HAM dalam Transisi Politik
11 Maret 2014
Berikut
adalah ringkasan dan tanggapan terhadap Bahan Kuliah butir 1[1] :
Ringkasan “Hak Asasi
Manusia Dalam Transisi Politik”
Istilah “Human
Right” dalam Uiversal Declaration of
Human Rights dikenal sejak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Istilah ini menggantikan istilah natural rights (hak-hak alam) dan the rights of Man yang muncul
setelahnya. Istilah HAM dianggap paling tepat untuk mendefinisikan hak-hak
asasi bagi seluruh manusia tanpa membedakan gender.
Konsepsi HAM
secara historis berawal pada masa Yunani dan Roma. Hal ini berkaitan erat
dengan doktrin hukum alam pra modern Greek
Stoicism (sekolah filsafat di Citium) yang mengemukakan bahwa kekuatan
kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh
sebab itu harus dinilai berdasarkan kepada dan sejalan dengan-hukum alam.
Menurut para Stois, akal budi dan emosi merupakan kelompok yang terpisah.
Emosi-emosi merupakan bentuk dari putusan irasional. Para Stois memandang
sekelilingnya dan menemukan diri mereka berada dalam dunia yang sudah gila,
dunia sosial dimana kesombongan, kekejaman dan kebodohan memerintah sebagai
yang tertinggi. Namun demikian mereka
percaya pada alam semesta yang rasional, betapaun irasionalitas itu ada pada
kita. Mereka percaya pada kekuatan akal budi manusia (sebagai percikan cahaya
ilahi) memungkinkan mengatasi kebodohan, kekhawatiran manusia yang kejam dan
picik sehingga kita menyadari rasionalitas yang lebih besar. Stoisisme Yunani
berperan dalam pembentukan dan penyebaran hukum Romawi, sehingga memungkinkan
berkembangnya eksistensi hukum alam. Berdasarkan ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional),
beberapa hak yang bersifat universal berkembang melebihi hak-hak warga Negara.
Menurut Ulpianus (ahli hukum Romawi), doktrin hukum alam menyatakan bahwa
alamlah (bukan Negara) yang menjamin manusia, baik warga Negara atau bukan.
Selanjutnya, dalam
kaitannya dengan teori tentang negara dan hukum menurut J.J,von Schmid
pemikiran tentang Negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan
peradaban, tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad adanya peradaban yang tinggi. Hal ini
ditandai dengan adanya hak warga negara
untuk mengemukakan pendapat tentang Negara dan hukum secara kritis. Hal ini
awalnya terjadi pada bangsa Yunani, tepatnya di Athena pada abad ke-5sebelum
masehi.
Berikutnya,
sebelum abad Pertengahan, doktrin hukum
alam sangat terkait dengan pemikiran liberal tentang hak-hak alam (natural right), yakni kebutuhan dan
realita sosial yang bersifat umum. Pada masa ini, doktrin hukum alam menekankan
pada faktor kewajiban sebagaimana dipisahkan dari faktor hak. Aristoteles dan
St.Thomas Aquinas mengakui legitimasi perbudakan yang mana meniadakan ide utama
dari HAM sebagaimana dipahami saat ini sebagai ide tentang kebebasan dan
kesamaan. Selanjutnya pada abad ke-13 hingga abad Perdamaian Westphalia (1648),
dan selama masa kebangkitan kembali (Renaissance)
dan feodalisme maka tampak kegagalan dari para penguasa untuk memenuhi
kewajibannya berdasarkan hukum alam, sehingga terjadi pergeseran teori dari
hukum alam sebagai kewajiban menjadi hak.
Dalam perkembangan
berikutnya terdapat pengaruh dari pemikiran Thomas Aquinas dan beberapa pemikir
lainnya Pada saat itu, muncul pandangan
bahwa manusia diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tidak dapat
dicabut oleh siapapun. Hak tersebut tidak terlepaskan ketika manusia
“terkontrak” untuk memasuki masyarakat dari suatu Negara dan tidak pernah
dikurangi oleh tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak ketuhanan dari raja.
T.Aquinas memahami bahwa hukum alam terletak dalam domain alasan politik. Hal
ini diikuti oleh Murphy,Jr dan Dante Aligheri.
Pada abad ke-17
terdapat pengaruh pemikiran ilmu pengetahuan dan keberhasilan intelektua yang
mendukung keyakinan dalam hukum alam dan tatanan yang universal. Pada abad
ke-18 (Abad Pencerahan) muncul keyakinan terhadap akal manusia dan
kesempuranaan dari hubungan manusia makin mengarah pada ekspresi yang makin
komprehensif. Tulisan John Locke, Montesquieu, Voltaire dan JJ Rousseau adalah
pendukung pemikiran tersebut. Locke menguraikan secara rinci bahwa hak-hak
tertentu dengan jelas mengenai individu sebagai manusia, karena individu
tersebut eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki masyarakat.
Contoh dari hak tersebut adalah hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik.
Menurut Locke, berdasarkan teori kontrak sosial, yang dilepaskan oleh manusia
kepada Negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak tersebut, bukan
pelepasan hak-hak. Artinya Negara dikontrak untuk menjaga kepentingan
anggota-anggotanya, yakni dengan memberikan suatu hak rakyat untuk meminta
pertanggungjawaban (dalam bentuk revolusi rakyat).
Selanjutnya, pada
akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 semua pemikiran liberal tersebut sangat
mempengaruhi dunia Barat. Pemikiran John Locke sangat berpengaruh terhadap
munculnya beberapa dokumen HAM, misalnya adanya Bill of Rights (hasil Revolusi Inggris pada tahun 1688), Declaration
of Independence 1776 (oleh Thomas Jefferson), dan Declaration of the Rights of Man and Citizen 1879.
Ide-ide HAM
tersebut memegang peranan penting dalam perjuangan melawan absolutisme politik.
Hal ini diterapkan terkait adanya kegagalan para penguasa untuk menghormati
prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Saat ini mayoritas sarjana hukum,
filsuf dan kaum moralis sepakat bahwa setiap manusia berhak, paling sedikit
secara teoritis, terhadap beberapa hak dasar tanpa membedakan budaya atau
peradabannya. Perlindungan universal terhadap hak dasar manusia ini selanjutnya
tercermin pada Universal Declaration of
Human Right (1948), International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang disetujui
Majelis Umum PBB pada tahun 1976, yang untuk selanjutnya dinyatakan berlaku.
Terdapat 3 (tiga)
generasi HAM yang dikembangkan oleh Karel Vasak (ahli hukum Prancis), yakni :
a) generasi pertama, hak-hak sipil dan politik (liberte), b) generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (egalite), c) generasi ketiga, hak
solidaritas (fraternite). Generasi pertama
meletakkan posisi HAM pada “bebas dari” bukan pada “hak dari”. Ia lebih
menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia.
Hak ini sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 -21 Universal Declaration of Human Rights(UDHR). Selanjutnya generasi
kedua, merupakan respon terhadap pelanggaran dan penyelewangan dari
perkembangan kapitalis. Hak ini terdapat pada pasal 22 --- 27 UDHR. Berikutnya, generasi ketiga merupakan rekonseptualisasi dari kedua
generasi HAM sebelumnya. Ia dapat dipahami sebagai cara terbaik sebagai produk
dari kebangkitan dan kejatuhan Negara-bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20.
Hak-hak ini tercantum pada pasal 28 UDHR yang tampak mencakup enam hak sekaligus.
Menurut Claude dan Weston, enam hak tersebut adalah (1) the right to political, economic, social, and cultural
self-determination, (2) the right to economic and social-development, (3) the
right to participate in and benefit from “the common heritage of Mankind”, (4) the right to peace, (5) the right to a healthy
and balanced environment, (6) the right to humanitarian disaster relief.
Keenam hak tersebut cenderung untuk disebut sebagai hak-hak kolektif, yang
memerlukan usaha bersama dari semua kekuatan masyarakat untuk mencapainya.
Sementara itu,
menurut Jimly Asshiddiqie HAM dalam sejarah instrumen hukum internasional
setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan, yakni Generasi Pertama pemikiran mengenai
konsepsi HAM yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era Enlightenment di Eropa, meningkat
menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan
generasi pertama ini adalah penandatanganan naskah UDHR.
Elemen dasar konsepsi HAM mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan
dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Generasi Kedua, konsepsi HAM mencakup upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan, termasuk hak
atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966). Generasi Ketiga, berawal dari tahun
1986, muncul pula konsepsi baru HAM, mencakup pengertian mengenai hak atas -
atau untuk- pembangunan. Hak ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, menikmati
hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial, kebudayaan,pendidikan,
kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Generasi Keempat berlandaskan pada
pemikiran bahwa persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal. Sebagai alternatif, menurut Asshiddiqie, konsepsi HAM yang
terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai konsepsi HAM Generasi Kedua,
karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsepsi
HAM sebelumnya. Pendapat Asshiddiqie tersebut merupakan pandangan HAM terkait
perkembangan bidang ketatanegaraan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Selanjutnya, demi
melengkapi Universal Declaration of Human
Rights maka dibuatlah Universal Declaration of Human
Responsibilities (Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia). Hal
ini muncul terkait adanya pandangan bahwa sudah saatnya hak diimbangi oleh
tanggungjawab atau kewajiban. Dokumen
ini tidak bermaksud untuk sekedar mencari keseimbangan antara hak dan
kewajiban, tetapi juga untuk mendamaikan berbagai ideologi, kepercayaan, serta
pandangan politik yang dimasa lampau dianggap bertentangan satu sama lain.
Berikutnya sebagai
salah satu instrumen HAM di tingkat regional, terdapat Cairo Declaration on Human Right in Islam. Deklarasi ini ditetapkan
dalam forum The Nineteenth Islamic
Conference of Foreign Ministers pada tanggal 31 Juli – 5 Agustus 1990 di
Kairo Mesir. Apabila deklarasi ini dibandingkan dengan Universal Declaration of Human Rights maka ditemukan adanya wacana universalisme
versus relativisme budaya dalam HAM, baik dalam perspektif umum maupun dalam
perspektif Islam.
Perdebatan mengenai universalisme dan relativisme
budaya adalah masalah klasik dalam berbagai diskursus teori HAM. Menurut Todung
Mulya Lubis (ahli hukum HAM FH UI) maka teori HAM cenderung untuk berlaku di
antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya.
Diantara kedua spektrum tersebut terdapat teori-teori yang didasarkan atas
pandangan kelompok positivis, Marxis, agama dan perspektif lainnya. Dalam
persepektif umum, menurut kalangan relativitis budaya, tidak ada suatu HAM yang
bersifat universal, dan teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari
identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi
produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Berdasarkan teori ini, maka
tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia menjadi berbeda.
Oleh sebab itu, HAM yang berlaku bagi semua orang pada segala waktu dan tempat
akan dapat dibenarkan jika manusia mengalami keadaan desosialisasi atau
dekulturasi. Menurut Jack Donelly (peneliti HAM), kelompok relativitis budaya
dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yakni : (1) radical cultural relativism, (2) strong cultural relativism, dan (3) weak cultural relativism. Pandangan mengenai universalitas dan
relativisme budaya saat ini tiba pada
suatu kesimpulan bahwa relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dibantah. Hal terpenting yang harus diupayakan dalam hal ini adalah
bagaiman merekonsiliasikan berbagai perbedaan antara universalisme dan
relativisme budaya. Hal-hal ke arah itu sudah banyak dilakukan selama ini,
namun perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
Adapun dalam perspektif Islam, timbul gugatan dari Egi Sudjana bahwa
bila dihadapkan pada isu HAM maka akan langsung dihadapkan pada Universal Declaration of Human Rights yang tampak “manis” di atas kertas dan “busuk”
dalam implementasinya. Sudjana berharap umat Islam segera sadar bahwa konsepsi
HAM menurut Islam adalah yang benar-benar bersumber dari ajaran dan nilai-nilai
keagamaan dan berharap terdapat toleransi dari pihak lainnya terhadap konsep
ini, sebagaimana toleransi umat Islam terhadap Barat dengan Universal Declaration of Human Rights-nya.
Tanggapan
Menurut saya,
istilah Hak Asasi Manuasia memang lebih tepat digunakan untuk menjelaskan
adanya hak-hak dasar pada manusia tanpa membedaka ras, agama, gender,
kebudayaan dan lainnya. Namun demikian istilah ini bila didefinisikan lebih
lanjut masih menimbulkan pertanyaan, apakah yang termasuk dalam hak-hak dasar?
Bagaimana kriteria suatu hak manusia dapat dianggap sebagai hak dasar? Hingga
saat ini, tampaknya tidak terdapat kesamaan kriteria dan penggolongan hak-hak
dasar. Apabila merujuk pada UUD 1945 maka dapat dilihat terdapat pertentangan
tersendiri antara ketentuan pasal 29 ayat (2)
dan pasal 28E ayat (1) dan implementasi dalam pemerintahan, dimana
Negara kemudian tidak bebas memberikan hak masyarakat untuk memeluk agamanya.
Hal ini terkait dengan hanya diakuinya beberapa agama dan kepercayaan tertentu
di masyarakat. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan agama dan
kepercayaan lainnya? Dengan tidak diakuinya agama dan kepercayaan lainnya maka
dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran terhadap pasal 29 ayat (2) dan pasal
28E ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya munculnya doktrin hukum
alam yang menyatakan bahwa manusia dan akal budinya (sebagai percikan cahaya
ilahi/berasal dari alam) memungkinkan mengatasi kekacauan dunia ini, menurut
saya hal ini dapat dibenarkan. Namun
demikian bila dipahami lebih lanjut adanya
pendapat Ulpianus bahwa alamlah (bukan Negara) yang menjamin manusia,
maka saya tidak sepakat dengan hal ini. Sebab pada hakikatnya dibutuhkan lebih
dari sekedar akal budi manusia untuk dapat menjamin kehidupan manusia itu
sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan suatu penegakan hukum oleh Negara, dalam hal
telah terjadi kekacauan atau ketidaktertiban di dalam masyarakat. Peran Negara
adalah penting sebagai penguasa yang mampu menjatuhkan sanksi tegas agar
masyarakat yang menimbulkan kekacauan dapat ditindaklanjuti, sehingga
terciptalah nantinya suatu kedamaian dan keharmonisan masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu, akal budi manusia saja tidak cukup untuk menjami kehidupan
manusia, dibutuhkan pula campur tangan dari Negara.
Selanjutnya, terkait dengan pemikiran J.J,von Schmid
bahwa Negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradaban,
tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad adanya peradaban yang tinggi, maka saya
sepakat dengan hal ini. Pada dasarnya peradaban memang telah ada sebelumnya
terbentuknya Negara ataupun hukum. Masyarakat yang hidup berkelompok, kemudian
membuat aturannya sendiri, memiliki pemimpinnya sendiri, dalam hal ini dapat
berupa suatu suku/komunitas maka sudah merupakan bentuk dari adanya “Negara dan
hukum” itu sendiri. Hanya saja tidak terdapat kesatuan otoritas atas suatu
wilayah yang luas yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok tersebut.
Dalam hal terjadi interaksi diantara kelompok tersebut dan mulai tercipta suatu
hubungan antar kelompok yang lebih kompleks maka dibutuhkan peranan dari suatu
otoritas resmi yang diakui oleh setiap kelompok untuk mengatur kehidupan antar
kelompok masyarakat tersebut.Hal inilah yang kemudian menjadi cikal lahirnya
Negara dan hukum. Oleh sebab itu benar adanya bila Negara dan hukum adalah
gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad lamanya.
Berikutnya terkait dengan perkembangan doktrin hukum
alam, yang mulanya sangat menekankan faktor kewajiban yang dipisahkan dari
faktor hak, sehingga terdapat pengakuan (legitimasi) terhadap perbudakan. Hal
ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang apabila dipandang pada saat ini,
adalah hal yang meniadakan ide utama dari HAM (sebagaimana dipahami saat ini)
yakni sebagai ide tentang kebebasan dan kesamaan.
Adanya kegagalan dari para penguasa untuk memenuhi
kewajibannya berdasarkan hukum alam, kemudian menimbulkan pergeseran teori dari
hukum alam sebagai kewajiban menjadi hak. Hak dalam hukum alam tersebut menurut
beberapa para pemikir dulu merupakan sesuatu yang manusia miliki (diberkati)
yang bersifatkekal dan tidak dapat dicabut oleh siapapun. Saya sepakat dengan
hal ini, bahwa memang hak asasi manusia adalah sesuatu yang menjadi karunia
Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia itu lahir hingga meninggal dunia dan
hal ini merupakan sesuatu yang tidak seorang pun dapat mengambilnya dari setiap
manusia tersebut.
Selanjutnya, saya sepakat dengan pendapat John Locke
yang menguraikan secara rinci bahwa hak-hak tertentu dengan jelas mengenai
individu sebagai manusia, karena individu tersebut eksis dalam “keadaan alami”
sebelum manusia memasuki masyarakat. Hak asasi manusia merupakan suatu hal yang
mendasar dan murni yang dimiliki setiap manusia secara pribadi. Sebelumn
manusia memasuki suatu kelompok atau masyarakat maka manusia itu telah serta
merta membawa hak-haknya. Hak-hak manusia itu harus dapat dihargai satu sama
lain ketika terjadi interaksi diantara manusia dalam kelompok masyarakat
tersebut. Oleh sebab itu tidak satupun manusia dalam suatu masyarakat berhak
merampas hak asasi manusia lainnya, sebab itu sudah merupakan bawaan
masing-masing manusia yang merupakan karunia Tuhan. Hanya Tuhan lah yang dapat
merampas/mengambil hak tersebut. Hal ini juga berarti bahwa Negara wajib
melindungi hak-hak dasar manusia tersebut dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Negara sekalipun juga tidak boleh merampas atau meniadakan hak-hak
asasi manusia dalam negaranya tersebut. Negara harus secara mutlak
melindunginya.
Adanya ide-ide HAM tersebut memegang peranan penting
dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini mengingat munculnya
kesewenangan Negara dalam mengatur masyarakatnya. Kegagalan para penguasa untuk
menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan harus segera diakhiri
dengan menegakkan hak asasi manusia dari setiap masyarakat yang ada dalam
Negara tersebut, baik warga Negara maupun bukan warga Negara. Dalam hal adanya
interaksi antar Negara, maka diperlukanlah suatu perlindungan universal
terhadap hak dasar manusia. Setiap Negara wajib kemudian menghargai,
melindungi, dan menjaga adanya hak-hak dasar manusia yang ada pada setiap
Negara.
Oleh sebab itu tepatlah
kemudian bila muncul ide Universal
Declaration of Human Responsibilities (Deklarasi Universal tentang Tanggung
Jawab Manusia) demi melengkapi Universal
Declaration of Human Rights. Hal ini terkait bahwa dalam ditegakkannya hak
asasi dasar manusia tersebut diperlukan pula kewajiban asasi manusia. Dalam hal
ini HAM tersebut ditegakkan oleh Negara, dan kewajiban asasi tersebut wajib
dipenuhi oleh masyarakatnya. Namun demikian, seringkali kewajiban asasi manusia
ini tidak disadari oleh manusia. Kebanyakan manusia hanya menuntut hak asasinya
dan kurang atau bahkan tidak memperhatikan kewajiban asasinya.
Berkitnya mengenai
perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya. Saya sepakat dengan
pendapat bapak Todung Mulya Lubis (ahli
hukum HAM FH UI) yang menyatakan bahwa teori HAM cenderung untuk berlaku di
antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya. Dalam
persepektif umum, menurut kalangan relativitis budaya, tidak ada suatu HAM yang
bersifat universal, dan teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari
identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi
produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Berdasarkan teori ini, maka
tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia menjadi berbeda.
Oleh sebab itu, HAM yang berlaku bagi semua orang pada segala waktu dan tempat
akan dapat dibenarkan jika manusia mengalami keadaan desosialisasi atau
dekulturasi. Sudah menjadi fakta bahwa relativisme budaya adalah hal yang
benar-benar terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu hal terbaik yang bisa
dilakukan saat ini adalah menemukan cara bagaimana merekonsiliasikan berbagai
perbedaan antara kedua hal tersebut.
Selanjutnya mengenai gugatan dari Egi Sudjana agar
tercipta “pencerahan” pada umat Islam, sehingga umat Islam menyadari bahwaIslam
memiliki konsepsi HAM yang benar-benar bersumber dari ajaran dan nilai-nilai
keagamaan dan hal tersebut harus ditoleransi oleh masyarakat lainnya diluar
Islam, maka menurut saya sebagai seorang pribadi muslim hal ini dapat
dibenarkan. Setiap muslim sudah sewajibnya mengenal agamanya dengan baik dan
harus senantiasa melakukan ajaran agama yang diperintahkan, termasuk mengenai
menghormati hak-hak asasi manusia dan bertoleransi terhadap perbedaan yang ada.
Dengan setidaknya terdapat masyarakat muslim yang menegakkan HAM maka hal ini
akan semakin mengurangi jumlah pelanggaran HAM di dunia.
[1] Satya Arinanto, “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia”, cet.3, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2008), hal.65-67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar