Setiap
orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu
anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum,
dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan,
disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di
Daerah. “
Hal ini terkait dengan kesalahan penangkapan wanita-wanita
yang pulang malam yang mana bukan pelacur[15], serta
adanya peneguran terhadap pemakaian celana pendek[16] .
Ketentuan pasal 4 ayat (1) tersebut di satu sisi menegakkan hukum islam namun
demikian di sisi lain telah melanggar ketentuan hukum negara (UU No.39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia). Sebagaimana diketahui terdapat komunitas
Tionghoa di Tangerang dan non-muslim lainnya, dan Perda Syariah tersebut dapat
dikatakan sebagai bentuk diskriminasi bagi wanita non-muslim. Adapun berikut
nya berdasarkan pasal 22 UU Otonomi Daerah maka pemerintah daerah berkewajiban
untuk melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional
serta keutuhan NKRI. Oleh sebab itu sudah sewajibanya pemda kota Tangerang
berlaku bijak dalam menerapkan perda syariah tersebut jika memang bersikeras
menerapkannya.
Penelitian kami akan dilakukan melalui studi pustaka dan
studi lapangan. Studi pustaka dilakukan terhadap buku-buku dan peraturan
perundang-undangan terkait. Sementara studi lapangan akan dilakukan melalui
wawancara dan pengisian kuisioner. Adapun yang menjadi target untuk
diwawancarai adalah wanita-wanita (dewasa) di kawasan Tangerang pada beberapa
kecamatan secara random dengan ketentuan harus ada beragam agama dan etnis,
selanjutnya aparat penegak hukum (polisi
kota Tangerang), dan unsur pemerintah kota Tangerang (misalnya, dinas sosial setempat ataupun walikota atau staff ahli hukum kota
Tangerang). Penelitian akan digunakan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut
(tentatif):
-
Bagaimana kepatuhan wanita-wanita kota
Tangerang terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perda kota Tangerang No.8 tahun
2005?
-
Bagaimana tindakan pemerintah dan aparat
penegak hukum dalam menerapkan Pasal 4 ayat (1) Perda kota Tangerang No.8 tahun
2005?
-
Bagaimana kedudukan Perda kota Tangerang
No.8 tahun 2005 dibandingkan dengan Undang-Undang HAM?
Selanjutnya, detil mengenai waktu pelaksanaan, timeline
kegiatan, anggaran, dan rincian lainnya akan dibahas pada proposal penelitian
kami. Untuk sementara, estimasi waktu pelaksaan adalah satu bulan (30 hari),
dengan kegiatan awal adalah pengumpulan bahan kepustakaan, selanjutnya menyusun
daftar pertanyaan kuisioner dan wawancara, menghubungi narasumber dan mencari
responden, berikutnya menyebar kuisioner dan melakukan wawancara, setelah itu
menganalisis data yang telah diperoleh kemudian menyusun laporan hasil
penelitian. Adapun anggaran yang dibutuhkan, estimasinya, adalah
Rp1000.000,00.
5. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan PIE dan unPIE menurut
Felstiner dkk. Kemudian, carilah satu putusan
hakim yang memuat tentang kerugian yang diderita para pihak beserta bentuk
ganti rugi yang diputuskan hakim (boleh tentang hukum lingkungan, perdata,
maupun kasus pidana) dari direktori putusan MA. Dari putusan tersebut –
terutama bagian tentang penjelasan kerugian yang diderita salah satu pihak
serta bentuk ganti ruginya, apakah menurut Anda sesuai dengan prinsip PIE dan
unPIE yang dikemukakan oleh Felstiner dkk? Jangan lupa cantumkan nomor
putusannya, dan ceritakan saja garis besar perkaranya. Lampirkan juga print out
putusan tsb di belakang lembar jawaban (nilai 0-30 point)
Jawaban :
Ø Menurut Felstiner, Abel dan Sarat[17] proses
perkembangan sengketa melalui 3 tahap yakni Naming
(salah satu pihak merasakan adanya permasalahan dan kerugian akibat tindakan
pihak lain, dalam hal ini baru sekedar perasaan belum ada keluhan), Blaming (pihak yang dirugikan tersebut
menyampaikan masalah/keluhan kepada pihak yang dianggap merugikannya), dan Claiming (pihak yang dirugikan
mengajukan keluhan kepada pihak ketiga untuk memperoleh upaya penyelesaian).
Dalam
menghitung besarnya kerugian tersebut berdasarkan 2 klasifikasi yakni PIE
(kerugian materil) dan unPIE (kerugian immaterial). Menurut Felstiner dkk suatu
kerugian immaterial harus dapat ditransformasikan menjadi kerugian materil.
Kerugian immaterial adalah sesuatu yang nilainya relatif tergantung pada
penilian seseorang apa yang dirasakan sebagai kerugian (someone deifinition of
what injurious). Untuk dapat secara bijak menentukan adil tidaknya tuntutan
kerugian tersebut dapat merujuk pada beberapa faktor antara lain : parties (hubungan para pihak, baik
terkait status dan kedudukan masing-masing), attributions (penyebab terjadinya kerugian), scope (ruang lingkup yang menyebabkan terjadinya kerugian), choice of mechanism (pilihan mekanisme
melakukan tuntutan terhadap kerugian, apakah melalui pengadilan, mediator,
arbitrase, dan lainya), objectives sought
(apa yang dicari atau diinginkan dan berapa banyak), ideology (paham ideal para pihak merupakan alasan mendasar mengapa
melakukan penuntutan kerugian), reference
groups (terkait dengan pengaruh dari kelompok tertentu), representatives and officials
(bagaiamana seseorang yang mewakili pihak bersengketa untuk mendefinisikan
kerugian pihak yang diwakilinya), dispute
institutions (intitusi penyelesaian sengketa, bagaimana pihak otoritas
selanjutnya memahami kerugian tersebut)
Ø Adapun salah satu contoh Putusan terkait adalah Putusan No. 2801 K/Pdt/2008 yang diputus pada
tahun 2009[18]. Jenis perkara merupakan perkara perdata dengan subklasifikasi
Perbuatan Melawan Hukum. Adapun tingkat proses perkara adalah kasasi dan sudah
berkekuatan hukum tetap. Sengketa terjadi antara M. SAJONO (Penggugat) VS. HARLIANTO (Tergugat). Adapun peristiwanya sebagai berikut:
-
Penggugat adalah ketua
RT setempat yang terkenal akan profesionalitas dan sopan santunnya.
-
Suatu ketika,
Penggugat menerima surat dari perusahaan PT.Agus Bersaudara
Prima/Harlianto (Tergugat ) perihal mohon perlindungan atas hasutan dan ancaman
Ketua RT. 061 Bukit Indah Permai Karang Asam Sungai Kunjang ter t angga l 26
September 2005 dengan Nomor : 09.AGS/ IX/05 , yang di tu j u kan kepada : (1)
Bapak Gubernur Kalimantan Timur ; (2) Bapak Kapolda Kalimantan Timur; (3) Bapak
Kepala Badan Pengawas Propinsi Kalimantan Timur ; (4) Bapak Walikota Kota
Samarinda ; Adapun Surat te rsebut di atas yang dibuat oleh Tergugat (Har l i a
n t o ) selaku Direk tu r PT. Agus Bersaudara Prima, dijelaskan bahwa Penggugat
telah melakukan perbuatan pengancaman dan menghasut warga RT. 061 Perumahan
Buki t Indah Permai (Perum BIP) serta Penggugat telah melakukan pengrusakan
sebuah rumah milik Tergugat di Permai BIP;
-
Selanjutnya, suatu waktu pada
surat kabar Samarinda Pos terdapat berita dengan judul tanah dicaplok, warga keturunan lapor polisi yang dibuat oleh
Tergugat, yang berisikan tuduhan bahwa Penggugat melakukan perbuatan penguasaan
tanah milik Tergugat di Perumahan Indah Permai Sungai Kujang Samarinda;
-
Baik surat dan berita Koran
tersebut berisikan pencemaran nama baik Penggugat. Hal tersebut merupakan Perbuatan
Melawan Hukum. Akibat perbuatan Tergugat, Penguggat mengalami kerugian yang
sangat besar, baik moril maupun materiil. Oleh sebab itu, Penggugat meminta
ganti rugi kepada Tergugat sebesar:
-
Kerugian moril, akibat tercemarnya
nama baik Penggugat tersebut yang dilakukan oleh Tergugat mengakibat kan
Penggugat mengalami kerugian yang sangat besar , baik moril maupun materi l .
Bahwa atas kerugian tersebut Penggugat meminta ganti rugi kepada Tergugat
sebesar Rp. 6.000.000 .000 , - (enam mi lya r rup iah ) , dengan perincian
sebagai berikut :
Bahwa
kerugian moril yaitu akibat tercemarnya nama baik Penggugat baik sebagai Ketua
RT. 061 di lingkungan Perumahan Buki t Indah Permai (Perum BIP) maupun sebagai
Pegawai Neger i Sipil (PNS) yaitu sebesar Rp. 3.000.000.000 , - ( tiga milyar
rupiah)
-
Kerugian materiil yaitu
akibat perbuatan Tergugat , Penggugat telah kehilangan keuntungan yang
seharusnya Penggugat terima atau nikmati karena hilangnya kepercayaan dari
masyarakat dan masyarakat enggan berhubungan dengan Penggugat , sehingga
Penggugat kesulitan dalam menja lankan kegiatan-kegia tan yang berkaitan dengan
tugas yang diembannya baik sebagai Ketua RT. 061 Perumahan Bukit Indah Permai
(Perum BIP) maupun kepada masyarakat luas , serta hi l angnya kepercayaan dar i
pemimpin maupun sesama Pegawai di kantor tempat bekerja Penggugat , yaitu
sebesar Rp. 3.000.000.000 , - ( tiga milyar rup iah )
-
Untuk menjamin tuntutan ganti
ruginya Penggugat meminta adanya sita jaminan, dan agar akibat dari berita yang
tidak benar tersebut tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi
Penggugat, Penggugat juga meminta adanya keputusan provisi yang isinya
memberitahukan dan menghukan Tergugat untuk minta maaf pada harian surat kabar
dan dwangsom atas pelaksaan tersebut.
Gugatan Penggugat tersebut selanjutnya dibalas
Tergugat melalui eksepsinya. Berikutnya dalam putusan PN Samarinda No.10/Pdt.G/2006/PN.Smd pada amar menyatakan
sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
DALAM PROVISI :
Menolak tuntutan provisi Penggugat untuk seluruhnya
.
DALAM POKOK PERKARA :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Menghukum
Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 149.000, - (Seratus empat
puluh sembi lan r ibu rup iah ) .
Selanjutnya, Penggugat mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di
Samarinda selanjutnya dengan putusan No. 93/PDT/2007/PT.KT.SMDA tanggal 04
Maret 2008 menguatkan putusan PN Samarinda.
Berikutnya Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Dalam memori kasasinya, terkait dengan tuntutan kerugian, Penggugat
menyatakan bahwa Bahwa Pertimbangan Judex Factie telah salah dan keiliru dalam
menimbang :
“ Bahwa
karena dasar gugatan Penggugat ten tang pencemaran nama baik ditolak , sehingga
menurut hemat Majel i s tuntu tan selan ju t nya tentang kerugian moril maupun
materil yang mendasarkan pada tuntutan pencemaran nama baik haruslah ditolak
" (Putusan Pengadi l an Neger i Hal 19) .
Karena
Pemohon Kasasi dalam mengajukan Gugatannya di dalam perkara in casu telah dapat
membuktikan bahwa Termohon Kasasi telah melakukan Pencemaran Nama baik yang
telah merugikan nama baik maupun kehormatan Pemohon Kasasi . Selanjutnya
berdasarkan pasal 1372 KUHPerdata yang berbunyi sebagai beriku t :
Ayat (1) :
" Tuntu tan Perdata tentang hal penghinaan adalah ber tu j uan mendapat
penggant i an kerug ian ser ta pemul ihan kehormatan dan nama baik ;
Ayat (2) :
" dalam meni la i k an satu dan la i n . Hakim harus memperhat i kan berat
ringannya penghinaan, begitu pula pangkat , kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak dan pada keadaan ;
Maka
atas dasar hukum tersebutlah Pemohon Kasasi dalam hal ini difitnah dan
dicemarkan nama baik , kehormatan serta pandangan masyarakat yang setelah
terbitnya berita tersebut menjadi negatif kepada Pemohon Kasasi. Dan hal
tersebut perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk menilai
seberapa jauh suatu Perbuatan Pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Termohon
Kasasi , serta perbuatan yang telah dilakukan oleh Termohon Kasasi harus diper
tanggungjawabkan sesuai Pasal 1372 KUHPerdata . Adanya kepentingan
Pemohon Kasasi yang menuntut agar ganti rugi berupa moril Maupun Materil
terhadap Termohon Kasasi yang telah melakukan Perbuatan Pencemaran nama baik
merupakan suatu tun tu tan gant i rug i yang sah secara hukum (vide Pasal 1372
KUHPerdata) ; Atas dasar hukum yang memperbolehkan untuk meminta pertanggung
jawaban atas Perbuatan Pencemaran nama baik yang te lah di l akukan seseorang
maka Pertimbangan Judex Factie yang telah menilai Ganti rugi yang diminta oleh
Pemohon Kasasi harus lah di tolak merupakan Pertimbangan yang harus diba ta l
kan karena te lah ber to l ak belakang dengan aturan yuridis yang berlaku ;
Dalam memori kasasi tersebut Penggugat menyatakan
bahwa dengan demikian berarti Judex Fact ie tidak meneliti secara cermat dan
sama sekali tidak mempertimbangkan secara keseluruhan bagian dari keberatan -
keberatan Pemohon Kasasi , karenanya keputusan tersebut sudah tentu tidak
mempunyai pertimbangan yang cukup (Onvoldoende Gemotiveerd). Oleh sebab itu, Mahkamah
Agung Republik Indonesia sudah sepatutnya membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
yang dikasasi ini;
Adapun selanjutnya Mahkamah Agung Repulik Indonesia
memberikan putusan kasasi yang isinya sebagai berikut :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : M. SAJONO tersebut;
Menghukum
Pemohon Kasas i dahulu Penggugat /Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
t i ngka t kasas i in i sebesar Rp. 500.000,- ( lima ratus ribu rup iah ) ;
Ø Berdasarkan putusan tersebut diketahui bahwa gugatan
Penggugat tidak dikabulkan dan tuntutan ganti ruginya juga berarti tidak
terpenuhi. Dalam hal tuntuan ganti rugi dan alasannya yang diajukan oleh
Penguggat maka dapat dilihat telah sesuai dengan prinsip PIE dan unPIE yang dikemukakan
oleh Felstiner dkk. Sementara dalam hal putusan pengadilan yang tidak
mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut adalah tepat terkait dengan tidak
terbuktinya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakan Tergugat kepada Penguggat.
Dengan tidak terbuktinya suatu PMH tersebut sudah semestinyalah tuntutan ganti
rugi juga tidak dipertimbangkan dan tidak dikabulkan. Sebab sifat dari tuntutan
ganti rugi adalah sanksi atas dilanggarnya PMH tersebut.
Ø Adapun bila tuntutan kerugian yang diajukan oleh Penggugat
dianalisis maka dijelaskan sebagai berikut :
-
Parties : hubungan Penggugat adalah antara ketua
RT (Penggugat) dan warga RT (Tergugat). Artinya disini kedudukan Ketua RT
secara hierarki lebih tinggi. Namun demikian dengan melihat pada pekerjaan para
pihak Penggugat (PNS) sementara Tergugat (direktur suatu perusahaan swasta),
sehingga ganti rugi dimungkinkan didapatkan dari Tergugat, karena kondisi
ekonomi Tergugat tampaknya bagus;
-
Attributions, dalam hal
ini penyebab terjadinya kerugian adalah Pencemaran Nama Baik yang dilakukan
Tergugat terhadap Penggugat melalui Surat Kabar dan Surat tertulis dengan
tembusan kepada atasan Penguggat; Hal ini menimbulkan malu bagi Penggugat
terhadap atasan maupun masyarakat yang ia pimpin (khususnya) dan seluruh
masyarakat yang membaca artikel di surat kabar tersebut;
-
Scope, ruang lingkup kerugian cukup besar, yakni
menyangkut pribadi dan jabatan Penggugat
-
Choice of mechanism, dalam hal ini mekanisme penuntuntutan dilakukan melalui
proses peradilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama (PN Samarinda),
pengadlan banding (PT Samarinda), kemudian kasasi (Mahkamah Agung RI)
-
Objectives
sought, yang diinginkan oleh Penggugat adalah ganti rugi atas kerugian
moril (immaterial) dan materilnya serta permohonan maaf di surat kabar oleh
Tergugat. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki citra, mengembalikan harta,
martabat dan nama baik Penggugat.
-
Ideology, paham
ideal Penggugat yakni alasannya mengajukan tuntutan kerugian adalah terkait
harkat, martabat dan harga dirinya sebagai individu dan pejabat public.
-
Reference groups, dalam hal ini tidak terdapat pengaruh dari kelompok tertentu,
misalnya keluarganya ataupun pihak lain. Namun tidak dapat dinafikkan apabila
ada pengaruh dari kuasa hukum Penggugat dalam menentukan besarnya tuntutan
kerugian tersebut.
-
Representatives and officials, dalam kasus maka Penggugat diwakili oleh dua orang kuasa
hukumnya.
-
Dispute institutions, institusi peradilan dalam hal memandang kerugian tersebut
tidak dapat dipenuhi mengingat tidak terbuktinya tindakan Perbuatan Melawan
Hukum pencemaran baik tersebut.
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ‘tiga jalan raya Hoebel’
beserta kekuatan dan kelemahan masing-masing pendekatan tersebut (nilai 0-10
point).
Jawaban :
Hukum
dapat dikaji dengan beragam cara. Berdasarkan kategorisasi terhadap berbagai
kumpulan penelitian mengenai hukum, Hoebel mengklasifikasikannya atas 3 alur
atau cara yang disebut dengan 3 Jalan Raya Hoebel sebagai berikut[19]
:
1. Alur
ideologis ; dalam cara ini diidentifikasi aturan-aturan yang umum berlaku dalam
masyarakat/norma ideal. Kekuatan : Substansi hukum dipahami dengan sangat baik.
Kelemahan : Terbatas pada hal-hal ideal (apa yang seharusnya terjadi)
2. Alur
sosiologis ; mengkaji perilaku manusia sehari-hari tanpa terfokus pada bidang
hukum tertentu. Tidak melihat hukum perdata, hukum pidana atau bidang hukum
tertentu, melainkan keseluruhan hukum yang ada. Hal ini dilakukan guna melihat
bagaimana perilaku aktual manusia tersebut (apa yang sebenarnya terjadi).
Kekuatan : Menggambarkan peristiwa dengan sangat baik, detail dan menyeluruh.
Kelemahan : Dikarenakan terlalu detil maka pembahasan menjadi tidak fokus, terlalu luas dan melebar.
3. Alur
kajian sengketa ; kajian fokus pada perilaku anggota masyarakat yang terlibat
dalam sengketa untuk dapat melihat pilihan hukumnya, bagaimana ia menaati suatu
aturan hukum dan lainnya. Dalam hal ini kasus kajian sengketa diamati dan
diperiksa dengan hati-hati. Hal ini merupakan cara utama dalam upaya untuk
menemukan suatu hukum. Dengan melakukan kajian terhadap kasus sengketa (tidak
hanya penyelesaian sengketa) maka dapat diperoleh bagaimana kenyataannya hukum
bekerja di dalam masyarakat (das sein). Kekuatan
: datanya paling akurat, paling banyak, dan paling mengambarkan hal yang
sesungguhnya terjadi. Kelemahan : Dalam hal dilakukan extended case yakni dengan cara tracking
case (bila sengketa tidak ada) ataupun simulasi guna mengetahui kasus
sengketa maka dimungkinkan bahwa sengketa tidak selalu ada (misalnya pada
kawasan tempat tinggal komplek), pun tidak semua orang nyaman untuk bercerita
mengenai kasusnya, sehingga sengketa dapat saja direkayasa dan tidak sesuai
dengan sebenarnya terjadi.
Daftar
Pustaka
Felstiner, William L.F dkk. “The Emergence and Transformation
of Disputes: Naming, Blaming, Claiming”. ProQuest Information and Learning
& Law and Society Association, Law and Society Review, 1980/1981.
Ihromi, T.O. “ANtropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai”.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2001.
Koentjaraningrat. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta:
Rineka Cipta,2009.
Mertokusumo, Sudikno.
“Mengenal Hukum Suatu Pengantar”. Yogyakarta : Liberty, 2005.
Moore, Sally Falk. “Law and Anthropology A Reader”. UK :
Blackwell Publishing Ltd, 2005.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. “Perihal Kaedah
Hukum”. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.
D.West, Mark. ”Losers : Recovering Lost Property in Japan and
the United State” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=316119. Diakses pada 3 April
2014.
Brian Z Tamanaha. “Understanding
Legal Pluralism Past to Present, Local to Global”
http://www.equalbeforethelaw.org/sites/default/files/library/2007%
20Understanding%20Legal%20Pluralism%20Past%20to%20Present%20Local%20to%20Global.pdf.
Diakses pada 3 April 2014.
Beckmann, Kebbet von Benda. “Globalisastion and Legal
Pluralism” .
_, “Perda Syariah Diurutkan Tahun berdasarkan Provinsi” file:///C:/Users/SONY/Downloads/Perda+Syariah+diurutkan+Tahun+berdasarkan+Provinsi.pdf. Diakses pada 4 April
2014.
Lanskap Regulasi. “Perda Kota Tangerang Nomor 7 dan 8” http://lanskap-regulasi.blogspot.com/2008/02/perda-kota-tangerang-nomor-7-dan-8.html. Diakses pada 6 April
2014.
Liputan 6 dot com.
“Mendagri memanggil walikota Tangerang” http://
news.liputan6.com/read/119219/mendagri-memanggil-wali-kota-tangerang. Diakses 5 April 2014.
Arrahmah. “Cegah
Pornoaksi dengan razia celana pendek komnas perempuan kecam polisi”, http://www.arrahmah.com/read/2012/01/16/17447-cegah-pornoaksi-dengan-razia-celana-pendek-komnas-perempuan-kecam-polisi.html. Diakses pada 5 April
2014.
Direktori Putusan Mahkamah Agung. “Perkara Perdata”, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9ca62766e0208db02f0ac420195fa264. Diakses pada 3 April
2014.
[2] Ibid., hal.4.
[3] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu
Antropologi”, (Jakarta; Rineka Cipta,2009), hal.144.
[4] T.O. Ihromi, “ANtropologi Hukum Sebuah
Bunga Rampai”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2001), hal.11.
[5] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
hal.97.
[7] Mark
D.West, ”Losers : Recovering Lost Property in Japan and the United State” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=316119, diakses pada 3 April 2014.
[9] Sally Falk Moore, hal. 313 – 329.
[10] Sally Falk Moore, hal. 330 – 343.
[11] Brian
Z Tamanaha, “Understanding Legal
Pluralism Past to Present, Local to Global” http://www.equalbeforethelaw.org/sites/default/files/library/2007%
20Understanding%20Legal%20Pluralism%20Past%20to%20Present%20Local%20to%20Global.pdf, diakses pada 3 April 2014.
[12] Kebbet von Benda Beckmann, “Globalisastion
and Legal Pluralism” bahan kuliah, hal.1-7.
[13]_,
“Perda Syariah Diurutkan Tahun berdasarkan Provinsi” file:///C:/Users/SONY/Downloads/Perda+Syariah+diurutkan+Tahun+berdasarkan+Provinsi.pdf, diakses pada 4 April 2014.
[14]
Lanskap Regulasi, “Perda Kota Tangerang Nomor 7 dan 8” http://lanskap-regulasi.blogspot.com/2008/02/perda-kota-tangerang-nomor-7-dan-8.html, diakses pada 6 April 2014.
[16]
Arrahmah, “Cegah Pornoaksi dengan razia celana pendek komnas perempuan kecam
polisi”, http://www.arrahmah.com/read/2012/01/16/17447-cegah-pornoaksi-dengan-razia-celana-pendek-komnas-perempuan-kecam-polisi.html, diakses pada 5 April 2014.
[18]
Direktori Putusan Mahkamah Agung, “Perkara Perdata”, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9ca62766e0208db02f0ac420195fa264, diakses pada 3 April 2014.
[19] T.O.Ihromi, hal 61 - 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar