Kamis, 02 Mei 2019

Catatan: Hukum dan HAM


HAM dalam Transisi Politik

11 Maret 2014
Berikut adalah ringkasan dan tanggapan terhadap Bahan Kuliah butir 1[1] :
Ringkasan “Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik”
Istilah “Human Right” dalam Uiversal Declaration of Human Rights dikenal sejak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Istilah ini menggantikan istilah natural rights (hak-hak alam) dan the rights of Man yang muncul setelahnya. Istilah HAM dianggap paling tepat untuk mendefinisikan hak-hak asasi bagi seluruh manusia tanpa membedakan gender.
Konsepsi HAM secara historis berawal pada masa Yunani dan Roma. Hal ini berkaitan erat dengan doktrin hukum alam pra modern Greek Stoicism (sekolah filsafat di Citium) yang mengemukakan bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh sebab itu harus dinilai berdasarkan kepada dan sejalan dengan-hukum alam. Menurut para Stois, akal budi dan emosi merupakan kelompok yang terpisah. Emosi-emosi merupakan bentuk dari putusan irasional. Para Stois memandang sekelilingnya dan menemukan diri mereka berada dalam dunia yang sudah gila, dunia sosial dimana kesombongan, kekejaman dan kebodohan memerintah sebagai yang  tertinggi. Namun demikian mereka percaya pada alam semesta yang rasional, betapaun irasionalitas itu ada pada kita. Mereka percaya pada kekuatan akal budi manusia (sebagai percikan cahaya ilahi) memungkinkan mengatasi kebodohan, kekhawatiran manusia yang kejam dan picik sehingga kita menyadari rasionalitas yang lebih besar. Stoisisme Yunani berperan dalam pembentukan dan penyebaran hukum Romawi, sehingga memungkinkan berkembangnya eksistensi hukum alam. Berdasarkan ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional), beberapa hak yang bersifat universal berkembang melebihi hak-hak warga Negara. Menurut Ulpianus (ahli hukum Romawi), doktrin hukum alam menyatakan bahwa alamlah (bukan Negara) yang menjamin manusia, baik warga Negara atau bukan.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan teori tentang negara dan hukum menurut J.J,von Schmid pemikiran tentang Negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradaban, tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad  adanya peradaban yang tinggi. Hal ini ditandai dengan  adanya hak warga negara untuk mengemukakan pendapat tentang Negara dan hukum secara kritis. Hal ini awalnya terjadi pada bangsa Yunani, tepatnya di Athena pada abad ke-5sebelum masehi.
Berikutnya, sebelum  abad Pertengahan, doktrin hukum alam sangat terkait dengan pemikiran liberal tentang hak-hak alam (natural right), yakni kebutuhan dan realita sosial yang bersifat umum. Pada masa ini, doktrin hukum alam menekankan pada faktor kewajiban sebagaimana dipisahkan dari faktor hak. Aristoteles dan St.Thomas Aquinas mengakui legitimasi perbudakan yang mana meniadakan ide utama dari HAM sebagaimana dipahami saat ini sebagai ide tentang kebebasan dan kesamaan. Selanjutnya pada abad ke-13 hingga abad Perdamaian Westphalia (1648), dan selama masa kebangkitan kembali (Renaissance) dan feodalisme maka tampak kegagalan dari para penguasa untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum alam, sehingga terjadi pergeseran teori dari hukum alam sebagai kewajiban menjadi hak.
Dalam perkembangan berikutnya terdapat pengaruh dari pemikiran Thomas Aquinas dan beberapa pemikir lainnya Pada saat itu, muncul pandangan  bahwa manusia diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut oleh siapapun. Hak tersebut tidak terlepaskan ketika manusia “terkontrak” untuk memasuki masyarakat dari suatu Negara dan tidak pernah dikurangi oleh tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak ketuhanan dari raja. T.Aquinas memahami bahwa hukum alam terletak dalam domain alasan politik. Hal ini diikuti oleh Murphy,Jr dan Dante Aligheri.
Pada abad ke-17 terdapat pengaruh pemikiran ilmu pengetahuan dan keberhasilan intelektua yang mendukung keyakinan dalam hukum alam dan tatanan yang universal. Pada abad ke-18 (Abad Pencerahan) muncul keyakinan terhadap akal manusia dan kesempuranaan dari hubungan manusia makin mengarah pada ekspresi yang makin komprehensif. Tulisan John Locke, Montesquieu, Voltaire dan JJ Rousseau adalah pendukung pemikiran tersebut. Locke menguraikan secara rinci bahwa hak-hak tertentu dengan jelas mengenai individu sebagai manusia, karena individu tersebut eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki masyarakat. Contoh dari hak tersebut adalah hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik. Menurut Locke, berdasarkan teori kontrak sosial, yang dilepaskan oleh manusia kepada Negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak tersebut, bukan pelepasan hak-hak. Artinya Negara dikontrak untuk menjaga kepentingan anggota-anggotanya, yakni dengan memberikan suatu hak rakyat untuk meminta pertanggungjawaban (dalam bentuk revolusi rakyat).
Selanjutnya, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 semua pemikiran liberal tersebut sangat mempengaruhi dunia Barat. Pemikiran John Locke sangat berpengaruh terhadap munculnya beberapa dokumen HAM, misalnya adanya Bill of Rights (hasil Revolusi Inggris pada tahun 1688), Declaration of Independence 1776 (oleh Thomas Jefferson), dan Declaration of the Rights of Man and Citizen 1879.
Ide-ide HAM tersebut memegang peranan penting dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini diterapkan terkait adanya kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Saat ini mayoritas sarjana hukum, filsuf dan kaum moralis sepakat bahwa setiap manusia berhak, paling sedikit secara teoritis, terhadap beberapa hak dasar tanpa membedakan budaya atau peradabannya. Perlindungan universal terhadap hak dasar manusia ini selanjutnya tercermin pada Universal Declaration of Human Right (1948), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1976, yang untuk selanjutnya dinyatakan berlaku.
Terdapat 3 (tiga) generasi HAM yang dikembangkan oleh Karel Vasak (ahli hukum Prancis), yakni : a) generasi pertama, hak-hak sipil dan politik (liberte), b) generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (egalite), c) generasi ketiga, hak solidaritas (fraternite). Generasi pertama meletakkan posisi HAM pada “bebas dari” bukan pada “hak dari”. Ia lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Hak ini sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 -21 Universal Declaration of Human Rights(UDHR). Selanjutnya generasi kedua, merupakan respon terhadap pelanggaran dan penyelewangan dari perkembangan kapitalis. Hak ini terdapat pada pasal 22 --- 27 UDHR. Berikutnya, generasi ketiga  merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Ia dapat dipahami sebagai cara terbaik sebagai produk dari kebangkitan dan kejatuhan Negara-bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20. Hak-hak ini tercantum pada pasal 28 UDHR  yang tampak mencakup enam hak sekaligus. Menurut Claude dan Weston, enam hak tersebut adalah (1) the right to political, economic, social, and cultural self-determination, (2) the right to economic and social-development, (3) the right to participate in and benefit from “the common heritage of Mankind”, (4) the right to peace, (5) the right to a healthy and balanced environment, (6) the right to humanitarian disaster relief. Keenam hak tersebut cenderung untuk disebut sebagai hak-hak kolektif, yang memerlukan usaha bersama dari semua kekuatan masyarakat untuk mencapainya.
Sementara itu, menurut Jimly Asshiddiqie HAM dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan, yakni Generasi Pertama pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era Enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama ini adalah penandatanganan naskah  UDHR. Elemen dasar konsepsi HAM mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Generasi Kedua, konsepsi HAM mencakup upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966). Generasi Ketiga, berawal dari tahun 1986, muncul pula konsepsi baru HAM, mencakup pengertian mengenai hak atas - atau untuk- pembangunan. Hak ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial, kebudayaan,pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Generasi Keempat berlandaskan pada pemikiran bahwa persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal. Sebagai alternatif, menurut Asshiddiqie, konsepsi HAM yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsepsi HAM sebelumnya. Pendapat Asshiddiqie tersebut merupakan pandangan HAM terkait perkembangan bidang ketatanegaraan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Selanjutnya, demi melengkapi Universal Declaration of Human Rights  maka dibuatlah Universal Declaration of Human Responsibilities (Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia). Hal ini muncul terkait adanya pandangan bahwa sudah saatnya hak diimbangi oleh tanggungjawab atau kewajiban.  Dokumen  ini tidak bermaksud untuk sekedar mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, tetapi juga untuk mendamaikan berbagai ideologi, kepercayaan, serta pandangan politik yang dimasa lampau dianggap bertentangan satu sama lain.
Berikutnya sebagai salah satu instrumen HAM di tingkat regional, terdapat Cairo Declaration on Human Right in Islam. Deklarasi ini ditetapkan dalam forum The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers pada tanggal 31 Juli – 5 Agustus 1990 di Kairo Mesir. Apabila deklarasi ini dibandingkan dengan Universal Declaration of Human Rights  maka ditemukan adanya wacana universalisme versus relativisme budaya dalam HAM, baik dalam perspektif umum maupun dalam perspektif Islam.  
Perdebatan mengenai universalisme dan relativisme budaya adalah masalah klasik dalam berbagai diskursus teori HAM. Menurut Todung Mulya Lubis (ahli hukum HAM FH UI) maka teori HAM cenderung untuk berlaku di antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya. Diantara kedua spektrum tersebut terdapat teori-teori yang didasarkan atas pandangan kelompok positivis, Marxis, agama dan perspektif lainnya. Dalam persepektif umum, menurut kalangan relativitis budaya, tidak ada suatu HAM yang bersifat universal, dan teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Berdasarkan teori ini, maka tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia menjadi berbeda. Oleh sebab itu, HAM yang berlaku bagi semua orang pada segala waktu dan tempat akan dapat dibenarkan jika manusia mengalami keadaan desosialisasi atau dekulturasi. Menurut Jack Donelly (peneliti HAM), kelompok relativitis budaya dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yakni : (1) radical cultural relativism, (2) strong cultural relativism, dan (3) weak cultural relativism. Pandangan mengenai universalitas dan relativisme budaya saat ini tiba  pada suatu kesimpulan bahwa relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah. Hal terpenting yang harus diupayakan dalam hal ini adalah bagaiman merekonsiliasikan berbagai perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya. Hal-hal ke arah itu sudah banyak dilakukan selama ini, namun perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.  Adapun dalam perspektif Islam, timbul gugatan dari Egi Sudjana bahwa bila dihadapkan pada isu HAM maka akan langsung dihadapkan pada Universal Declaration of Human Rights  yang tampak “manis” di atas kertas dan “busuk” dalam implementasinya. Sudjana berharap umat Islam segera sadar bahwa konsepsi HAM menurut Islam adalah yang benar-benar bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan dan berharap terdapat toleransi dari pihak lainnya terhadap konsep ini, sebagaimana toleransi umat Islam terhadap Barat dengan Universal Declaration of Human Rights-nya.



Tanggapan
Menurut saya, istilah Hak Asasi Manuasia memang lebih tepat digunakan untuk menjelaskan adanya hak-hak dasar pada manusia tanpa membedaka ras, agama, gender, kebudayaan dan lainnya. Namun demikian istilah ini bila didefinisikan lebih lanjut masih menimbulkan pertanyaan, apakah yang termasuk dalam hak-hak dasar? Bagaimana kriteria suatu hak manusia dapat dianggap sebagai hak dasar? Hingga saat ini, tampaknya tidak terdapat kesamaan kriteria dan penggolongan hak-hak dasar. Apabila merujuk pada UUD 1945 maka dapat dilihat terdapat pertentangan tersendiri antara ketentuan pasal 29 ayat (2)  dan pasal 28E ayat (1) dan implementasi dalam pemerintahan, dimana Negara kemudian tidak bebas memberikan hak masyarakat untuk memeluk agamanya. Hal ini terkait dengan hanya diakuinya beberapa agama dan kepercayaan tertentu di masyarakat. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan agama dan kepercayaan lainnya? Dengan tidak diakuinya agama dan kepercayaan lainnya maka dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran terhadap pasal 29 ayat (2) dan pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya munculnya doktrin hukum alam yang menyatakan bahwa manusia dan akal budinya (sebagai percikan cahaya ilahi/berasal dari alam) memungkinkan mengatasi kekacauan dunia ini, menurut saya hal ini dapat dibenarkan.  Namun demikian bila dipahami lebih lanjut adanya  pendapat Ulpianus bahwa alamlah (bukan Negara) yang menjamin manusia, maka saya tidak sepakat dengan hal ini. Sebab pada hakikatnya dibutuhkan lebih dari sekedar akal budi manusia untuk dapat menjamin kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan suatu penegakan hukum oleh Negara, dalam hal telah terjadi kekacauan atau ketidaktertiban di dalam masyarakat. Peran Negara adalah penting sebagai penguasa yang mampu menjatuhkan sanksi tegas agar masyarakat yang menimbulkan kekacauan dapat ditindaklanjuti, sehingga terciptalah nantinya suatu kedamaian dan keharmonisan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, akal budi manusia saja tidak cukup untuk menjami kehidupan manusia, dibutuhkan pula campur tangan dari Negara.
Selanjutnya, terkait dengan pemikiran J.J,von Schmid bahwa Negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradaban, tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad  adanya peradaban yang tinggi, maka saya sepakat dengan hal ini. Pada dasarnya peradaban memang telah ada sebelumnya terbentuknya Negara ataupun hukum. Masyarakat yang hidup berkelompok, kemudian membuat aturannya sendiri, memiliki pemimpinnya sendiri, dalam hal ini dapat berupa suatu suku/komunitas maka sudah merupakan bentuk dari adanya “Negara dan hukum” itu sendiri. Hanya saja tidak terdapat kesatuan otoritas atas suatu wilayah yang luas yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok tersebut. Dalam hal terjadi interaksi diantara kelompok tersebut dan mulai tercipta suatu hubungan antar kelompok yang lebih kompleks maka dibutuhkan peranan dari suatu otoritas resmi yang diakui oleh setiap kelompok untuk mengatur kehidupan antar kelompok masyarakat tersebut.Hal inilah yang kemudian menjadi cikal lahirnya Negara dan hukum. Oleh sebab itu benar adanya bila Negara dan hukum adalah gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad lamanya.
Berikutnya terkait dengan perkembangan doktrin hukum alam, yang mulanya sangat menekankan faktor kewajiban yang dipisahkan dari faktor hak, sehingga terdapat pengakuan (legitimasi) terhadap perbudakan. Hal ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang apabila dipandang pada saat ini, adalah hal yang meniadakan ide utama dari HAM (sebagaimana dipahami saat ini) yakni sebagai ide tentang kebebasan dan kesamaan.
Adanya kegagalan dari para penguasa untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum alam, kemudian menimbulkan pergeseran teori dari hukum alam sebagai kewajiban menjadi hak. Hak dalam hukum alam tersebut menurut beberapa para pemikir dulu merupakan sesuatu yang manusia miliki (diberkati) yang bersifatkekal dan tidak dapat dicabut oleh siapapun. Saya sepakat dengan hal ini, bahwa memang hak asasi manusia adalah sesuatu yang menjadi karunia Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia itu lahir hingga meninggal dunia dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak seorang pun dapat mengambilnya dari setiap manusia tersebut.
Selanjutnya, saya sepakat dengan pendapat John Locke yang menguraikan secara rinci bahwa hak-hak tertentu dengan jelas mengenai individu sebagai manusia, karena individu tersebut eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki masyarakat. Hak asasi manusia merupakan suatu hal yang mendasar dan murni yang dimiliki setiap manusia secara pribadi. Sebelumn manusia memasuki suatu kelompok atau masyarakat maka manusia itu telah serta merta membawa hak-haknya. Hak-hak manusia itu harus dapat dihargai satu sama lain ketika terjadi interaksi diantara manusia dalam kelompok masyarakat tersebut. Oleh sebab itu tidak satupun manusia dalam suatu masyarakat berhak merampas hak asasi manusia lainnya, sebab itu sudah merupakan bawaan masing-masing manusia yang merupakan karunia Tuhan. Hanya Tuhan lah yang dapat merampas/mengambil hak tersebut. Hal ini juga berarti bahwa Negara wajib melindungi hak-hak dasar manusia tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara sekalipun juga tidak boleh merampas atau meniadakan hak-hak asasi manusia dalam negaranya tersebut. Negara harus secara mutlak melindunginya.
Adanya ide-ide HAM tersebut memegang peranan penting dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini mengingat munculnya kesewenangan Negara dalam mengatur masyarakatnya. Kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan harus segera diakhiri dengan menegakkan hak asasi manusia dari setiap masyarakat yang ada dalam Negara tersebut, baik warga Negara maupun bukan warga Negara. Dalam hal adanya interaksi antar Negara, maka diperlukanlah suatu perlindungan universal terhadap hak dasar manusia. Setiap Negara wajib kemudian menghargai, melindungi, dan menjaga adanya hak-hak dasar manusia yang ada pada setiap Negara.
Oleh sebab itu tepatlah kemudian bila muncul ide Universal Declaration of Human Responsibilities (Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia) demi melengkapi Universal Declaration of Human Rights. Hal ini terkait bahwa dalam ditegakkannya hak asasi dasar manusia tersebut diperlukan pula kewajiban asasi manusia. Dalam hal ini HAM tersebut ditegakkan oleh Negara, dan kewajiban asasi tersebut wajib dipenuhi oleh masyarakatnya. Namun demikian, seringkali kewajiban asasi manusia ini tidak disadari oleh manusia. Kebanyakan manusia hanya menuntut hak asasinya dan kurang atau bahkan tidak memperhatikan kewajiban asasinya.
Berkitnya mengenai perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya. Saya sepakat dengan pendapat  bapak Todung Mulya Lubis (ahli hukum HAM FH UI) yang menyatakan bahwa teori HAM cenderung untuk berlaku di antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya. Dalam persepektif umum, menurut kalangan relativitis budaya, tidak ada suatu HAM yang bersifat universal, dan teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Berdasarkan teori ini, maka tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia menjadi berbeda. Oleh sebab itu, HAM yang berlaku bagi semua orang pada segala waktu dan tempat akan dapat dibenarkan jika manusia mengalami keadaan desosialisasi atau dekulturasi. Sudah menjadi fakta bahwa relativisme budaya adalah hal yang benar-benar terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah menemukan cara bagaimana merekonsiliasikan berbagai perbedaan antara kedua hal tersebut.
Selanjutnya mengenai gugatan dari Egi Sudjana agar tercipta “pencerahan” pada umat Islam, sehingga umat Islam menyadari bahwaIslam memiliki konsepsi HAM yang benar-benar bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan dan hal tersebut harus ditoleransi oleh masyarakat lainnya diluar Islam, maka menurut saya sebagai seorang pribadi muslim hal ini dapat dibenarkan. Setiap muslim sudah sewajibnya mengenal agamanya dengan baik dan harus senantiasa melakukan ajaran agama yang diperintahkan, termasuk mengenai menghormati hak-hak asasi manusia dan bertoleransi terhadap perbedaan yang ada. Dengan setidaknya terdapat masyarakat muslim yang menegakkan HAM maka hal ini akan semakin mengurangi jumlah pelanggaran HAM di dunia.


[1] Satya Arinanto, “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”, cet.3, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal.65-67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar