Kamis, 02 Mei 2019

Tanya Jawab: Antropologi Hukum


7 April 2014

1. Jelaskanlah bagaimana hukum dipersepsikan dalam pandangan Antropologi Hukum. Kemudian, bandingkanlah dengan definisi hukum dalam pandangan Ilmu hukum (nilai 0-15).
Jawaban :
Disiplin hukum terdiri atas 3 bagian yakni ilmu hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Adapun Ilmu hukum merupakan kumpulan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, meliputi, antara lain : ilmu tentang kaedah, ilmu pengertian dan ilmu tentang kenyataan. Ilmu tentang kenyataan menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Adapun salah satu dari ilmu tentang kenyataan adalah antropologi hukum. Menurut Ch Winick, antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi.[1]
Adapun arti hukum, menurut P.Moedikdo, dapat ditujukan pada cara-cara untuk merealisasikan hukum tersebut dan juga pada pengertian yang diberikan oleh masyarakat. Menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian yang diberikan oleh masyarakat dapat berupa, antara lain, hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur, hukum sebagai ilmu pengetahuan dan hukum sebagai kaedah. [2]
Selanjutnya, dalam pandangan antropologi hukum, hukum diartikan sebagai salah satu aspek dari kebudayaan. Hal ini dikarenakan hukum dirumuskan, ditetapkan dan diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah hasil budi daya manusia (kesuluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dijadikan miliknya sendiri dengan cara belajar[3]. Setiap kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan serta merta artinya memiliki hukum juga, meskipun bentuk dari hukum berbeda-beda yakni ada yang tertulis maupun tidak tertulis.
·         Menurut T.O.Ihromi : Antropologi hukum adalah studi ilmiah tentang hukum dengan pendekatan ilmu sosial. Hal ini berbeda dengan ilmu hukum dogmatis. [4] Hukum dalam pandangan antropologi hukum memiliki fungsi pedoman berlaku dan pengendalian sosial (TOI).  Dalam hal Pedoman berlaku maka hukum sebagai perangkat peraturan yang memberikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku. Hal ini dianut oleh Hoebel. Pedoman bertingkah laku merupakan “blue print” berisi seperangkat nilai yang diinternalisasikan terus menerus. Sementara dalam hal pengendalian sosial, maka hukum terlebih dahulu melalui suatu proses pengajaran. Hal yang diajarakan adalah nilai-nilai atau norma-norma sosial. Norma sosial tersebut diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari keperibadian dan perilaku anggota masyarakat sesuai dengan yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Dalam proses tersebut, maka tidak semuanya berjalan lancar, terdapat pula pengingkaran norma yang memiliki sanksi beragam tergantung dari berat atau ringannya pengingkaran/pelanggaran norma. Hal ini dianut oleh Laura Nader. Menurutnya, agar mendapatkan gambaran yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pengendalian masyarakat maka harus dikenal terlebih dahulu nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut. Adanya antropologi hukum disini bertugas untuk melihat fungsi hukum dalam rangka mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut dalam kehidupan bersama manusia tersebut.
·         Menurut Radcliffe Brown, berdasarkan pandangan etnosentrime melihat masyarakat di luar Negara Barat sebagai masyarakat yang belum berbentuk Negara. Dengan belum berbentuk negara artinya masyarakat tersebut juga belum memiliki hukum (stateless sama dengan lawless). Adapun yang dimaksud Etnosentrisme merupakan pandangan yang melihat dan mengkaji sistem hukum masyarakat non-Barat dengan menggunakan kerangka berpikir sistem hukum barat. Meskipun di dalam masyarakat tersebut terdapat ketertiban, namun hal tersebut dipandang tidak disebabkan karena adanya hukum, melainkan dikarenakan adanya sikap taat adat yang spontan dan otomatis.
·         Sementara itu, menurut Adamson Hoebel dengan melihat pada masyarakat Indian Amerika, maka yang dimaksud hukum adalah norma sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan apabila norma sosial tersebut dilanggar maka akan ditindak oleh otoritas sosialnya.
·         Menurut Bohanan (1989 : 59) hukum sebaiknya dipandang sebagai perangkat kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain (reciprocity) yang telah dilembagakan lagi dalam lembaga-lembaga hukum agar masyarat dapat terus berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara demikian (double institutionalization). Hukum disini harus dibedakan dari norma (aturan) dan kebiasaan (seperangkat norma yang panjang). Hukum adalah sesuatu yang justiciable yang diintepretasi dan dire-intepretasikan oleh lembaga hukum.
·         Selanjutnya menurut Franz van Benda-Beckmann maka yang dimaksud dengan hukum terdiri atas hal normatif dan kognitif. Normatif berarti ada hal yang dibolehkan dan dilarang, sementara kognitif berarti adanya pengetahuan berdasarkan kepentingan.
·         Mempelajari hukum dalam konteks pandangan Antropologi Hukum tidak cukup belajar substansinya saja, tetapi juga mempelajari implementasinya dalam kehidupan sehari-hari lengkap dengan latar belakang kebudayaan masyarakatnya. Posipil membedakan antara hukum dan kebiasaan dengan 4 atribut atau sifat hukum yakni 1) otoritas, hukum adalah keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang untuk itu yakni otoritas sosial ;  2) universalitas, hukum keputusan yang berlaku secara universal dan berlaku panjang;  3) obligatio, bukan obligation artinya hukum harus mengatur masalah hak dan kewajiban dari anggota masyarakat secara timbal balik;  4) atribut berupa mekanisme pemaksa dalam bentuk sanksi.
            Hukum bila dipandang sebagai kaedah berarti hukum adalah pedoman atau patokan untuk berperikelakuan atau bersikap tindak dalam kehidupan. Adapun tata kaedah hukum terbagi atas tata kaedah aspek hidup pribadi (yakni kaedah kepercayaan dan kesusilaan) dan tata kaedah aspek hidup antar pribadi (yakni kaedah sopan santun dan hukum). [5] Kaedah hukum berbeda dengan kaedah sosial lainnya, namun demikian tidak dapat dipisahkan, pelaksanaannya saling menguatkan satu sama lain. Kaedah hukum dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya sebagai suatu sanksi.[6] Hukum mengatur hubungan hukum, yakni ikatan antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan itu tercermin pada hak dan kewajibannya. Sebagai suatu kaedah maka hukum merupakan apa yang seharusnya seseorang bertingkah laku (das sollen). Kaedah hukum tidak berisikan kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit (das sein). Kaedah hukum bersifat memerintah, mengharuskan atau prekriptif. Sifat dari kaedah hukum adalah pasif. Agar menjadi aktif maka diperlukan suatu rangsangan, yakni peristiwa konkrit (das sein). Adapun peristiwa konkrit yang terjadi sesuai kaedah hukum disebut peristiwa hukum.
Pada intinya, dalam persepsi antropologi hukum, hukum lebih dipandang sebagai kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sementara itu dalam pandangan  kaedah hukum maka hukum adalah sesuatu yang seharusnya terjadi di dalam masyarakat.

2. Produk Hukum dan pelaksanaannya adalah cerminan dari masyarakat tempat hukum itu berada. Setujukah Anda dengan pernyataan tersebut? Bagaimanakah pendapat Mark D West dalam tulisannya berkenaan dengan keterkaitan antara hukum dan budaya masyarakat? Bagaimana dengan pendapat Anda sendiri? Berikanlah contoh kasus empirik dari artikel surat kabar/media online yang mendukung jawaban Anda tersebut dan jangan lupa lampirkan print out dari berita tersebut pada lembar jawaban Anda (nilai 0-15).
Jawaban :
            Mark D West dalam tulisannya berkenaan dengan keterkaitan antara hukum dan budaya masyarakat berpendapat bahwa sistem hukum sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat dimana sistem hukum tersebut berada. Sebagaimana di dalam tulisannya Losers : Recovering Lost Property in Japan and the United States[7] Mark D.West mencontohkan ketaatan terhadap produk hukum Negara berupa aturan bahwa barang yang ditemukan yang bukan miliknya harus diserahkan kepada pihak yang berwenang.
            Dalam tulisannya Mark D.West mencontohkan penemuan barang hilang di Jepang dan US, misalnya antara lain dompet, handphone, dan payung. Pada faktanya ditemukan bahwa masyarakat Jepang jauh lebih mematuhi hukum tersebut daripada masyarakat di US., yakni jujur mengembalikan barang tersebut. Pada masyarakat Jepang apabila ada yang menemukan barang hilang (yang bukan miliknya tersebut) maka mereka akan memberikan barang tersebut kepada aparat terkait lost and found, hal ini terjadi sebaliknya pada masyarakat di US. Peristiwa tersebut mencerminkan tingkat kejujuran yang tinggi pada masyarakat Jepang.
            Tingkat kepatuhan dan kejujuran masyarakat Jepang dapat dilihat sebagai hasil dari sejarah, norma kebiasaan, sarana, sistem hukum yang keseluruhannya saling berkaitan. Keselurahan hal tersebut merupakan hasil daya cipta manusia (kebudayaan) setempat. Pada masyarakat Jepang, sejak zaman dahulu, yakni pada pemerintahan Meiji maka aturan sebagaimana pengembalian barang hilang telah ada. Sejak pemerintahan Meiji tersebut hal ini dipatuhi oleh masyarakat Jepang dan menjadi kebiasaan hingga saat ini. Pun ketika ada produk hukum tersebut (lagi) saat ini maka hal tersebut cenderung dipatuhi karena sebelumnya telah menjadi kebiasaan. Kepatuhan tersebut juga didukung oleh sarana yang disediakan pemerintah yakni police box di berbagai tempat. Sehingga memudahkan untuk melakukan pengembalian. Pun adanya sistem hukum berupa penerapan reward dan punishment yang efektif. Sebagai reward, orang yang mengembalikan barang tersebut bisa mendapatkan keuntungan sebesar 15-20% ataupun bahkan dapat memliki barang tersebut bila pemiliknya tidak mengambilnya, sedangkan sebagai punishment maka apabila orang yang menemukan barang tersebut tidak mengembalikan barang tersebut dan menggunakan barang yang bukan miliknya tersebut maka ia akan didenda sebesar 100.000 yen. Adapun budaya malu pada masyarakat Jepang juga menjadi salah satu faktor. Malu untuk mengambil barang milik orang lain. Pun terkait dengan lingkungan tempat tinggal masyarakat Jepang yang cenderung hidup di tempat yang tidak luas, sehingga sedikit ruang untuk menyimpan banyak barang dan terutama barang-barang yang tidak berguna. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat US.  Pada intinya Mark D West menjelaskan bahwa suatu hukum bergantung dari budaya masyarakat setempat, baik terkait pembentukan hukum (produk hukum) maupun pelaksanaan hukum tersebut.

            Saya setuju dengan pendapat bahwa produk Hukum dan pelaksanaannya adalah cerminan dari masyarakat tempat hukum itu berada. Berikut alasan saya :
            Manusia merupakan zoon politicon, artinya tidak dapat hidup sendiri, harus saling berinteraksi satu sama lain. Hal ini dikarenakan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, misalnya untuk memenuhi kebutuhan makan maka manusia membutuhkan nasi dan lauk pauk, nasi berasal dari padi yang ditanam dan lauk pauk dapat berupa hasil ternak. Manusia tidak dapat secara sendiri memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia konsumsi tersebut membutuhkan manusia yang memproduksi beras dan lauk pauk tersebut.
            Dalam berinteraksi maka tercipatalah hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam hal terdapat kesamaan nilai dan norma maka individu-individu tersebut berkumpul membentuk suatu kelompok, yang apabila kecil dapat disebut sebagai keluarga, dan apabila kelompok tersebut menjadi besar maka disebut sebagai masyarakat. Adapun guna menjaga keharmonisan di dalam masyarakat, mencegah dan menanggulangi konflik maupun sengketa, menciptakan ketertiban dan keamanan di dalam suatu masyarakat maka dibuatlah serangkaian aturan yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bersama tersebut. Adapun serangkain aturan/pedoman tersebut disertai dengan adanya sanksi dari otoritas sosial di dalam masyarakat sehingga terdapat suatu kekuatan dalam pelaksanaan aturan/pedoman tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai produk hukum. 
            Adapun produk hukum tersebut bersifat khas antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.  Hal ini dikarenakan setiap masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang khas. Kekhasan tersebut merupakan hasil dari daya cipta masyarakat yang ada pada tempat dimana masyarakat tersebut berada. Kekhasan tersebut dapat disebabkan, antara lain, karena kondisi alam, sejarah terbentuknya masyarakat tersebut, dan tradisi yang dipertahankan secara turun temurun. Hal ini berarti dalam hal penciptaan produk hukum suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda.  Sebagai contoh adalah hukum perkawinan pada masyarakat hukum adat sasak  (Lombok,Nusa Tenggara Barat).
Berasarkan artikel pada LAMPIRAN I, diketahui bahwa  Wanita Sasak dari kalangan bangsawan dibatasi hanya dapat menikah dengan sepupu mereka atau seorang bangsawan dari kelas sosial yang sama.  Apabila mereka menikah dengan rakyat biasa, wanita Sasak tersebut akan kehilangan gelar mereka, berisiko diasingkan, serta kehilangan hak warisnya. Mereka dilarang kembali ke desa asal mereka, kecuali dalam keadaan luar biasa seperti kematian orang tua - dan itupun hanya untuk memberikan penghormatan untuk hari itu saja. Ini merupakan suatu tradisi yang turun temurun wajib dilaksanakan oleh wanita Sasak. Demikianlah nilai perkawinan menurut masyarakat hukum adat Sasak. Hal ini menjadi suatu tradisi yang diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat hukum adat Sasak dan masih dipatuhi hingga saat ini.  Tradisi ini dimaksudkan untuk melestarikan kemurnian sistem kelas Sasak. Adapun sebagai konsekuensi dari hukum adat Sasak tersebut maka tidak sedikit wanita sasak dari kalangan bangsawan yang memilih untuk melajang hingga tua daripada harus menikah dengan orang yang dicintainya dan kehilangan segalanya ataupun menikah dengan orang yang tidak dicintainya dan tidak bahagia, seperti halnya Baiq. Namun demikian ada pula wanita Sasak dari kalangan bangsawan yang memilih untuk kehilangan kelas dan segalanya demi orang yang dicintainya, sebagaimana kasus ibunya Pipit (seorang bangsawan Sasak) yang meninggalkan desa Sasaot di Lombok Barat untuk belajar di Universitas Mataram dan  bertemu serta kemudian menikah dengan seorang Hindu non-Sasak. Hal ini dikarenakan  meningkatnya mobilitas masyarakat modern, pendidikan dan kekuatan ekonomi secara perlahan melonggarkan batasan hukum adat untuk beberapa orang Sasak. Islam.
Artikel tersebut menggambarkan bahwa suatu kebudayaan yang selanjutnya menjadi norma hukum adat yang wajib dipatuhi oleh masyarakat hukum adat tersebut merupakan contoh bahwa dalam pembentukan hukum tersebut ditentukan oleh tradisi (kebudayaan) masyarakat setempat yang sudah pasti berbeda dengan masyarakat lainnya, karena sifatnya khas. Sebagai sesuatu yang khas maka produk hukum tersebut hanya bisa berjalan efektif (dipatuhi) oleh masyarakat bersangkutan. Dalam artikel hukum perkawinan demikian hanya berlaku bagi masyarakat hukum adat Sasak. Sehingga adapun dalam  pelaksanaan produk hukum tersebut, maka hal ini sangat bergantung pada masyarakat yang bersangkutan. Adanya kepatuhan masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat hukum tersebut berada. Kepatuhan Baiq maupun penyimpangan yang dilakukan oleh ibunya Pipit adalah cermin dari pelaksanaan hukum tersebut.
           
3. Jelaskan dan bandingkan antara kajian pluralisme hukum klasik dengan kajian pluralisme hukum perspektif global. Silakan pergunakan tulisan Eriksen, Snyder, Nader, Tamanaha, Benda-Beckmann yang telah dibahas dalam diskusi di kelas sehingga dapat memperkuat penjelasan Anda. Penggunaan slide kuliah saja untuk menjawab akan berpengaruh pada nilai yg tidak maksimal (nilai 0-20 point)
Jawaban :
            Perkembangan kajian pluralism hukum secara umum terbagi atas 2 yakni kajian pluralisme hukum klasik (terdiri atas mapping/pemetaan, interaksi antar sistem hukum, dan pilihan-pilihan hukum individu) dan kajian pluralisme hukum perspektif global.  Menurut Sulistyowati Irianto (2000) Pemetaan dilakukan keberadaan seluruh sistem hukum yang hadir dalam masyarata (hukum Negara. Hukum adat, hukum agama, bidang-bidang sosial semi otonom, hukum internasional, hukum transnasional). Selanjutnya melakukan analisis terhadap interaksi, kompetisi diantara sistem hukum yang ada. Berikutnya melakukan analisis terhadap pilihan-pilihan hukum yang dilakukan individu.Sementara pluralism hukum dalam perpektif global membahas mengenai adanya interdependensi antara berbagai sistem hukum yang ada, kontestasi, difusi antara sistem-sistem hukum yang ada, kajiannya bersifat multi spasial dan multi situs, sifatnya borderless dan modern.
            Thomas Hylland Eriksen, dalam artikelnya Multiculturalism, Individualism, and Human Rights: Romanticism, The Enlightenment, and Lessons from Mauritus[8] pada intinya menjelaskan mengenai bagaimana kencenderungan berbagai etnik untuk saling bermusuhan/perang. Namun demikian hal ini tidak terjadi di Mauritius (wilayah dengan keragaman ras,agama, suku bangsa, Bahasa, dan lainnya). Multikulturalisme di Mauritius mampu berlangsung secara harmonis, dengan adanya suatu interaksi yang saling menghargai, bertoleransi,dan manajemen kompetisi yang baik  Adanya variasi kebudayaan yang beragam merupakan suatu tantangan politis. Keberadaan persamaan hak merupakan suatu kontradiksi dari hak untuk berbeda.  Adanya keberagaman etnik di Mauritius adalah contoh keharmonisan kehidupan masyarakat yang multikultural, yakni dengan terdapatnya Hindus, “Creoles” of African descent, Indian muslims, Tamils and Telugus, orang-orang cina, dan prancis dan lainnya yang hidup bersama di Indian Ocean. Kehidupan di Mauritus tersebut menjadi contoh bagi sistem British Westminer. Sebagaimana banyak etnik dalam suatu masyarakat, permasalah terkait sekolah, agama dan Bahasa adalah hal yang rumit dan kontroversial di Mauritius. Namun demikian, terdapat  kompromi atas 3 hal tersebut oleh masyarakat di dalamnya. Kunci dalam menghadapi multikulturalisme ini adalah adanya individualisme, yakni dihargainya hak-hak individu tersebut dengan bertoleransi dengan hak-hak individu lainnya. Multikulturalisme yang baik merupakan percampuran antara berbagai dalam perbedaan.  Dalam hal politik, pendidikan, pasar, segala sesuatunya harus dilembagakan dalam suatu dialog bersama. Adanya dialog menyebabkan berbagai suara dapat didengarkan dan segala permasalahan dapat disampaikan dan dipecahkan secara bersama-sama. Keterbukaan dan komunikasi yang baik merupakan solusi pada masyarakat yang multikultural. 
            Francis Snyder, dalam artikelnya Governing Economic Globalization : Global Pluralism and European Union Law[9] memaparkan bahwa perkembangan ekonomi yang semakin menjadi global (global economic networks) memerlukan dukungan secara total dari berbagai sekor, termasuk hukum yang berlaku. Jaringan ekonomi global membutuhkan totalitas strategi,  situasi yang tepat, dan hubungan dengan berbagai institusi, norma-norma, dan berbagai proses di dunia. Perkembangan ekonomi global tersebut terkait dengan perkembangan industry mainan yang sangat ditentukan oleh strategi perusahaannya.  Berbagai strategi tersebut berkaitan erat dengan pembentukan norma dan hukum, dan elaborasinya.  Dalam ekonomi global hal paling penting adalah adanya norma, institusi penegakkan norma dan cara menyelesaikan perselisihan.
            Global legal pluralism (pluralisme hukum global) merupakan cara untuk mendeskripsikan struktur dari keseluruhan situs/ tempat yang adalah sistem ekonomi global. Hal ini selanjutnya dapat diklasifikasikan dalam 2 pendekatan yakni pendekatan pasar (market-based) dan pendekatan pemerintahan (polity-based). Pendekatan pasar dilakukan berdasarkan aktor-aktor  ekonomi yang berada dalam proses ekonomi tersebut. Sementara pendekatan pemerintahan terkait dnegan stuktur politik, konvensi, persetujuan antar pemerintah/Negara.  Berikutnya, setiap tempat memiliki struktur pembentukan keputusan yang berbeda, berdasarkan institusi, norma dan prosesnya. Suatu Negara yang berada dalam global legal pluralism merupakan cerminan dari struktur kekuasaan dan kekuatannya dalam rantai komoditas ekonomi global. Dengan memahami global legal pluralism maa memudahkan kita untuk memahami globalisasi ekonomi dan menjawab berabagai tantangan dan hambatan dalam globalisasi ekonomi tersebut.
            Berikutnya Laura Nader, dalam artikelnya Civilization and its Negotiation[10] menjelaskan negosiasis sebagai suatu metode penyelesaian  sengketa yang sebaiknya digunakan dalam sengketa internasional. Contoh yang digunakan adalah kasus sungai/danau. Untuk mendapatkan negosiasi yang baik maka diperlukan negosiator yang handal.
            Tamanaha, dalam artikelnya berjudul Understanding Legal Pluralism Past to Present, Local to Global[11] menjelaskan bahwa pluralisme hukum ada dimana-mana, dari level lokal paling rendah hingga global. Dari desa hingga Negara, ada pula hukum nasional, transnasional, dan internasional dengan berbagai tipe. Di beberapa masyarakat terdapat hukum adat, hukum agama, dan lainnya. Pluralisme ini menjadi penting karena terdapat beberapa aturan yang tidak terkoordinasi dengan baik, berdampingan,  tumpang tindih, akibat keragaman diantara mereka. Terdapat banyak pandangan mengenai Pluralisme Hukum, dari sisi Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Perbandingan Hukum, Hukum Internasional, dan lainya. Masing-masing membahasnya dengan cara berbeda.  Artikel ini memaparkan kerangka untuk menolong kita menelaah dan memahami pluralistis dari hukum yang ada saat ini. Tamanaha selanjutnya menjelaskan bahwa pendekatan pluralisme hukum kontemporer yang menghindari masalah konseptual disebabkan oleh kebanyakan pendekatan hari ini, membingkai ciri menonjol dari pluralism hukum. Dalam kajian pluralism hukum klasik maka hukum merupakan hasil tawar menawar politis. Tamanaha, menjelaskan mengenai enam Sistem Normatif di Arena Sosial yakni (1) sistem hukum resmi, (2) adat / sistem normatif budaya, (3) agama / sistem normatif budaya, (4) ekonomi / sistem kapitalis normatif, (5) sistem normatif fungsional, (6) masyarakat / sistem normatif budaya.
            Benda-Beckmann memaparkan bahwa kajian pluralism hukum berintikan pada bagaimana sistem-sistem hukum saling berinteraksi satu sama lain.Yang paling penting bukan dapat ditunjukkannya legal pluralism, tetapi apa yang terkandung dalam kemajukan tersebut.[12] Bagaimana berbagai sistem hukum tersebut saling berinteraksi, bagaimana sistem hukum secara bersama-sama bila berada dalam suatu lapangan kajian tertentu.
            Hukum adalah proposisi yang mengandung konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Pada masa sekarang konsep hukum yang mengacu pada konsepsi normatif dan kognitif ini dapat digunakan untuk menguraikan kerumitan dalam menjelaskan kerangka pikir pluralisme hukum ‘baru’. Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen, bagian-bagian atau cluster, yaitu konsepsi normatif, konsepsi kognitif dan para aktor. Pembahasan mengenai kompleksitas pluralisme hukum dalam perspektif global, disebabkan oleh fakta mengenai konstelasi pluralism hukum yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam karakter sistemik dari tiap-tiap cluster. Seperti yang dikatakan oleh Keebet von Benda- Beckmann: ‘In fact, many constellations of legal pluralism are characterized by great diversity in the systemic character of each of its components’.

4. Jelaskan rencana penelitian kecil yang akan dikerjakan oleh kelompok Anda untuk tugas akhir matakuliah ini (nilai 0-10 point)
Jawaban :
Salah satu rencana penelitian kecil kami adalah mengenai penerapan syariah Islam pada masyarakat provinsi Banten (peraturan daerah). Berdasarkan data[13] diketahui terdapat 6 Perda Syariah di Provinsi Banten, yakni :
1. Banten Perda No. 4/2004 tentang Pengelolaan Zakat
2. Pandeglang SK Bupati Kab Pandeglang No. 09 Tahun 2004 tentang seragam
sekolah SD,SMP, SMU
3. Tanggerang Perda Tenggerang No. 7/2005 tentang mensual, mengecer, dan
menyimpan minutan keras, mabuk-mabukan.
4. Tangerang Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 8 Tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran
5. Serang Perda Kota SErawng No.1/2006 tentang Madrasah diniyah Awwaliyah
6. Tanggerang Surat Edaran Walikota Tanggerang (Agustus 2008) tentang
Penutupan Sementara Usaha Jasa Hiburan selama Bulan Suci Ramadhan dan
Idul Fitri 1429 H
Adapun lebih spesifiknya, kami berencana untuk meneliti bagaimana penerapan Perda Syariah di kota Tangerang, khususnya ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran[14] yang mengatur bahwa
Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah. “
Hal ini terkait dengan kesalahan penangkapan wanita-wanita yang pulang malam yang mana bukan pelacur[15], serta adanya peneguran terhadap pemakaian celana pendek[16] . Ketentuan pasal 4 ayat (1) tersebut di satu sisi menegakkan hukum islam namun demikian di sisi lain telah melanggar ketentuan hukum negara (UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Sebagaimana diketahui terdapat komunitas Tionghoa di Tangerang dan non-muslim lainnya, dan Perda Syariah tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi bagi wanita non-muslim. Adapun berikut nya berdasarkan pasal 22 UU Otonomi Daerah maka pemerintah daerah berkewajiban untuk melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan NKRI. Oleh sebab itu sudah sewajibanya pemda kota Tangerang berlaku bijak dalam menerapkan perda syariah tersebut jika memang bersikeras menerapkannya.
Penelitian kami akan dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan terhadap buku-buku dan peraturan perundang-undangan terkait. Sementara studi lapangan akan dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Adapun yang menjadi target untuk diwawancarai adalah wanita-wanita (dewasa) di kawasan Tangerang pada beberapa kecamatan secara random dengan ketentuan harus ada beragam agama dan etnis, selanjutnya  aparat penegak hukum (polisi kota Tangerang), dan unsur pemerintah kota Tangerang (misalnya,  dinas sosial setempat ataupun  walikota atau staff ahli hukum kota Tangerang). Penelitian akan digunakan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut (tentatif):
-          Bagaimana kepatuhan wanita-wanita kota Tangerang terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perda kota Tangerang No.8 tahun 2005?
-          Bagaimana tindakan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menerapkan Pasal 4 ayat (1) Perda kota Tangerang No.8 tahun 2005?
-          Bagaimana kedudukan Perda kota Tangerang No.8 tahun 2005 dibandingkan dengan Undang-Undang HAM?
Selanjutnya, detil mengenai waktu pelaksanaan, timeline kegiatan, anggaran, dan rincian lainnya akan dibahas pada proposal penelitian kami. Untuk sementara, estimasi waktu pelaksaan adalah satu bulan (30 hari), dengan kegiatan awal adalah pengumpulan bahan kepustakaan, selanjutnya menyusun daftar pertanyaan kuisioner dan wawancara, menghubungi narasumber dan mencari responden, berikutnya menyebar kuisioner dan melakukan wawancara, setelah itu menganalisis data yang telah diperoleh kemudian menyusun laporan hasil penelitian. Adapun anggaran yang dibutuhkan, estimasinya, adalah Rp1000.000,00. 

5. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan PIE dan unPIE menurut Felstiner dkk. Kemudian, carilah satu putusan hakim yang memuat tentang kerugian yang diderita para pihak beserta bentuk ganti rugi yang diputuskan hakim (boleh tentang hukum lingkungan, perdata, maupun kasus pidana) dari direktori putusan MA. Dari putusan tersebut – terutama bagian tentang penjelasan kerugian yang diderita salah satu pihak serta bentuk ganti ruginya, apakah menurut Anda sesuai dengan prinsip PIE dan unPIE yang dikemukakan oleh Felstiner dkk? Jangan lupa cantumkan nomor putusannya, dan ceritakan saja garis besar perkaranya. Lampirkan juga print out putusan tsb di belakang lembar jawaban (nilai 0-30 point)
Jawaban :
Ø    Menurut Felstiner, Abel dan Sarat[17] proses perkembangan sengketa melalui 3 tahap yakni Naming (salah satu pihak merasakan adanya permasalahan dan kerugian akibat tindakan pihak lain, dalam hal ini baru sekedar perasaan belum ada keluhan), Blaming (pihak yang dirugikan tersebut menyampaikan masalah/keluhan kepada pihak yang dianggap merugikannya), dan Claiming (pihak yang dirugikan mengajukan keluhan kepada pihak ketiga untuk memperoleh upaya penyelesaian).
            Dalam menghitung besarnya kerugian tersebut berdasarkan 2 klasifikasi yakni PIE (kerugian materil) dan unPIE (kerugian immaterial). Menurut Felstiner dkk suatu kerugian immaterial harus dapat ditransformasikan menjadi kerugian materil. Kerugian immaterial adalah sesuatu yang nilainya relatif tergantung pada penilian seseorang apa yang dirasakan sebagai kerugian (someone deifinition of what injurious). Untuk dapat secara bijak menentukan adil tidaknya tuntutan kerugian tersebut dapat merujuk pada beberapa faktor antara lain : parties (hubungan para pihak, baik terkait status dan kedudukan masing-masing), attributions (penyebab terjadinya kerugian), scope (ruang lingkup yang menyebabkan terjadinya kerugian), choice of mechanism (pilihan mekanisme melakukan tuntutan terhadap kerugian, apakah melalui pengadilan, mediator, arbitrase, dan lainya), objectives sought (apa yang dicari atau diinginkan dan berapa banyak), ideology (paham ideal para pihak merupakan alasan mendasar mengapa melakukan penuntutan kerugian), reference groups (terkait dengan pengaruh dari kelompok tertentu), representatives and officials (bagaiamana seseorang yang mewakili pihak bersengketa untuk mendefinisikan kerugian pihak yang diwakilinya), dispute institutions (intitusi penyelesaian sengketa, bagaimana pihak otoritas selanjutnya memahami kerugian tersebut)
Ø    Adapun salah satu contoh Putusan terkait adalah Putusan No. 2801 K/Pdt/2008 yang diputus pada tahun 2009[18]. Jenis perkara merupakan perkara perdata dengan subklasifikasi Perbuatan Melawan Hukum. Adapun tingkat proses perkara adalah kasasi dan sudah berkekuatan hukum tetap. Sengketa terjadi antara M. SAJONO (Penggugat) VS. HARLIANTO (Tergugat). Adapun peristiwanya sebagai berikut:
-          Penggugat adalah ketua RT setempat yang terkenal akan profesionalitas dan sopan santunnya.
-          Suatu ketika, Penggugat menerima surat dari perusahaan PT.Agus Bersaudara Prima/Harlianto (Tergugat ) perihal mohon perlindungan atas hasutan dan ancaman Ketua RT. 061 Bukit Indah Permai Karang Asam Sungai Kunjang ter t angga l 26 September 2005 dengan Nomor : 09.AGS/ IX/05 , yang di tu j u kan kepada : (1) Bapak Gubernur Kalimantan Timur ; (2) Bapak Kapolda Kalimantan Timur; (3) Bapak Kepala Badan Pengawas Propinsi Kalimantan Timur ; (4) Bapak Walikota Kota Samarinda ; Adapun Surat te rsebut di atas yang dibuat oleh Tergugat (Har l i a n t o ) selaku Direk tu r PT. Agus Bersaudara Prima, dijelaskan bahwa Penggugat telah melakukan perbuatan pengancaman dan menghasut warga RT. 061 Perumahan Buki t Indah Permai (Perum BIP) serta Penggugat telah melakukan pengrusakan sebuah rumah milik Tergugat di Permai BIP;
-          Selanjutnya, suatu waktu pada surat kabar Samarinda Pos terdapat berita dengan judul tanah dicaplok, warga keturunan lapor polisi yang dibuat oleh Tergugat, yang berisikan tuduhan bahwa Penggugat melakukan perbuatan penguasaan tanah milik Tergugat di Perumahan Indah Permai Sungai Kujang Samarinda;
-          Baik surat dan berita Koran tersebut berisikan pencemaran nama baik Penggugat. Hal tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Akibat perbuatan Tergugat, Penguggat mengalami kerugian yang sangat besar, baik moril maupun materiil. Oleh sebab itu, Penggugat meminta ganti rugi kepada Tergugat sebesar:
-          Kerugian moril, akibat tercemarnya nama baik Penggugat tersebut yang dilakukan oleh Tergugat mengakibat kan Penggugat mengalami kerugian yang sangat besar , baik moril maupun materi l . Bahwa atas kerugian tersebut Penggugat meminta ganti rugi kepada Tergugat sebesar Rp. 6.000.000 .000 , - (enam mi lya r rup iah ) , dengan perincian sebagai berikut :
Bahwa kerugian moril yaitu akibat tercemarnya nama baik Penggugat baik sebagai Ketua RT. 061 di lingkungan Perumahan Buki t Indah Permai (Perum BIP) maupun sebagai Pegawai Neger i Sipil (PNS) yaitu sebesar Rp. 3.000.000.000 , - ( tiga milyar rupiah)
-          Kerugian materiil yaitu akibat perbuatan Tergugat , Penggugat telah kehilangan keuntungan yang seharusnya Penggugat terima atau nikmati karena hilangnya kepercayaan dari masyarakat dan masyarakat enggan berhubungan dengan Penggugat , sehingga Penggugat kesulitan dalam menja lankan kegiatan-kegia tan yang berkaitan dengan tugas yang diembannya baik sebagai Ketua RT. 061 Perumahan Bukit Indah Permai (Perum BIP) maupun kepada masyarakat luas , serta hi l angnya kepercayaan dar i pemimpin maupun sesama Pegawai di kantor tempat bekerja Penggugat , yaitu sebesar Rp. 3.000.000.000 , - ( tiga milyar rup iah )
-          Untuk menjamin tuntutan ganti ruginya Penggugat meminta adanya sita jaminan, dan agar akibat dari berita yang tidak benar tersebut tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi Penggugat, Penggugat juga meminta adanya keputusan provisi yang isinya memberitahukan dan menghukan Tergugat untuk minta maaf pada harian surat kabar dan dwangsom atas pelaksaan tersebut.
Gugatan Penggugat tersebut selanjutnya dibalas Tergugat melalui eksepsinya. Berikutnya dalam putusan PN Samarinda No.10/Pdt.G/2006/PN.Smd pada amar menyatakan sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
DALAM PROVISI :
Menolak tuntutan provisi Penggugat untuk seluruhnya .
DALAM POKOK PERKARA :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 149.000, - (Seratus empat puluh sembi lan r ibu rup iah ) .
Selanjutnya, Penggugat mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda selanjutnya dengan putusan No. 93/PDT/2007/PT.KT.SMDA tanggal 04 Maret 2008 menguatkan putusan PN Samarinda.
Berikutnya Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam memori kasasinya, terkait dengan tuntutan kerugian, Penggugat menyatakan bahwa Bahwa Pertimbangan Judex Factie telah salah dan keiliru dalam menimbang :
“ Bahwa karena dasar gugatan Penggugat ten tang pencemaran nama baik ditolak , sehingga menurut hemat Majel i s tuntu tan selan ju t nya tentang kerugian moril maupun materil yang mendasarkan pada tuntutan pencemaran nama baik haruslah ditolak " (Putusan Pengadi l an Neger i Hal 19) .
Karena Pemohon Kasasi dalam mengajukan Gugatannya di dalam perkara in casu telah dapat membuktikan bahwa Termohon Kasasi telah melakukan Pencemaran Nama baik yang telah merugikan nama baik maupun kehormatan Pemohon Kasasi . Selanjutnya berdasarkan pasal 1372 KUHPerdata yang berbunyi sebagai beriku t :
Ayat (1) : " Tuntu tan Perdata tentang hal penghinaan adalah ber tu j uan mendapat penggant i an kerug ian ser ta pemul ihan kehormatan dan nama baik ;
Ayat (2) : " dalam meni la i k an satu dan la i n . Hakim harus memperhat i kan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat , kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan pada keadaan ;
Maka atas dasar hukum tersebutlah Pemohon Kasasi dalam hal ini difitnah dan dicemarkan nama baik , kehormatan serta pandangan masyarakat yang setelah terbitnya berita tersebut menjadi negatif kepada Pemohon Kasasi. Dan hal tersebut perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk menilai seberapa jauh suatu Perbuatan Pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Termohon Kasasi , serta perbuatan yang telah dilakukan oleh Termohon Kasasi harus diper tanggungjawabkan sesuai Pasal 1372 KUHPerdata . Adanya kepentingan Pemohon Kasasi yang menuntut agar ganti rugi berupa moril Maupun Materil terhadap Termohon Kasasi yang telah melakukan Perbuatan Pencemaran nama baik merupakan suatu tun tu tan gant i rug i yang sah secara hukum (vide Pasal 1372 KUHPerdata) ; Atas dasar hukum yang memperbolehkan untuk meminta pertanggung jawaban atas Perbuatan Pencemaran nama baik yang te lah di l akukan seseorang maka Pertimbangan Judex Factie yang telah menilai Ganti rugi yang diminta oleh Pemohon Kasasi harus lah di tolak merupakan Pertimbangan yang harus diba ta l kan karena te lah ber to l ak belakang dengan aturan yuridis yang berlaku ;
Dalam memori kasasi tersebut Penggugat menyatakan bahwa dengan demikian berarti Judex Fact ie tidak meneliti secara cermat dan sama sekali tidak mempertimbangkan secara keseluruhan bagian dari keberatan - keberatan Pemohon Kasasi , karenanya keputusan tersebut sudah tentu tidak mempunyai pertimbangan yang cukup (Onvoldoende Gemotiveerd). Oleh sebab itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah sepatutnya membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi yang dikasasi ini;
Adapun selanjutnya Mahkamah Agung Repulik Indonesia memberikan putusan kasasi yang isinya sebagai berikut :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi  : M. SAJONO tersebut;
Menghukum Pemohon Kasas i dahulu Penggugat /Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam t i ngka t kasas i in i sebesar Rp. 500.000,- ( lima ratus ribu rup iah ) ;
           
Ø    Berdasarkan putusan tersebut diketahui bahwa gugatan Penggugat tidak dikabulkan dan tuntutan ganti ruginya juga berarti tidak terpenuhi. Dalam hal tuntuan ganti rugi dan alasannya yang diajukan oleh Penguggat maka dapat dilihat telah sesuai dengan prinsip PIE dan unPIE yang dikemukakan oleh Felstiner dkk. Sementara dalam hal putusan pengadilan yang tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut adalah tepat terkait dengan tidak terbuktinya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakan Tergugat kepada Penguggat. Dengan tidak terbuktinya suatu PMH tersebut sudah semestinyalah tuntutan ganti rugi juga tidak dipertimbangkan dan tidak dikabulkan. Sebab sifat dari tuntutan ganti rugi adalah sanksi atas dilanggarnya PMH tersebut.
Ø    Adapun bila tuntutan kerugian yang diajukan oleh Penggugat dianalisis maka dijelaskan sebagai berikut :
-          Parties : hubungan Penggugat adalah antara ketua RT (Penggugat) dan warga RT (Tergugat). Artinya disini kedudukan Ketua RT secara hierarki lebih tinggi. Namun demikian dengan melihat pada pekerjaan para pihak Penggugat (PNS) sementara Tergugat (direktur suatu perusahaan swasta), sehingga ganti rugi dimungkinkan didapatkan dari Tergugat, karena kondisi ekonomi Tergugat tampaknya bagus;
-          Attributions, dalam hal ini penyebab terjadinya kerugian adalah Pencemaran Nama Baik yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat melalui Surat Kabar dan Surat tertulis dengan tembusan kepada atasan Penguggat; Hal ini menimbulkan malu bagi Penggugat terhadap atasan maupun masyarakat yang ia pimpin (khususnya) dan seluruh masyarakat yang membaca artikel di surat kabar tersebut;
-          Scope, ruang lingkup kerugian cukup besar, yakni menyangkut pribadi dan jabatan Penggugat
-          Choice of mechanism, dalam hal ini mekanisme penuntuntutan dilakukan melalui proses peradilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama (PN Samarinda), pengadlan banding (PT Samarinda), kemudian kasasi (Mahkamah Agung RI)
-          Objectives sought, yang diinginkan oleh Penggugat adalah ganti rugi atas kerugian moril (immaterial) dan materilnya serta permohonan maaf di surat kabar oleh Tergugat. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki citra, mengembalikan harta, martabat dan nama baik Penggugat.
-          Ideology, paham ideal Penggugat yakni alasannya mengajukan tuntutan kerugian adalah terkait harkat, martabat dan harga dirinya sebagai individu dan pejabat public.
-          Reference groups, dalam hal ini tidak terdapat pengaruh dari kelompok tertentu, misalnya keluarganya ataupun pihak lain. Namun tidak dapat dinafikkan apabila ada pengaruh dari kuasa hukum Penggugat dalam menentukan besarnya tuntutan kerugian tersebut.
-          Representatives and officials, dalam kasus maka Penggugat diwakili oleh dua orang kuasa hukumnya.
-          Dispute institutions, institusi peradilan dalam hal memandang kerugian tersebut tidak dapat dipenuhi mengingat tidak terbuktinya tindakan Perbuatan Melawan Hukum pencemaran baik tersebut.

6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ‘tiga jalan raya Hoebel’ beserta kekuatan dan kelemahan masing-masing pendekatan tersebut (nilai 0-10 point).
Jawaban :
Hukum dapat dikaji dengan beragam cara. Berdasarkan kategorisasi terhadap berbagai kumpulan penelitian mengenai hukum, Hoebel mengklasifikasikannya atas 3 alur atau cara yang disebut dengan 3 Jalan Raya Hoebel sebagai berikut[19] :
1.      Alur ideologis ; dalam cara ini diidentifikasi aturan-aturan yang umum berlaku dalam masyarakat/norma ideal. Kekuatan : Substansi hukum dipahami dengan sangat baik. Kelemahan : Terbatas pada hal-hal ideal (apa yang seharusnya terjadi)
2.      Alur sosiologis ; mengkaji perilaku manusia sehari-hari tanpa terfokus pada bidang hukum tertentu. Tidak melihat hukum perdata, hukum pidana atau bidang hukum tertentu, melainkan keseluruhan hukum yang ada. Hal ini dilakukan guna melihat bagaimana perilaku aktual manusia tersebut (apa yang sebenarnya terjadi). Kekuatan : Menggambarkan peristiwa dengan sangat baik, detail dan menyeluruh. Kelemahan : Dikarenakan terlalu detil maka pembahasan menjadi  tidak fokus, terlalu luas dan melebar. 
3.      Alur kajian sengketa ; kajian fokus pada perilaku anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa untuk dapat melihat pilihan hukumnya, bagaimana ia menaati suatu aturan hukum dan lainnya. Dalam hal ini kasus kajian sengketa diamati dan diperiksa dengan hati-hati. Hal ini merupakan cara utama dalam upaya untuk menemukan suatu hukum. Dengan melakukan kajian terhadap kasus sengketa (tidak hanya penyelesaian sengketa) maka dapat diperoleh bagaimana kenyataannya hukum bekerja di dalam masyarakat (das sein). Kekuatan : datanya paling akurat, paling banyak, dan paling mengambarkan hal yang sesungguhnya terjadi. Kelemahan : Dalam hal dilakukan extended case yakni dengan cara tracking case (bila sengketa tidak ada) ataupun simulasi guna mengetahui kasus sengketa maka dimungkinkan bahwa sengketa tidak selalu ada (misalnya pada kawasan tempat tinggal komplek), pun tidak semua orang nyaman untuk bercerita mengenai kasusnya, sehingga sengketa dapat saja direkayasa dan tidak sesuai dengan sebenarnya terjadi.














Daftar Pustaka
Felstiner, William L.F dkk. “The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming”. ProQuest Information and Learning & Law and Society Association, Law and Society Review, 1980/1981.
Ihromi, T.O. “ANtropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2001.
Koentjaraningrat. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: Rineka Cipta,2009.
Mertokusumo,  Sudikno. “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”. Yogyakarta : Liberty, 2005.
Moore, Sally Falk. “Law and Anthropology A Reader”. UK : Blackwell Publishing Ltd, 2005.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. “Perihal Kaedah Hukum”. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.

D.West, Mark. ”Losers : Recovering Lost Property in Japan and the United State” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=316119. Diakses pada 3 April 2014.
Brian Z Tamanaha. “Understanding Legal Pluralism Past to Present, Local to Global” http://www.equalbeforethelaw.org/sites/default/files/library/2007% 20Understanding%20Legal%20Pluralism%20Past%20to%20Present%20Local%20to%20Global.pdf. Diakses pada 3 April 2014.
Beckmann, Kebbet von Benda. “Globalisastion and Legal Pluralism” .
_, “Perda Syariah Diurutkan Tahun berdasarkan Provinsi” file:///C:/Users/SONY/Downloads/Perda+Syariah+diurutkan+Tahun+berdasarkan+Provinsi.pdf. Diakses pada 4 April 2014.
Lanskap Regulasi. “Perda Kota Tangerang Nomor 7 dan 8” http://lanskap-regulasi.blogspot.com/2008/02/perda-kota-tangerang-nomor-7-dan-8.html. Diakses pada 6 April 2014.
 Liputan 6 dot com. “Mendagri memanggil walikota Tangerang” http:// news.liputan6.com/read/119219/mendagri-memanggil-wali-kota-tangerang. Diakses 5 April 2014.
 Arrahmah. “Cegah Pornoaksi dengan razia celana pendek komnas perempuan kecam polisi”, http://www.arrahmah.com/read/2012/01/16/17447-cegah-pornoaksi-dengan-razia-celana-pendek-komnas-perempuan-kecam-polisi.html. Diakses pada 5 April 2014.
Direktori Putusan Mahkamah Agung. “Perkara Perdata”, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9ca62766e0208db02f0ac420195fa264. Diakses pada 3 April 2014.


       [1]Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, “Perihal Kaedah Hukum”, (Bandung ; Citra Aditya Bakti, 1993), hal.2.
[2] Ibid., hal.4.
[3] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi”, (Jakarta; Rineka Cipta,2009), hal.144.
[4] T.O. Ihromi, “ANtropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2001), hal.11.
[5] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, hal.97.
       [6] Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, (Yogyakarta : Liberty, 2005), hal 40.
       [7] Mark D.West, ”Losers : Recovering Lost Property in Japan and the United State” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=316119, diakses pada 3 April 2014.
       [8] Sally Falk Moore, “Law and Anthropology A Reader”, (UK : Blackwell Publishing Ltd, 2005), hal.306-312
[9] Sally Falk Moore, hal. 313 – 329.
[10] Sally Falk Moore, hal. 330 – 343.
       [11] Brian Z Tamanaha, “Understanding Legal Pluralism Past to Present, Local to Global” http://www.equalbeforethelaw.org/sites/default/files/library/2007% 20Understanding%20Legal%20Pluralism%20Past%20to%20Present%20Local%20to%20Global.pdf, diakses pada 3 April 2014.

[12] Kebbet von Benda Beckmann, “Globalisastion and Legal Pluralism” bahan kuliah, hal.1-7.
       [13]_, “Perda Syariah Diurutkan Tahun berdasarkan Provinsi” file:///C:/Users/SONY/Downloads/Perda+Syariah+diurutkan+Tahun+berdasarkan+Provinsi.pdf, diakses pada 4 April 2014.
       [14] Lanskap Regulasi, “Perda Kota Tangerang Nomor 7 dan 8” http://lanskap-regulasi.blogspot.com/2008/02/perda-kota-tangerang-nomor-7-dan-8.html, diakses pada 6 April 2014.
      [15] Liputan 6 dot com, “Mendagri memanggil walikota Tangerang” http:// news.liputan6.com/read/119219/mendagri-memanggil-wali-kota-tangerang, diakses 5 April 2014.
      [16] Arrahmah, “Cegah Pornoaksi dengan razia celana pendek komnas perempuan kecam polisi”, http://www.arrahmah.com/read/2012/01/16/17447-cegah-pornoaksi-dengan-razia-celana-pendek-komnas-perempuan-kecam-polisi.html, diakses pada 5 April 2014.
      [17] William L.F Felstiner dkk, “The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming”, (ProQuest Information and Learning & Law and Society Association, Law and Society Review, 1980/1981), hal. 631 – 654).
[18] Direktori Putusan Mahkamah Agung, “Perkara Perdata”, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9ca62766e0208db02f0ac420195fa264, diakses pada 3 April 2014.

[19] T.O.Ihromi, hal 61 -  73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar